Waljinah, Sang Legenda Hidup
Ketokohan Waljinah di jagat keroncong dirayakan dalam ”Kisah dan Konser” saat malam tahun baru 2021. Ia ”superstar” tanpa gebyar. Legenda hidup yang merakyat. Lagu-lagunya lahir dan dekat dengan degup kehidupan.
”Keroncong memang tidak seperti rock, pop, atau dangdut yang serba banter (keras). Tapi, keroncong itu memesona, menghipnotis. Orang yang sedang marah kalau dengar keroncong dan suara penyanyi yang merdu bisa tentrem. Keroncong itu, kan, jiwa kita dan warisan nenek moyang kita,” Kata Waljinah, superstar keroncong.
Sang Legenda Hidup itu duduk di kursi. Ia didampingi Endah Laras, Sruti Respati, dan Woro Mustiko. Maestro keroncong itu lalu melantunkan bowo atau lantunan pembuka lagu. Kemudian para penyanyi pendamping angkat suara. Dan jreng…mengalunlah langgam jawa ”Walang Kekek”.
Ketokohan Waljinah di jagat keroncong dirayakan dalam ”Kisah dan Konser Waljinah: A Tribute to Living Legend” di saluran Youtube Budaya Kita, Kamis (31/12/2020). Waljinah merentang cerita dari masa kecil hingga ia berkiprah selama lebih dari 60 tahun di panggung keroncong.
Saat ”Walang Kekek” mengalun, terlihatlah tiga lapis generasi keroncong dengan rentang usia yang jauh berbeda. Waljinah kini berusia 75 tahun, Endah Laras 44 tahun, Sruti Respati 40 tahun, dan Woro Mustiko 18 tahun.
Baca juga : Lagu untuk Ibu
Waljinah merasa lega karena keroncong terus mengalir sampai jauh hingga ke generasi Endah, Sruti, dan Woro. Di panggung, ia bertutur bagaimana ia menyiapkan calon-calon penyanyi dengan menyediakan tempat berlatih di garasi rumahnya di kampung Mangkuyudan, Solo, Jawa Tengah. Cukup lama dia menunggu munculnya penyanyi-penyanyi muda keroncong.
Di panggung, Waljinah mengacungi jempol kepada tiga penyanyi yang mendampinginya. Dia memuji Woro Mustiko sebagai remaja yang dengan bagus bernyanyi keroncong. ”Suarane sak cul-cule mirip saya...,” kata Waljinah dalam bahasa Jawa logat Solo. Artinya, apa pun yang terucap dari suaranya (Woro) mirip dengan cara Waljinah bernyanyi.
Alami dan otodidak
Dari cerita Waljinah di panggung dan dari lagu-lagu yang dibawakan para penyanyi di acara tersebut, kita bisa membaca kelegendaan Waljinah sebagai penyanyi. Waljinah mengawali semua itu sebagai anak kampung di lingkungan budaya Solo di mana keroncong dan karawitan menjadi penaung kehidupan sehari-hari.
Ia tumbuh dalam tradisi tembang yang ia serap dari lingkungan. Ibunya menidurkannya dengan tembang. Waljinah memelihara kambing dengan menembang. Ia fasih melantunkan tembang Macapat, seperti Pucung, Dandang Gula, Kinanti, dan Megatruh. Sewaktu kelas IV sekolah dasar, Waljinah menjadi juara pertama lomba menembang Macapat di Solo.
Masih berusia 10 tahunan, ia sudah diajak Munadi, kakaknya, untuk berlatih keroncong di Kampung Penumping yang tidak jauh dari rumahnya. Itu dilakukan diam-diam karena ibunya melarang anaknya menjadi penyanyi. Saat itu, bagi sang ibu, penyanyi adalah profesi yang tidak terhormat.
Baca juga : Pahlawan, di Mana Lagumu Kini?
”Opo kowe arep dadi ledhek–apa kamu akan menjadi pengamen?” kata Waljinah menirukan perkataan ibunya dalam acara Kisah dan Konser yang disutradarai Agus Noor itu.
Akan tetapi, Waljinah membuktikan bahwa bernyanyi adalah profesi mulia. Pada 1957, saat berumur 12 tahun, Waljinah mengikuti kontes bernyanyi Ratu Kembang Kacang yang digelar RRI Surakarta dan ia menjadi juara pertama.
Dari kontes itu, ia dihubungi perusahaan rekaman Lokananta, Solo, yang saat itu berstatus sebagai departemen perekaman RRI. Ia bernyanyi bersama tokoh keroncong senior, yaitu Gesang Martohartono, pencipta lagu ”Bengawan Solo”. Selanjutnya adalah sejarah. Bukan hanya bagi Waljinah pribadi, melainkan juga bagi musik keroncong Tanah Air.
Merakyat
Lagu-lagu yang ditampilkan di acara ”Kisah dan Konser” merefleksikan kemerakyatan lagu-lagu Waljinah. Diiringi Kroncongisasi Orchestra yang rancak dan ”progresif”, mengalunlah ”Walang Kekek” dari Waljinah, Endah, Sruti, dan Woro.
Pada sampul album lagu ini, penciptanya tertulis ”NN” alias no name (tidak diketahui). Akan tetapi, di versi rekaman, lirik lagu ditulis Waljinah. Sementara di pentas, ada lirik tambahan ciptaan Endah Laras.
”Walang Kekek” bisa dikatakan tipikal lagu berlirik jenaka, berisi sindiran sosial tentang pergaulan dan kehidupan. Liriknya berupa parikan atau pantun di mana dua baris pertama berupa sampiran dan dua baris berikutnya adalah isi.
Baca juga : Lagu Perlawanan terhadap Korupsi
Liriknya seperti berikut ini: ”Walang abang mencok neng kara/ Walang ijo walange putih/ Bujang maneh ora ngluyura/ Sing wis duwe bojo/ (O) ra tau mulih." Dua baris terakhir ini berupa sindiran kepada perilaku orang berkeluarga. Terjemahan bebasnya kira-kira seperti ini: Bagaimana para bujang tidak ngluyur, orang yang sudah mempunyai istri malah tidak pernah pulang.
Waljinah memotret romantika kehidupan masyarakat secara komedik dan karikatural. Ia tidak sok menggurui atau memaki, tetapi mengajak orang untuk berintrospeksi dengan cara jenaka dan menghibur. Kita tengok pada ”Jangkrik Genggong” yang dalam pentas dibawakan oleh Daniel Christanto. Liriknya selain berupa sindiran pada perilaku pria, juga tentang ”nasib” orang yang sedang mencari pasangan.
”Yen ngrujak ngrujako nanas/ Ojo ditambahi kweni/ Kene tiwas nggagas, awak adem panas/ Jebul ono sing duweni.” Artinya: Bikin rujak, bikinlah rujak nanas/ Jangan ditambah (mangga) kweni. Di sini memikirkan sampai badan dingin panas, ternyata sudah ada yang memiliki .
Lagu tersebut mulai populer pada paruh kedua 1960-an. ”Jangkrik Genggong” dan juga ”Walang Kekek” sering diputar di radio, dan menjadi nyanyian harian orang-orang di kampung.
Lagu tersebut juga sering dimainkan di pentas-pentas keroncong di Jawa Tengah. Belakangan, lagu-lagu tersebut masuk dalam daftar lagu yang sering dibawakan kelompok paduan suara.
Seniman cerdas
Endah Laras sebagai penyanyi melihat Waljinah sebagai seniman cerdas yang sangat pintar menganalisis, menginterpretasi, dan kemudian mengeksekusi atau membawakan sebuah lagu. Apa pun karakter lagu akan dicerna Waljinah sehingga karakter lagu hadir.
Begitu pula maksud atau pesan lagu akan tersampaikan dengan baik kepada para pendengar. Endah Laras menggunakan istilah kewes untuk kemampuan Waljinah, bahasa Jawa yang artinya sangat luwes dalam membawakan lagu.
Baca juga : Gending Masa Depan Rahayu Supanggah
Lagu berkarakter apa pun, entah jenaka, balada, lagu berisi pitutur atau nasihat serius, dibawakan Waljinah dengan sangat komunikatif. Begitu pula jenis keroncong, stambul, langgam jawa, dan lainnya, tidak memengaruhi Waljinah dalam berkomunikasi lewat lagu. Jenis musik ibaratnya adalah wahana untuk menyampaikan maksud lagu.
Lagu jenaka ”Enthit”, misalnya, yang berupa drama cerita rakyat, dibawakan Waljinah dengan cara kemayu. Lagu komedik ”Ayo Ngguyu” yang berisi pantun jenaka atau ”Temanten Anyar” yang berupa sketsa komedik pasangan penganten baru disampaikan dengan interpretasi yang menjadikan pendengar tertawa.
Lagu ”Pake Thole” atau ”Ojo Sujono” yang berisi dinamika rumah tangga dibawakan seperti sebuah sandiwara rumah tangga. Kedua lagu tersebut berisi percakapan antara suami dan istri tentang persoalan keluarga. Pendengar bisa menikmati lagu dan dramatika kehidupan suami-istri.
Lewat lagunya, Waljinah adalah pendongeng yang baik. Balada ”Andhe-andhe” lumut disampaikan secara naratif, bertutur tentang tokoh Andhe-andhe Lumut yang akan memilih pasangan hidup.
Sebaliknya, lagu ”Paman Guyang Jaran” yang diangkat dari cerita Bawang Merah Bawang Putih dibawakan Waljinah dengan dramatik, menangis-nangis. Lagu tersebut berisi drama perempuan muda yang kehilangan popok (kain) dan beruk (wadah). Waljinah masuk dalam penjiwaan tokoh perempuan yang mencari popok dan beruk itu di sepanjang sungai. Sampai akhirnya ia bertemu dengan Nini, istri raksasa.
Mumpuni
Endah Laras mengagumi kemumpunian atau ke-maestro-an Waljinah. Waljinah dikatakan mampu masuk ke dalam berbagai lingkungan musik dengan karakter yang berbeda-beda. Ketika pada pertengahan 1990-an terjadi booming pentas wayang kulit dengan bintang tamu, Waljinah menjadi salah satu bintang pergelaran. Jangkauan suara Waljinah mampu beradaptasi dengan range suara pesinden wayang.
Waljinah dalam pentas wayang itu tidak memosisikan diri sebagai pesinden, tetapi bintang tamu yang menyanyi langgam. Teknik vokal menyinden, bagi Waljinah, berbeda dengan keroncong. Bahkan, menurut dia, jika dipaksakan bisa merusak cara dia menyanyi langgam karena artikulasinya berbeda.
Dalam wawancara dengan Kompas, ia mengatakan belajar menyinden secara otodidak dengan mendengar dari para maestro sinden Solo, seperti Nyi Podang, dan Nyi Prenjak. Ia sangat akrab dengan olah vokal pada karawitan Jawa. Dari Nyi Podang, ia belajar gregel atau kelak-kelok suara. Segala apa yang ia serap dari lingkungan menjadikan Waljinah kaya perbendaharaan gaya.
Endah juga kagum bagaimana Waljinah bisa masuk ke lingkungan musik orkestra Erwin Gutawa yang menggelar konser Badai Pasti Berlalu bersama Chrisye. Waljinah mampu bersanding dengan orkestra Erwin ,dan tampil bersama Chrisye tanpa kehilangan karakter diri dan identitas keroncongnya.
Waljinah bahkan memberi sumbangan warna khasnya dalam musik orkestra Erwin Gutawa. ”Ibu Waljinah itu empan papan (mampu menempatkan diri). Di keroncong elok, di musik pop juga oke. Beliau memperlihatkan kemumpuniannya,” kata Endah.
Waljinah bisa dikatakan sebagai superstar tanpa gebyar. Ia legenda hidup yang merakyat, dan lagu-lagunya lahir dan dekat dengan degup kehidupan.