Efektivitas Polisi Cegah Kejahatan Ciptakan Rasa Aman Warga
Kepercayaan masyarakat kepada polisi tergantung dari sejauh mana polisi mampu menciptakan dan memelihara rasa aman masyarakat. Rasa aman tumbuh bila tidak terjadi kejahatan.
Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Fadil Imran berjanji Polda Metro di bawah kepemimpinannya akan membangun rasa aman tersebut lewat pencegahan kejahatan berbasis komunitas, dipadukan dengan penerapan teknologi informasi.
Pencegahan kejahatan berbasis komunitas atau yang dikenal dengan pemolisian masyarakat (Polmas, Kepolmasan) bisa mengatasi keterbatasan personel polisi, mengurangi bermacam biaya termasuk biaya sosial. Di sisi lain, hasil yang dicapai bisa lebih maksimal.
Pencegahan kejahatan berbasis komunitas juga mampu menumbuhkan kesadaran warga DKI yang majemuk akan lingkungannya. Polisi bisa membaur, melebur, mengurangi, bahkan meniadakan ”jarak” dengan masyarakat. Polisi menjadi bagian dari masyarakat. Sebaliknya, masyarakat lewat kegiatan kepolmasan semakin memiliki kemampuan dan percaya diri merawat keamanan lingkungan mereka.
Dari mana kejahatan itu muncul? Bagaimana potensi kejahatan bisa dicegah? Pengamatan penulis, sekurangnya ada empat kejahatan paling menonjol di Indonesia.
Petugas gabungan dari Satpol PP, Koramil, Babinsa, Polmas, Linmas, dan Petugas Kelurahan Palmerah melaksanakan Operasi Yustisi Kependudukan di sebuah rumah kost di RW 12, Palmerah atau sekitar kampus Bina Nusantara, Jakarta, Kamis (13/10/2011).Pertama, kejahatan menyangkut rumah tangga, termasuk tradisi buruk yang muncul di sana. Kedua, kejahatan menyangkut seks atau asmara. Ketiga, kejahatan lingkungan, dan keempat, kejahatan siber (cyber crime) yang belakangan didominasi oleh ujaran kebencian.
Kejahatan dalam rumah tangga umumnya dipicu oleh tindak kekerasan. Tindak kekerasan dilatarbelakangi oleh tradisi perbedaan jender yang buruk, persoalan ekonomi termasuk penganggur, rendahnya pendidikan, kebiasaan minum minuman keras dan mengonsumsi Narkoba. Di wilayah hukum Polda Papua Barat, misalnya, pemicu utama kejahatan di sana adalah kebiasaan minum minuman keras.
Di Indonesia tampaknya kejahatan rumah tangga menjadi sisi kejahatan paling gelap, yang sebagian tidak terungkap atau tidak dilaporkan polisi karena ada ”rambu” tabu terkait rasa malu, dan martabat keluarga besar. Yang tertinggal adalah trauma yang bisa menjadi benih persoalan sosial baru bagi masa depan anak-anak.
Kejahatan menyangkut seks atau asmara dilatarbelakangi ingkar janji pasangan, terutama menyangkut kehamilan di luar nikah. Meskipun selintas persoalan ini sepele, tetapi tak jarang kasus ini berakhir dengan pembunuhan, bahkan mutilasi.
Kejahatan lingkungan di Indonesia, umumnya dilakukan para pemodal besar, kalangan elite, politisi, dan atau komunitas tertentu. Kejahatan lingkungan paling menonjol di Indonesia adalah perusakan lingkungan, dan premanisme yang kadang berujung pada terorisme.
Kejahatan lingkungan yang cenderung berskala besar sering kali merepotkan polisi. Tidak jarang terjadi, pengungkapan kasus terhambat oleh intervensi elite. Di tengah situasi ini, para petinggi kepolisian yang kurang memiliki kemampuan sosial dan lobi yang kuat, cenderung melakukan pembiaran.
Lebih lebih bila keputusan politik akhirnya menganulir proses penegakan hukum, seperti terjadi pada kasus pelanggaran HAM berat peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II, atau sejumlah kasus korupsi megaproyek lainnya. Kala itu kasusnya terbentur di Kejaksaan Agung.
Kegagalan polisi dalam menuntaskan kasus-kasus lingkungan, lantas membuat kepercayaan masyarakat pada polisi, melemah. Publik tak lagi melihat realitas sosial politik yang membelit polisi untuk menuntaskan kasus-kasus serupa ini.
Terakhir, yang paling menonjol belakangan ini, adalah kejahatan siber. Saat Fadil menjadi direktur reserse kriminal khusus Polda Metro Jaya, tahun 2016, dia mulai menyadari, kejahatan siber, bakal menjadi kejahatan paling menonjol di Indonesia. Kejahatan siber bukan hanya soal ujaran kebencian yang diwarnai konflik kekuasaan dan infiltrasi ideologi saja, tetapi juga menyangkut penyelundupan, distribusi, dan peredaran narkoba, bahan peledak, senjata api, serta bermacam bahan terlarang lainnya.
Itu sebabnya, kala itu, Fadil yang masih berpangkat komisaris besar berulangkali mendesak Kapolri agar Mabes Polri memiliki direktorat sendiri yang mengurusi kejahatan siber. Permintaan tersebut akhirnya dikabulkan. Fadil pun didudukkan di direktorat baru tersebut, tahun 2017. Setahun kemudian, 2018, ia mengungkap kasus Muslim Cyber Army (MCA). Pengungkapan kasus ini menyadarkan publik bahwa kejahatan di dunia maya lebih berbahaya karena, lebih cepat meluas. Serangan kejahatan bisa dirasakan datang tiba-tiba jika para penegak hukum abai memonitor perkembangan gerakan para penjahat lewat dunia maya.
Skala persoalan
Dari sekurangnya empat macam kejahatan seperti dijelaskan tadi, tampak betapa besar skala persoalan yang menjadi tanggung jawab polisi. Polri tampaknya belum memiliki sumber daya manusia (SDM) yang memadai, baik dalam segi kuantitas maupun kualitas personel karena terbatasnya anggaran negara untuk mereka.
Pilihan terbaik untuk mencegah keempat kejahatan tersebut adalah meramaikan kegiatan Kepolmasan yang dipadukan dengan penerapan teknologi informasi. ”Biaya mencegah kejahatan jauh lebih murah dibandingkan dengan biaya menumpas kejahatan. Biaya membangun Kepolmasan dan menerapkan teknologi informasi dalam mencegah kejahatan, lebih murah dibanding biaya membangun institusi Polri dengan cara-cara konvensional,” tegas Fadil.
Pendapat penulis, pernyataan Fadil mengandung konsekuensi, institusi Polri harus mengendalikan jumlah personel, lebih fokus pada peningkatan kualitas SDM personel, dan mengikuti serta menerapkan perkembangan teknologi informasi. Itu artinya, personel polisi harus lebih banyak ”sekolah” dan itu berarti juga menambah biaya.
Meski demikian, biaya yang dialokasikan untuk membangun SDM personel polisi agar lebih berkualitas, bisa lebih efektif dalam jangka panjang. Mengapa? Karena peran sosial mereka di tengah masyarakat hingga memasuki masa pensiun, tidak akan luntur. Lebih-lebih jika tradisi Kepolmasan mengakar dalam dirinya.
Jebakan
Setelah soal kompetensi melalui sekolah dan pengalaman meningkat masalah internal polisi berikutnya adalah jenjang karier, serta mekanisme hukuman dan ganjaran yang jelas, agar mampu mendorong prestasi personel.
Persoalan lain ketika persoalan internal Polri tak lagi menjadi beban besar adalah, perilaku para pemimpin eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Kalangan elite ini—termasuk media massa, dan media sosial, tak boleh membuat jebakan Polri dalam penegakan hukum, selain hanya mengontrol proses kerja Polri sesuai ketentuan perundangan.
Pengamatan penulis, saat ini Polri masih rawan oleh intervensi dan kepentingan politik bernuansa suku, agama, ras, dan golongan (SARA). Langkah pencegahan kejahatan berbasis komunitas, serta penerapan teknologi informasi, akan berakhir sia-sia bila Polri terus diwarnai intervensi politik dan kepentingan SARA.
Rasa aman warga DKI akan terhambat karena melemahnya usaha polisi mencegah kejahatan. Hal tersebut membuat polisi mendapat stigma tebang pilih dalam penegakan hukum.
Benar apa yang dikatakan Fadil, masyarakat terutama kalangan elite, harus memiliki kesadaran bersama bahwa peradaban dan kemajuan bangsa ini, selain bertumpu pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, juga bertumpu pada toleransi, dan kemajemukan. ”Di situlah usaha pencegahan kejahatan akan semakin mudah dilakukan,” kata Fadil.