Semoga kerukunan antarumat beragama seperti yang saya alami pada masa kecil, di suatu kampung santri di Kota Malang, kembali menjadi tradisi yang merekatkan bangsa.
Oleh
Tingka Adiati
·3 menit baca
Tiap 22 Desember, media sosial, seperti WAG, FB, IG, dipenuhi dengan ucapan ”Selamat Hari Ibu”. Ada yang mengirim gambar bunga, ibu yang sedang mengurus anak dan rumah tangga, dan sebagainya, melengkapi doa, pujian, dan apresiasi kepada kaum ibu atas peran domestik mereka.
Saat saya kecil, bahkan ada kebiasaan para ibu tidak boleh bekerja atau mengurus rumah tangga pada hari itu. Mereka dimanjakan. Di Barat, perayaan ini disebut Mother’s Day, yang diperingati pada setiap hari Minggu pekan kedua, bulan Mei.
Untuk merayakan Hari Ibu, Kompas edisi 22 Desember 2020 menurunkan beberapa artikel seputar Hari Ibu, termasuk di antaranya tulisan Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum, Fakultas Hukum UI.
Berjudul ”Kesalahpahaman Hari Ibu”, ia menjelaskan bahwa Hari Ibu di Indonesia yang dirayakan setiap 22 Desember berawal dari Kongres Perempuan Pertama, 22 Desember 1928, di Yogyakarta. Kongres tersebut melahirkan Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) untuk memperjuangkan nasib perempuan, kebangsaan, dan Indonesia berparlemen. Perjuangan yang belum tuntas dan berlanjut hingga hari ini.
Membaca tulisan tersebut, sangat jelas perbedaan Hari Ibu yang kita rayakan tiap 22 Desember dengan Mother’s Day di masyarakat Barat. Namun, kesalahpahaman terus terjadi meski arti yang benar sudah berulang kali disosialisasikan. Tetap saja banyak yang salah kaprah.
Untuk memutus rantai kesalahkaprahan ini, ada baiknya istilah Hari Ibu diganti dengan Hari Perempuan. Dengan Hari Perempuan, diharapkan perjuangan untuk nasib dan kesetaraan perempuan—tidak hanya ibu dalam konteks peran domestik—yang tetap relevan hingga sekarang terus dilanjutkan.
Tingka Adiati
Bintaro Jaya Sektor 3, Tangerang Selatan
Selamat Natal
Saya bersyukur dan mengucapkan terima kasih kepada Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, juga Presiden Joko Widodo, yang telah mengembalikan tradisi mengucapkan selamat Natal.
Agama itu inspirasi, bukan aspirasi, demikian kata kunci dalam pidato Yaqut Cholil Qoumas saat dilantik sebagai Menteri Agama Kabinet Indonesia Maju, 23 Desember 2020. Artinya, agama bukan alat kepentingan politik, kelompok, dan lain-lain.
Kalimat ini perlu didalami dan disebarluaskan mengingat Setara Institute melaporkan masih terjadi kasus-kasus intoleransi dan pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) walau jumlahnya mulai berkurang beberapa tahun terakhir.
Persoalan toleransi beragama di Indonesia bukan melulu persoalan antara agama ”ini” dan agama ”itu”, melainkan juga antar-aliran dalam agama yang sama.
Semoga kerukunan antarumat beragama, seperti yang saya alami pada masa kecil, di suatu kampung santri di Kota Malang, kembali menjadi tradisi yang merekatkan bangsa.
Dulu, ketika Idul Fitri, kami berkunjung ke tetangga-tetangga Muslim dan disuguhi jajanan tradisional. Ketika Natal tiba, mereka berkunjung ke rumah kami dan disuguhi kue-kue yang dibuat ibu.
Pada tahun 1990-an, entah mengapa, tradisi itu tiba-tiba menghilang. Ucapan selamat Natal tiba-tiba terasa seperti barang mahal. Hanya bisa dihitung dengan jari sahabat yang tetap melakukannya.
Ucapan ”selamat Natal” dari Menteri Agama dan Presiden memunculkan harapan bahwa masyarakat yang rukun dan saling menghargai akan kembali menjadi budaya kita.
Saya pribadi tak pernah merasa, apalagi berkeinginan, agar pengucap mengikuti atau mengakui keyakinan yang saya anut. Saya lebih merasakannya sebagai ungkapan empati, turut bergembira atas sukacita yang tengah dirasakan umat Kristiani.
Layaknya saudara yang ikut bergembira ketika saudaranya berbahagia.
Diah Imaningrum
Jl Bukit Tanggul, Malang
Tangga Halte
Kamis (17/12/2020), dari Stasiun Pasar Senen, saya hendak naik Transjakarta arah Pulo Gadung. Saya pun berjalan menuju Halte Transjakarta Stasiun Senen.
Bangunan masih kinclong. Namun, saat menaiki tangga sangat tidak nyaman karena anak tangga berongga. Di bawah tangga orang lalu lalang.
Sebaiknya tiap anak tangga dibuat tanpa rongga agar ramah perempuan dan anak.