Pentingnya Menyusun Daftar Saham
Dengan penapisan saham dan konsisten memilih gaya investasi, kita tidak lagi menyesal atau ”geregetan” ketika ada saham A yang naik lebih dari 10 persen dalam satu hari karena saham itu tidak termasuk dalam daftar kita.
Pasar saham sedang membaik, berhasil bangkit dari titik nadir Maret lalu. Banyaknya saham yang membukukan kinerja baik mampu membuat persepsi investor semakin positif sehingga harganya pun terkerek naik.
Jika melihat pergerakan harga saham harian (running trade), dari 700-an saham terlihat beberapa saham dalam satu hari dapat naik 5 persen, 10 persen, bahkan hingga 20 persen. Kenaikan cepat ini terkadang membuat investor yang tidak memiliki rencana investasi saham menjadi kebingungan, kadang juga menyesal tidak membeli saham yang melonjak cepat tersebut.
Sebenarnya kebingungan memilih saham tidak terjadi jika investor memiliki rencana sebelum masuk ke pasar saham. Sama seperti belanja ke pusat grosir atau supermarket, jika tidak memiliki daftar belanja akan cenderung membeli lebih banyak barang ketika sampai di meja kasir.
Baca juga: Bursa Naik tetapi Belum Untung?
Menyusun daftar saham yang akan dibeli merupakan salah satu langkah awal dalam membuat rencana investasi di pasar saham. Dengan jumlah uang terbatas, seorang investor ritel tidak dapat membeli semua saham yang ada di bursa. Selain itu, tidak semua saham di bursa layak dibeli karena ada yang kinerja atau pengelolaannya tidak baik.
Berinvestasi pada pasar saham sangat subyektif. Semua orang memiliki preferensi masing-masing. Daftar belanja saham yang kita susun, belum tentu disukai oleh orang lain dan sebaliknya.
Pilih saham
Investor perorangan dengan dana terbatas tidak mungkin membeli semua saham yang ada di bursa sehingga harus dilakukan pemilihan saham. Proses ini memiliki beberapa tingkatan.
Langkah pertama, pilih industri yang kita ketahui. Misalnya, seorang investor yang bekerja di sebuah bank tentu lebih memahami sektor perbankan ketimbang sektor pertambangan. Akan tetapi, bisa saja seorang investor yang bekerja pada bidang farmasi sangat memahami sektor komoditas karena memang memiliki minat pada sektor tersebut.
Selain memilih industri, penapisan tingkat pertama lainnya adalah dengan memilih saham berdasarkan kapitalisasi pasar. Contohnya, investor A hanya akan memilih saham-saham dengan kapitalisasi di atas Rp 100 triliun.
Baca juga: Menjadi Perencana Keuangan untuk Diri Sendiri?
Saham yang berkapitalisasi jumbo, misalnya, adalah saham Bank Central Asia Tbk, saham Bank Rakyat Indonesia Tbk, saham Telkom Tbk, dan saham Bank Mandiri.
Naik turunnya harga saham emiten yang memiliki kapitalisasi besar ini memengaruhi pergerakan indeks. Selain itu, investor asing juga lebih senang berinvestasi pada saham berkapitalisasi besar karena perdagangan sahamnya likuid. Daftar saham berkapitalisasi besar dapat dilihat pada daftar indeks IDX80, LQ45, atau IDX30.
Sementara investor B memilih saham berkapitalisasi menengah, seperti saham Aneka Tambang Tbk, Mayora Indah Tbk, Sarana Menara Nusantara Tbk, atau Vale Indonesia Tbk. Tidak ada yang salah dengan pilihan saham berkapitalisasi besar, menengah, atau kecil sepanjang dilakukan secara konsisten dan disadari apa saja kelebihan dan kelemahan saham-saham tersebut.
Contoh penapisan lain adalah memilih saham-saham yang sesuai prinsip syariah. Tentu saja, saham perbankan konvensional tidak termasuk dalam daftar ini.
Setelah selesai melakukan penapisan tahap pertama, kita bisa melanjutkan dengan penapisan tahap kedua, yakni melihat kinerja perusahaan dan valuasi saham-saham hasil seleksi pertama tadi.
Bisa jadi, walaupun memiliki kapitalisasi besar, kinerja perusahaan stagnan saja. Atau bisa juga setelah dihitung valuasinya ternyata sudah terlalu mahal. Valuasi emiten berbeda dengan harga saham emiten.
Baca juga: Rajin Investasi untuk Memutus Generasi Sandwich
Saham dengan harga Rp 32.000 bisa saja valuasinya lebih murah dibandingkan dengan emiten yang sahamnya dibanderol Rp 3.500. Kebanyakan investor pemula beranggapan, saham seharga Rp 12.000 lebih mahal ketimbang saham seharga Rp 1.200.
Menghitung valuasi emiten dapat dilakukan dengan melakukan beberapa perbandingan. Ada dua rasio dasar yang wajib diketahui, yaitu rasio harga saham terhadap pendapatan (price to earning ratio/PER) dan rasio harga saham terhadap harga buku emiten (price to book value ratio/PBV).
Untuk mendapatkan PER, bagilah harga saham dengan laba per saham (earning pershare/EPS). Angka EPS diperoleh dari laba bersih dibagi jumlah saham yang beredar. Misalnya, ada emiten yang membukukan laba dalam satu tahun sebesar Rp 679,7 miliar dan ada 11,55 miliar lembar saham beredar dengan harga Rp 1.200 per saham.
Untuk mendapatkan EPS, kita hitung 697,7/11,55 sehingga diperoleh EPS sebesar 60,8. Lalu dicari PER-nya, yaitu 1.200/60,8 sehingga didapatkan PER sebesar 19,74 kali. Artinya, setiap Rp 19,74 yang kita investasikan pada emiten ini akan memberikan laba bersih sebesar Rp 1 dalam satu tahun.
Secara umum, emiten dengan PER di atas 15 dianggap terlalu mahal karena modal yang diperlukan untuk mendapatkan Rp 1 semakin besar.
Sementara rasio PBV menggambarkan perbandingan antara harga saham dan ekuitas, yaitu aset yang sudah dikurangi dengan kewajiban. Artinya, rasio ini membandingkan nilai jual emiten terhadap kekayaan bersih.
Baca juga: Mencari Tempat Penyimpanan Uang yang Aman
PBV didapatkan dengan membagi harga saham dengan harga buku per saham (book value per share/BVPS). Cari dulu nilai BVPS, yaitu ekuitas/jumlah saham yang beredar. Misalnya, emiten dengan nilai ekuitas sebesar Rp 4.660 miliar dengan saham beredar sebanyak 11,55 miliar menghasilkan BVPS sebesar 403,5. Harga saham diketahui Rp 1.200 per lembar.
Setelah itu baru dicari PBV-nya, yaitu 1.200/403,5 = 2,97 kali. Artinya, investor harus membayar sekitar Rp 3 untuk setiap Rp 1 aset bersihnya. Perusahaan dengan valuasi murah memiliki PBV kurang dari 1,5 kali.
Akan tetapi, perhitungan PBV ini bukan satu-satunya yang dijadikan patokan. Emiten dengan PBV tinggi tetapi memiliki return on equity tinggi dan utang yang sedikit juga dapat dipertimbangkan untuk dibeli.
Menapis sinyal pembelian
Setelah mendapatkan daftar saham-saham yang hendak dibeli, pertanyaan berikutnya adalah kapan membeli saham tersebut. Tidak ada seorang pun yang dapat memprediksi dengan tepat kapan saat terbaik untuk membeli saham sehingga memperoleh keuntungan besar dalam sekejap.
Dengan berbekal daftar saham tersebut, tentukan bagaimana gaya investasi yang akan dilakukan. Apakah investasi jangka panjang atau investasi jangka menengah hingga pendek yang lebih dikenal dengan trading. Masing-masing gaya investasi memiliki parameternya sendiri untuk menentukan kapan saat masuk yang baik.
Jika sudah memilih untuk berinvestasi jangka panjang dengan cara mencicil saham setiap bulan dengan jumlah dana yang sama, lakukan hal itu secara konsisten ketika harga saham naik atau turun. Kesabaran dan konsistensi akan berbuah keuntungan yang hasilnya bisa jadi jauh lebih banyak ketimbang suku bunga tabungan.
Dengan berbekal daftar saham tersebut, tentukan bagaimana gaya investasi yang akan dilakukan. Apakah investasi jangka panjang atau investasi jangka menengah hingga pendek yang lebih dikenal dengan trading.
Demikian pula jika sudah memutuskan untuk bertransaksi saham secara cepat atau intraday trading. Luangkan waktu lebih banyak untuk bertransaksi lebih sering dengan mematok keuntungan yang tidak terlalu besar.
Dengan penapisan saham dan konsisten dalam memilih gaya investasi, kita tidak lagi menyesal atau geregetan ketika ada saham A yang naik lebih dari 10 persen dalam satu hari karena saham itu tidak termasuk dalam daftar kita. Berpegang teguh pada daftar saham yang telah disusun akan mencegah perhatian terpecah ke saham lain.