Tahun kembar 2020 yang oleh majalah ”Time”, AS, disebut ”The Worst Year Ever” telah berlalu. Tahun kengerian, ”Annus horribilis”. Fajar 2021 disambut dengan harapan.
Oleh
Budiman Tanuredjo
·4 menit baca
Pergantian tahun 2020 menuju 2021, di tengah pandemi Covid-19, sepi. Tak ada pesta kembang api. Tak ada kerumunan. Warga patuh ketika pemerintah tegas dan lugas berkomunikasi. Tahun kembar 2020 yang oleh majalah Time, Amerika Serikat, disebut The Worst Year Ever telah berlalu. Tahun kengerian, Annus horribilis. Fajar 2021 disambut dengan harapan.
Formasi kabinet baru disambut dengan harapan. Enam menteri baru dilantik Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Rabu, 23 Desember 2020. Salah satu menteri yang sempat dipersoalkan warganet adalah Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. Menteri Kesehatan non-dokter ada juga di sejumlah negara. Jadi, bukan hal yang terlalu nyleneh.
BGS—demikian Budi kerap dipanggil—bukan dokter. Ia berlatar belakang fisika nuklir Institut Teknologi Bandung (ITB) dan meniti karier sebagai bankir. Ia pernah menjadi Direktur Utama Bank Mandiri dan Dirut Inalum, dan terakhir posisinya Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) serta Ketua Satgas Komite Pemulihan Ekonomi Nasional. BGS sudah aktif berburu vaksin bersama Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan Menteri BUMN Erick Thohir.
BGS memberi harapan. Sosok pembelajar cepat dan figur yang tertantang menyelesaikan krisis. Saat pertama dilantik sebagai Dirut Bank Mandiri, BGS datang ke kantor harian Kompas. Satu hal yang ditanyakan adalah perusahaan mana yang dianggap mempunyai relasi baik dengan media. Setelah disebutkan satu perusahaan publik, BGS lalu menjadikan perusahaan publik itu sebagai benchmark yang harus dicapai Bank Mandiri dalam konteks hubungan dengan media.
Gaya kepemimpinan itulah yang tampaknya dibawa BGS. Sebelum menggelar jumpa pers soal vaksinasi, BGS bertemu secara virtual dengan sejumlah pemimpin media mengenai materi soal vaksinasi dan antisipasi lonjakan kasus pasca-liburan. Dia runtut menjelaskan vaksin, perburuan vaksin, dan masalah geopolitik yang melingkupnya. Dia tak ragu menjawab, ”Kami belum tahu,” atau ”Saya bukan ahlinya” ketika ada pertanyaan yang susah dijawabnya. Namun, dia merujuk pada pandangan para ahli untuk menjelaskan.
Gaya komunikasi BGS pernah dilakukan di era Orde Baru. Pada era Orde Baru, beberapa menteri kerap membangun komunikasi dengan para pembangun opini untuk menyampaikan informasi latar sekaligus untuk mencari masukan. Ukuran kesuksesan, bukan viral atau banyaknya media yang mengutip, melainkan bagaimana membangun understanding dengan pembentuk opini terhadap masalah yang dihadapi bangsa. BGS menjadi pendengar yang tekun meskipun masukannya terasa keras.
Gaya lain yang menumbuhkan harapan adalah Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini. Gaya bicara khas Surabaya-an. Dia mempunyai komitmen kuat mewujudkan Pasal 34 Ayat (1) UUD 1945. ”Fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh Negara.” Lha, negara itu siapa? Bukankah Kementerian Sosial yang pernah dibubarkan Presiden KH Abdurrahman Wahid adalah ujung tombaknya.
Komitmen Risma kepada orang miskin. Kemanusiaan yang manusiawi. Risma pun blusukan ke kampung kumuh untuk menemui pemulung. Model kepemimpinan yang sering dilakukan di Surabaya coba diterapkan di Ibu Kota. Apakah cocok? Sejarah akan melihatnya. Gayanya kadang dipandang dari perspektif politik yang sebenarnya ingin dihindarinya. Pandemi memperbanyak orang miskin. Padahal, kata Muhammad Yunus, Peraih Nobel Perdamaian 2006, ”Kemiskinan adalah absennya seluruh hak asasi manusia.”
Gaya lain ditunjukkan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno. Dia menawarkan diferensiasi dengan bersepeda ke kantor—hobi yang ditekuninya selain lari—dan sikapnya menyerahkan gaji kepada stafnya. Sandi, pengusaha sukses yang pernah menjadi calon wakil presiden bersama Prabowo Subianto, tergolong tajir. Entah, bagaimana kanal Youtube Sandi setelah menjadi menteri.
Gaya ketiga menteri itu memberikan warna baru. Namun, yang masih harus ditunggu apakah langkah mereka bisa menjawab ekspektasi publik dan menembus kekakuan birokrasi. Tantangan BGS adalah memastikan vaksinasi yang efektif dan aman, lancar, serta pandemi bisa segera terkendali. Ia akan menjadi sorotan ketika penanganan pandemi berantakan. Ia sudah mengingatkan potensi ledakan kasus 30-40 persen setelah liburan panjang.
Sebagai orang baru di kementerian, tentu ia mempunyai pekerjaan rumah besar untuk mengguncang birokrasi yang mungkin sudah berada di zona nyaman. Dan, itu tidak mudah meskipun bukan tidak bisa. Menteri bisa berganti-ganti, tetapi birokrasi tetap di sana.
Tantangan Risma adalah bagaimana membangun transparansi dan akuntabilitas sistem bantuan sosial. Bagaimana menyiapkan sistem penerima bantuan yang terbuka sehingga terjadi saling cek agar tidak terjadi duplikasi. Bagaimana implementasi Pasal 34 Ayat (1) UUD 1945 soal fakir miskin diperlihara negara menjadi terejawantahkan. Itu salah satu jalan membenahi keadilan sosial yang timpang.
Sandi juga diharapkan menggairahkan pariwisata setelah pandemi terkendali. Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Tidak hanya pada wisata super prioritas untuk orang kaya, tetapi juga wisata alam yang membangkitkan ekonomi lokal serta wisata olahraga.
Sejarah akan mencatat. Apakah mereka akan berubah ketika kekuasaan di tangan? Orang itu selalu bisa berubah. Banyak faktor akan memengaruhinya. Ada kutipan yang lekat dengan Abraham Lincoln, Presiden ke-16 AS: ”Setiap orang bisa tahan dengan kesengsaraan. Tetapi, bila ingin melihat karakter seseorang, berilah dia kekuasaan.”
Kekuasaan yang menggiurkan, kekuasaan yang memesona kini tengah di tangan. Namun, apa pun esensi kekuasaan itu, saya teringat sebuah poster di Kota Solo; urip kuwi migunani tumraping liyan. Hidup itu diupayakan untuk berguna bagi orang lain, bukan untuk keluarga atau kelompoknya. Dan, kekuasaan itu, seperti kata Sri Sultan HB IX, takhta untuk rakyat.