Harapan kepada Menteri Kesehatan yang Baru
Apabila puskesmas baik melakukan tugasnya, semakin sedikit masyarakat yang sakit, dan menjadi lebih sehat. Puskesmas bukan rumah sakit kecil, maka konsep puskesmas bukan menunggu orang sakit, tetapi membangun masyarakat.
Orang bertanya kok menteri kesehatan bukan dokter. Di dunia sedikitnya ada sepuluh negara yang menteri kesehatannya bukan dokter. Sebut saja Singapura, Jepang, Thailand, Arab Saudi, Belanda, Kanada, Selandia Baru, Australia, dan Denmark. Tidak masalah, atau harusnya memang betul begitu?
Urusan kesehatan negara sebetulnya lebih manajerial ketimbang teknis medis. Selain perlu orang lapangan, butuh penguasan manajerial. Terlebih untuk negara yang belum mapan pembangunan kesehatannya. Baru Dr Adhyatma, MPH almarhum, menteri kesehatan kita (1988-1993) yang orang lapangan, selain ahli kesehatan masyarakat, dan bukan klinisi.
Urusan empat perlima rakyat
Bicara masalah kesehatan kita dari dulu hingga sekarang, kita melihatnya ada dua jalur. Jalur lebih empat perlima rakyat yang baru bisa berobat kalau punya uang saja, dan jalur rakyat yang bisa mengongkosi berobatnya sendiri. Empat perlima masyarakat Indonesia “jalur lambat” ini populasi yang perlu ditolong.
Urusan kesehatan “jalur lambat” masih berkutat untuk air bersih, selokan dan jamban, serta kebersihan lingkungan. Ini urusan bagaimana supaya mereka dimampukan tidak perlu sakit. Semua urusan itu yang selama ini diemban puskesmas memikul lebih sepuluh program, dan kita tahu ini urusan manajerial. Itu sebab peran dokter puskesmas sesungguhnya peran manajerial mencerdaskan masyarakat.
Apabila puskesmas baik melakukan tugasnya, semakin sedikit masyarakat yang sakit, dan menjadi lebih sehat. Puskesmas bukan rumah sakit kecil, maka konsep puskesmas bukan menunggu orang sakit, melainkan membangun masyarakat berperilaku supaya tidak sakit. Membangun masyarakat bersikap hidup sehat juga sebetulnya urusan manajerial. Urusan ilmu-ilmu sosial memotivasi, dan kecil saja materi kesehatan, dan medisnya.
Masalah kesehatan sejatinya berakar dari perilaku sehat. Kurikulum pendidikan kesehatan sekolah yang membentuk perilaku sehat anak, dan penyuluhan (komunikasi-informasi-edukasi) yang mendidik masyarakat bagaimana hidup sehat. Bahwa dengan sadar cuci tangan saja bisa mencegah lebih sepuluh infeksi, sikap makan dengan kepala bukan dengan hati mencegah risiko kegemukan, kanker, dan semua penyakit metabolik.
Dengan tahu kalau kelebihan berat badan “bom waktu” munculnya banyak penyakit, membiasakan rutin badan selalu bergerak mengurangi risiko serangan jantung, hipertensi, diabetik, dan stroke, selain kanker. Bahwa perilaku hidup sehat, dasar menuju masyarakat yang lebih sehat.
Yang terjadi, masyarakat “jalur lambat” memikul penyakit sebab kepapaannya sekaligus menanggung beban penyakit orang berkecukupan. Mereka bukan cuma terancam infeksi akibat kurang bersih, belum memperoleh air bersih, tak punya jamban, melainkan memikul beban akibat polusi industri perkotaan.
Mereka ikut mengkonsumsi aneka menu olahan, seperti burger, sosis, nuget, dan menelan kimia industri makanan yang tak aman dalam jajanan, “menu sampah” junk food, menu cepat saji orang perkotaan yang sudah masuk desa. Ketika burger dan aneka jajanan tak sehat sudah masuk pedesaan, masyarakat “jalur lambat” sama memikul penyakit metabolik orang “jalur cepat” perkotaan juga. Dan ini dilematis buat pemerintah.
Kita melihat pola penyakit masyarakat “jalur lambat” kian bergeser bukan didominasi penyakit infeksi lagi, kini memasuki kelompok penyakit non-infeksi, yakni penyakit metabolik, termasuk kanker. Itu terjadi akibat masyarakat “jalur lambat” sudah terdampak gaya hidup perkotaan. Bahwa penyebab terbesar penyakit orang sekarang lebih karena tak tepat memilih gaya hidup.
Membangun gaya hidup
Bahwa gaya hidup sehat masyarakatlah yang perlu didahulukan dibangun. Mengapa? Oleh karena hanya 10 persen penyakit umumnya sebab faktor keturunan, dan itu memang tak terelakkan. Sembilan puluh persen penyakit sebab salah memilih gaya hidup, yang sebetulnya terelakkan.
Untuk yang masih terelakkan itu sejatinya semua penyakit tidak perlu terjadi kalau masyarakat diberi tahu caranya. Dengan membantu masyarakat memilih gaya hidup yang tepat.
Gaya hidup yang tepat itu menjaga berat badan ideal, tidak gemuk, tidak juga kurus. Anak sekolah Singapura harus lari lebih banyak bila berat badan berlebih. Pemerintah ikut campur urusan berat badan keluarga, supaya kelak “bom waktu” aneka penyakit tidak perlu muncul setelah anak besar nanti, dan itu menentukan kualitas bangsa.
Demikian pula ikut campur pemerintah ihwal membatasi asupan garam dapur. Bukan sebab daging orang jadi hipertensi, melainkan konsumsi garam dapur terlalu asin. Sebagian besar hipertensi sebab memilih menu asin, selain sebab kegemukan, dan kurang rutin bergerak, yang mestinya bisa dicegah.
Gaya hidup lainnya soal makan. Bahwa komposisi makanan yang menyehatkan itu menu seimbang (balance diet). Kodrat tubuh manusia butuh karbohidrat lebih banyak ketimbang protein, dan lemak. Kalau saja menu harian patuh pada pola menu seimbang, maka tubuh akan tetap sehat. Menu bistik contoh bukan menu seimbang oleh karena protein daging dan lemak lebih banyak dibanding karbohidrat.
Itu maka menu warung tegal (warteg) itulah sesungguhnya, menu sehat sebagaimana yang menjadi pilihan menu harian nenek moyang kita yang jauh dari ancaman kanker, serangan jantung, stroke, atau diabetik. Nasi sepiring, sepotong tempe, tahu, ikan, daging, sayur lodeh, sayur asem, selebihnya ulam.
WHO sudah melarang dunia mengkonsumsi daging olahan, selain perlu membatasi daging merah, dan lemak, agar terhindar dari risiko kanker. Demikian pula peran buruk gula pasir dalam mencetuskan kanker, sama jahatnya dengan asupan menu lemak berlebihan.
Menu harian, menu restoran sekarang, rata-rata tidak sehat karena zat kimia tambahan (food additive), maka pecel, rawon, karedok atau kluban pilihan yang dianjurkan agar tidak perlu kena kanker. Bukan donat tapi pilih ubi rebus. Bukan keripik kentang, atau pop corn, tapi kacang rebus. Bukan terigu tapi sagu. Tukar gula pasir dengan madu, atau gula jawa.
Informasi itu power
Betul, informasi itu power. Termasuk informasi kesehatan. Betapa besar peran menjadi tahu hidup sehat bagi masyarakat, karena tanpa menjadi tahu, masyarakat berisiko jatuh sakit yang sebetulnya tidak perlu.
Berapa besar ongkos yang tak perlu harus dikeluarkan hanya karena ketidaktahuan. Hanya karena masyarakat diberi tahu, misal, kalau obat cina yang diracik dengan aristochiaceae, atau jahe hutan, merusak ginjal (nephrotoxic), selain bikin kanker (carcinogenic).
Karena tahu, masyarakat tidak perlu gagal ginjal atau menanggung kanker, yang ongkos berobatnya mahal. Memberi informasi tidak sembarang minum herbal, berarti tidak perlu keluar ongkos cangkok ginjal, atau berobat kanker.
Informasi bahwa rutin bergerak badan jalan kaki saja (brisk walking) terpetik lebih sepuluh manfaat, yang dengan cara mudah, murah dan sederhana, dapat mencegah sekian banyak penyakit.
Kanker muncul sebagaimana halnya jantung koroner dan stroke, juga antara lain sebab kurang rutin bergerak. Bahwa risiko jantung koroner bisa ditekan oleh rutin bergerak badan. Perlu rutin bergerak badan supaya pembuluh collateral koroner sebagai “bypass” alami koroner jantung, akan membuka.
Karena collateral koroner membuka oleh rutin bergerak badan, bisa membatalkan indikasi harus pasang stent. Bila tidak perlu dipasang stent, penghematan rupiah yang tidak kecil buat masyarakat.
Ada banyak informasi kesehatan yang perlu dijadikan muatan penyuluhan kesehatan skala nasional, agar membebaskan masyarakat “jalur lambat” maupun “jalur cepat” tidak perlu sakit. Karena sekali lagi, sesungguhnya semua penyakit tidak perlu terjadi kalau masyarakat diberi semua informasi kesehatan untuk menjadi lebih sehat.
Di tingkat otoritas, ini soal pilihan kebijakan pembangunan kesehatan. Memberi masyarakat informasi berarti memungkinkan masyarakat tidak perlu jatuh sakit. Ongkos menyuluh masyarakat skala nasional tidak lebih tinggi, hanya satu per berapanya dibanding menguras anggaran belanja kesehatan untuk belanja obat.
Kalau kebijakannya masih menunggu masyarakat datang berobat lantaran jatuh sakit yang sebetulnya bisa dicegah, anggaran terlalu besar dihabiskan untuk obat dan perawatan rumah sakit. Lain dari itu, sering-sering sakit, kualitas hidup modal sosial bangsa tergerus akibat status tidak sehat optimal.
Bapak Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, kemampuan manajerial Pak Menteri pasti sangat mumpuni melihat rekam jejak pengalaman profesi Pak Menteri selama ini. Barangkali sekarang saatnya memprioritaskan membangun masyarakat cerdas hidup sehat dulu dengan memberikan program penyuluhan secara nasional, menyampaikan komunikasi, informasi, dan edukasi. Untuk itu dapat memanfaatkan radio dan televisi agar menjangkau sampai ke pelosok.
Sayang rasanya, anggaran kesehatan kalau masih dihabiskan untuk belanja obat dan layanan rumah sakit, akibat masyarakat tidak diberi tahu bagaimana supaya tidak perlu sakit.
Kondisi itu pula sebab kenapa BPJS sampai harus tekor puluhan triliun rupiah, karena hampir semua masyarakat yang diliput BPJS sudah dalam kondisi tidak sehat. Kondisi yang sebetulnya tidak perlu terjadi kalau sejak di sekolah anak sudah cerdas hidup sehat, dan masyarakat dewasa disuluh supaya tidak perlu jatuh sakit.
Selamat bekerja membela rakyat, Pak Menteri, salam menuju sukses dari seorang pensiunan Depkes.
(Handrawan Nadesul Dokter pensiunan Depkes RI, penulis buku, motivator kesehatan)