Paolo Rossi, dari Terbelit Skandal Menjadi Legenda Italia
Paolo Rossi, penyerang legendaris yang membawa Italia menjuarai Piala Dunia Spanyol 1982, meninggal pada 9 Desember 2020 dalam usia 64 tahun. Para tifosi mengenang kontribusinya 38 tahun lalu di Spanyol.
Oleh
Adi Prinantyo
·5 menit baca
Jika bukan karena penyerang mereka, Paolo Rossi, mungkin Italia tidak akan tampil sebagai juara dunia pada Piala Dunia Spanyol 1982. Kesimpulan itu tak berlebihan jika merunut bagaimana tim ”Azzurri” yang awalnya tak diunggulkan bisa menjadi kampiun berkat ketajaman Rossi, yang meninggal Rabu (9/12/2020).
Bahwa Italia bukan favorit juara itu sudah dipahami publik sepak bola dunia, termasuk pendukung Italia sendiri. Favorit juara tak jauh dari juara bertahan Argentina, tim ”Samba” Brasil, dan Jerman Barat, jika harus menyebut calon juara dari Eropa kala itu.
Argentina, empat tahun sebelumnya menjadi kampiun di perhelatan Piala Dunia Argentina 1978. Tim ”Tango” hadir di Spanyol dengan masih diperkuat sejumlah bintang yang mengantar tim nasional mereka juara di Buenos Aires, seperti Daniel Passarella, kiper Ubaldo Fillol, Osvaldo Ardilles, Mario Kempes, dan bintang muda Diego Maradona.
Brasil? Sebelum perhelatan Spanyol 1982, mereka sudah tiga kali juara dunia, di Swedia 1958, Chile 1962, dan Meksiko 1970. Mereka makin difavoritkan karena tampil dengan para pesohor lapangan hijau yang terkenal dengan permainan indah yang biasa disebut ”jogo bonito”. Ada Socrates, Falcao, Eder, dan Zico yang dijuluki ”Pele Putih”.
Adapun Jerman Barat, dua tahun sebelumnya juara di Piala Eropa Italia 1980. Jerman Barat hadir dengan pemain-pemain andalannya, seperti Karl-Heinz Rummenigge, Pierre Litbarski, kiper Harald Schumacher, dan Horst Hrubesch.
Sudah bukan favorit, Italia memperjelas status itu dengan penampilan di fase grup putaran pertama yang jauh dari mengesankan. Menjadi kontestan di Grup A bersama Polandia, Kamerun, dan Peru, Italia mengakhiri ketiga laga dengan hasil seri: 0-0 dengan Polandia, serta 1-1 dengan Peru dan Kamerun.
Makin diremehkan
Tak pelak, Dino Zoff dan kawan-kawan makin dipandang sebelah mata. Apalagi, pada fase grup putaran kedua, ”Azzurri” berada di grup neraka bersama dua favorit juara asal Amerika selatan, Argentina dan Brasil. Dengan format ini, juara grup di putaran kedua langsung lolos ke semifinal.
Italia mengawali perjalanan di Grup 3 putaran kedua, dengan kemenangan 2-1 atas juara bertahan Argentina. Pandangan mata pencandu sepak bola dunia terpusat ke aksi ”tukang jagal” Claudio Gentile, gelandang bertahan Italia yang mengawal pergerakan Maradona sedemikian rupa.
Maradona, bintang baru Argentina yang kala itu berusia 21 tahun, ibarat ”layu sebelum berkembang”. Diredam Gentile, aksi Maradona tidak optimal dan gagal berkontribusi signifikan terhadap tim ”Tango”. Apa daya, Argentina harus merelakan gawang Ubaldo Fillol dua kali bobol lewat gol Marco Tardelli dan Antonio Cabrini. Sebaliknya, Argentina hanya sekali menjebol gawang Italia melalui kapten Daniel Passarella.
Lepas dari hadangan Argentina, Italia masih harus melewati Brasil. Ibarat pepatah, ”lepas dari mulut buaya, masuk ke mulut harimau”. Apalagi, pada laga kedua Grup C, Brasil yang dilatih Tele Santana menundukkan Argentina dengan skor meyakinkan, 3-1.
Pada laga 5 Juli 1982 di Barcelona itu, tak dinyana Rossi menjadi bintang dengan menceploskan tiga gol ke gawang Brasil yang dijaga Waldir Peres. Gol pertama lewat sundulan memanfaatkan umpan lambung, gol kedua melalui sepakan keras memanfaatkan kesalahan umpan Junior di lini belakang Brasil, dan gol ketiga berkat sontekan di depan gawang Waldir Peres. Dua gol oleh Socrates dan Falcao, tak cukup membawa tim ”Samba” ke semifinal.
Pendukung Italia yang tadinya pesimistis tim pujaan mereka bisa menundukkan dan menyisihkan Brasil bersorak dan berjingkrak kegirangan di sepanjang laga. Rossi menjadi idola baru, meski sebelumnya banyak dicibir karena sempat dihukum larangan bermain gara-gara terlibat skandal ”Totonero” di sepak bola Italia.
Euforia pendukung tim ”Azzurri” kian menjadi-jadi tatkala Dino Zoff dan kawan-kawan menundukkan Polandia dengan dua gol tanpa balas di semifinal. Makin istimewa lagi bagi Rossi karena kedua gol itu juga lahir darinya. Sang bintang yang ibarat lahir kembali setelah terdera skandal ”Totonero” dan mulai dibayangkan bakal membawa Italia menjadi kampiun Piala Dunia 1982.
Impian itu sungguh nyata tatkala Italia mengempaskan Jerman Barat 3-1, pada final di Stadion Santiago Bernabeu, Madrid, 11 Juli 1982. Tiga kali gawang Harald Schumacher dijebol Rossi, Tardelli, dan Alessandro Altobelli. Jerman Barat memperkecil ketertinggalan lewat gol semata wayang Paul Breitner.
Nyaris terganjal ”Totonero”
Rossi, dalam kisah Piala Dunia 1982, membuktikan betapa pemain ”bukan siapa-siapa”, bisa menjadi bintang sejagat. Seorang yang berawal dari ”zero” bisa kemudian menjadi ”hero”. Secara kebetulan, suratan itu segaris dengan Italia, tim ”kuda hitam" yang kemudian tampil sebagai juara.
Tak boleh dilupakan, peran pelatih Italia, Enzo Bearzot. Ia tetap memasukkan Rossi di deretan penyerang tim ”Azzurri” kendati sebelum Piala Dunia 1982, Rossi baru saja selesai menjalani hukuman larangan bertanding.
Pers Italia dan para tifosi, sebutan untuk fans tim nasional Italia, menilai Rossi kehilangan ketajaman karena lama tak berlaga. Kebetulan, asumsi itu terbukti dengan ketiadaan gol Rossi pada tiga laga fase grup putaran pertama, yang ketiganya juga berakhir seri.
Toh, Bearzot bergeming dengan pilihannya terhadap Rossi. Pilihan yang terbukti tepat seiring kegemilangan Rossi di Spanyol. Striker pilihan Bearzot itu juga menggenggam dua penghargaan sekaligus, yakni ”Sepatu Emas” sebagai pencetak gol terbanyak (enam gol), dan ”Bola Emas” sebagai pemain terbaik Piala Dunia Spanyol 1982.
Bearzot juga terkenal dengan ramuan taktik yang jitu, dan disiplin yang keras. Salah satunya, setelah tiga penampilan tanpa kesan Italia di fase grup putaran perdana, Bearzot melarang pers mewawancarai tim asuhannya. Sesudah kebijakan yang diistilahkan ”slienzio stampa” (press silence) itu, penampilan Italia membaik.
Laga krusial melawan kandidat juara Brasil di fase grup putaran kedua dijalani dengan formasi 4-4-2, yang mujarab meredam lini kedua Brasil yang kerap menyusun serangan. Tak heran, meski bola lebih banyak dimainkan di area permainan Italia, tim ”Azzurri” berhasil menyisihkan Brasil dengan 3-2.
Aksi Rossi gemilang di Spanyol 1982. Namun, itu semua tak akan terjadi tanpa kepercayaan Bearzot. Kritik pedas pers Italia tak mengendurkan keyakinan pelatih legendaris itu terhadap sang penyerang. Kepercayaan yang dibayar tuntas oleh penyerang legendaris, Paolo Rossi.