”Indonesia Raya” dan Hak Moral Pencipta
Penghormatan terhadap pencipta dan karya ciptanya, apalagi ciptaan tersebut telah diakui sebagai lagu kebangsaan, selain merupakan penghormatan atas hak asasi manusia, juga penghormatan kepada negara.
Andai Wage Rudolf Supratman masih hidup saat ini, bagaimana beliau bisa menerima jika lagu ”Indonesia Raya” yang diciptakannya dengan penuh perjuangan saat itu, sembilan puluh dua tahun kemudian menjadi bahan pelecehan dan hinaan di satu konten Youtube?
Terlepas dari masalah politik atau pihak mana yang melakukan pelecehan tersebut, dalam era digital dan dihargainya kebebasan berekspresi, adalah tetap relevan membela landasan dan argumentasi yang mengharuskan pencipta dan karya ciptanya itu dihargai dan dilindungi.
Lagu ”Indonesia Raya” diperdengarkan pertama kali pada pelaksanaan kongres Pemuda Kedua pada 27-28 Oktober 1928 sebelum dibacakannya Sumpah Pemuda. Perjalanan lagu itu tidak mulus karena tahun 1930, Pemerintah Hindia Belanda melarang lagu itu dinyanyikan karena mengandung kata ”Merdeka, Merdeka”.
Namun, karena lagu ciptaannya itu pula, Pemerintah RI memberikan anugerah Bintang Mahaputra Anumerta III pada 17 Agustus 1960. Setelah itu, melalui surat keputusan Presiden RI No 16/SK/1971 tanggal 20 Mei 1971 telah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada WR Supratman, serta Surat Keputusan Presiden RI No 017/TK/1974 tanggal 19 Juni 1974 Presiden RI menganugerahkan Tanda Kehormatan Bintang Mahaputra Utama kepada WR Supratman.
Ketika orang bicara tentang pembajakan, penjiplakan, atau mengaku-aku sebagai pemilik karya secara tanpa hak (misapropriasi), bahkan pelecehan atas suatu karya cipta, sebenarnya ia bicara tentang hak moral. Hak ini merupakan hak pencipta, selain hak ekonomi, yang diakui dalam hukum hak cipta nasional maupun internasional.
Nama hak moral ini tidak ada kaitannya dengan ethics sebagaimana padanan moral dalam bahasa Inggris, karena awal mula istilah ini adalah dari bahasa Perancis, droit moral, yang merujuk pada personalitas pencipta, bahwa ciptaan adalah perpanjangan dari pencipta, sehingga karya dan penciptanya tidaklah terpisahkan. Akibatnya, sampai kapan pun pencipta itu hidup maupun mati, karyanya tetap melekat pada dirinya.
Hal ini merupakan dampak dari pemikiran Immanuel Kant, yang menyatakan bahwa karya cipta itu melekat pada person, identik dengan pencipta. Pencipta adalah ciptaan. Ciptaan adalah pencipta. Maka pencipta menikmati hak-hak atas karyanya oleh karena personalitasnya.
Identifikasi antara pencipta dan karyanya dianut secara resmi dalam Konvensi Bern tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra (1886), sebagai hak untuk diidentifikasi sebagai pencipta (right to be identified as an author), yang bersifat melekat pada person pencipta, abadi, dan tak dapat dialihkan, walaupun pencipta telah wafat.
Hal ini menjadi pembenaran filosofis atas hak moral yang dimiliki oleh pencipta. Manusia tidak bisa dipisahkan dari karya yang diciptakannya. Kematian pencipta tidak otomatis membuat dia lepas dari produk-produk ciptaannya.
Kematian Wage Rudolf Supratman tidak mengotomatiskan karyanya bisa seenaknya diubah-ubah, apalagi dilecehkan. Indonesia mestinya menjunjung tinggi hal ini. Apalagi Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi kemanusiaan yang adil dan beradab, yang tertuang dalam sila keduanya.
Pengakuan yang penuh atas hak moral merupakan konsep yang penting. Hak moral ini mengandung dua hak, yakni hak atas identitas dan hak integritas (hak untuk tidak diubah karyanya). Kedua hak moral ini tetap ada pada si pencipta walaupun hak ekonominya telah dialihkan.
Hal ini memberi dampak hukum pada fakta bahwa si pencipta memiliki keterhubungan atau keterikatan dengan karyanya yang harus dilestarikan, tanpa memperhatikan pertimbangan ekonomi.
Selain hak maternitas, hak sebagai penglahir karya, hak atas untuk diidentifikasi sebagai pencipta, pencipta juga memiliki hak atas integritas, yakni hak untuk keberatan atas modifikasi-modifikasi tertentu dan tindakan-tindakan lain yang merendahkan ciptaan, hak atas keutuhan karya. Dalam hak cipta, ada sesuatu yang sangat esensial tentang kreativitas itu, bahwa pentingnya karya itu melampaui pertimbangan-pertimbangan profesional dan ekonomik yang murni.
Orientasi hak moral mengakui bahwa produk-produk intelektual manusia memiliki suatu nilai intrinsik sebagai ekspresi dari martabat dan kreativitas manusia. Dengan kata lain, karya-karya seni dan ilmu bukanlah komoditas ekonomis pertama dan utama yang nilainya ditentukan oleh manfaat dan harga yang ditempelkan pada karya itu.
Cikal-bakal hak moral yang ditetapkan dalam Konvensi Bern tersebut berdampak dilindunginya hak moral walaupun pencipta sudah meninggal. Peran ahli waris hanyalah menjaga dan melaksanakan hak moral, bukan mengambilalihnya. Hal ini pun telah dikukuhkan dalam Undang-Undang Hak Cipta (UUHC) Indonesia, mulai tahun 1982 sampai yang terakhir ini UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Selain pencipta memiliki hak moral, ia juga memiliki hak ekonomi. Hak ekonomi merupakan hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan, berlaku selama masa hidup pencipta plus 70 tahun. Hak ekonomi, menurut UUHC 2014, meliputi penerbitan ciptaan, menggandakan ciptaan, menerjemahkan, mengadaptasi, arasemen, pertunjukan, pengumuman, penyewaan ciptaan.
Secara teoretis, berarti hak ekonomi yang dinikmati oleh ahli waris WR Supratman adalah sampai dengan tahun 1 Januari 1939 + 70 tahun = 2009 (WR Supratman wafat tahun 1938). Bagaimana setelah itu? Apakah ciptaan menjadi milik umum atau public domain? Undang-Undang Hak Cipta tidak mengaturnya.
Namun, karena lagu ”Indonesia Raya” sudah ditetapkan sebagai lagu kebangsaan Indonesia, sudah sepatutnya negara tetap wajib menjaga—setidaknya hak moral penciptanya. Menjaga hak moral, berarti negara wajib menggunakan lagu tersebut dengan mencantumkan nama pencipta (hak atas identitas/maternitas); negara juga wajib menjaga hak integritas lagu tersebut.
Menjaga integritas berarti menjaga keutuhan ciptaan, melindungi hak pencipta agar karyanya tidak dimodifikasi atau mengalami tindakan-tindakan lain yang merendahkan ciptaan.
Khusus lagu kebangsaan ”Indonesia Raya”, Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1958 tentang Lagu Kebangsaan Indonesia Raya menentukan bahwa dilarang (a) menggunakan lagu kebangsaan untuk reklame dalam bentuk apa pun juga; (b) dilarang menggunakan bagian-bagian daripada lagu kebangsaan dalam gubahan yang tidak sesuai dengan kedudukan lagu ”Indonesia Raya” sebagai lagu kebangsaan.
Selanjutnya, Pasal 8 menentukan bahwa (1) lagu kebangsaan tidak boleh diperdengarkan/dinyanyikan pada waktu dan tempat menurut sesuka-sukanya sendiri; (2) lagu kebangsaan tidak boleh diperdengarkan dan/atau dinyanyikan dengan nada-nada, irama, iringan, kata-kata dan gubahan-gubahan lain daripada yang tertera dalam lampiran-lampiran peraturan ini.
Adalah tepat jika Pemerintah Indonesia mengambil tindakan berdasarkan landasan filosofis dan hukum, baik hukum Internasional (Konvensi Bern) maupun hukum nasional (Undang-Undang Hak Cipta dan PP 44 tahun 1958). Lagu kebangsaan harus digunakan sesuai dengan kedudukannya sebagai lagu kebangsaan. Ia merupakan lambang negara yang harus dihormati.
Penghormatan terhadap pencipta dan karya ciptanya, apalagi ciptaan tersebut telah diakui sebagai lagu kebangsaan, selain merupakan penghormatan atas hak asasi manusia (hak moral pencipta), juga penghormatan kepada negara. Demikian pula, pelecehan terhadap lagu kebangsaan merupakan pelecehan terhadap keduanya.
(Diah Imaningrum Susanti
Penulis; Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Widya Karya Malang)