“Old Indonesia” dalam Novel Remy Sylado
Semoga catatan kecil ini menjadi kiriman jampi-jampi bagi kesehatan Remy Sylado yang kini sedang sakit. Semoga semakin sehat.
Remy Sylado telah mencatatkan jejak karya sastra yang in depth (pada novel) dan menolak istilah major art atau minor art (dalam puisi). Ia menulis novel-novelnya dengan kedalaman cerita serta data waktu, tempat dan kesejarahan. Dan puisi-puisi mbelingnya, tak pernah diperbincangkan kritikus HB Yassin hingga meninggal.
Jika dalam puisi-puisi Remy tersirat suasana kekinian, liar dan bebas, berbeda dengan novel-novelnya. Remy menghasilkan judul-judul yang serius dan lebih dipertanggungjawabkan secara referensial.
Dua muka yang berbeda itu dilakukan Remy yang punya nama asli Panda Abdel Tambayong, ketika melahirkan puisi dan karya fiksi. Novel-novel Remy rata-rata bertemakan Old Indonesia yang suram. Berkisaran antara pra-kemerdekaan hingga pra-rezim Orde Lama. Sementara puisi-puisi yang dilahirkan adalah mbeling, kebetulan berhadap-hadapan dengan rezim Orde Baru yang tidak sesuai dengan kebebasan bersuara anak muda ketika itu.
Sastrawan ini juga selalu tersipu-sipu bila menyebut kota Semarang. Sebab, meski kelahiran Makassar (12 Juli 1945), penulis Ca Bau Kan, Kerudung Merah Kirmizi (meraih Penghargaan Sastra Badan Bahasa tahun 2006), Namaku Mata Hari, dan Sam Po Kong ini menghabiskan masa Sekolah Dasar di kota itu mengikuti sang Ibu yang bekerja di Seminari Teologia Baptis Semarang. Saat remaja mengawali kariernya sebagai pewarta di harian Tempo yang terbit tahun 1965, sebelum akhirnya hijrah ke Bandung melanjutkan debutnya di majalah Aktuil.
Karya fiksi berupa novel yang ia tulis, beberapa judul ber-setting Kota Semarang. Misalnya Ca Bau Kan 1999), Menunggu Matahari Melbourne (2004), Sam Po Kong (2004) dan Namaku Mata Hari (2010). Ia punya banyak sahabat yang sering dikontaknya ketika bersama istri (Maria Louise Tambayong) ”pulang kampung” ke ”Kota Lumpia”.
Pasangan ini selalu menginap di Hotel Kejora di dekat Kota Lama karena hotel yang kini menjadi Hotel Horison itu, memiliki bangunan lama khas Semarang. Jika bepergian keduanya selalu naik becak. Dan makanan favorit di kota tersebut adalah rajungan goreng Mbah Mo yang terletak di Kampung Surtikanti. Ia selalu hafal jalan-jalan Kota di masa lalu, ”Karena aku anak nakal ketika itu,” katanya sambil terkekeh.
Kisah kenangan
Selain Sam Po Kong, novel-novel Remy Sylado kerap berkisah tentang perempuan dengan hidup suram. Perempuan yang seolah hilang di tengah sebuah kota yang mulai menua. Dalam Ca Bau Kan, akan kita temukan tokoh perempuan pribumi bernama Tinung. Pembaca seperti dipelihatkan tentang betapa tidak berartinya dosa bagi seorang perempuan. Tinung menjadi Ca Bau Kan (perempuan) simpanan para bos besar Tionghoa sekitar tahun 1930.
Dalam kegentingan sosial di Batavia pada masa pra kemerdekaan, Tinung akhirnya membawa serta kandungan hasil hubungan gelapnya dengan seorang Tuan Besar. Sebelum diangkat ke layar lebar, membaca novel tersebut sudah terkesan sangat filmis. Mulai dari penggambaran tempat, penokohan yang kuat dan konflik yang rumit di Indonesia masa Lalu.
Hal yang sama kita dapati di novel Kembang Jepun yang terbit tahun 2003. Seperti juga Tinung di novel Ca Bau Kan, sosok geisha bernama Keke cinta pertamanya ditemukan di kawasan Sinjhu, Surabaya. Identitas kejiwaan Keke sebisa mungkin dihapus, ia harus mengabdi tentara Jepang pada masa pendudukan. Begitu detail mengenai tempat, kebiasaan hingga asal-usul kejadian. Tokoh Keke seperti menjelaskan secara terang benderang, mengenai nasib malang perempuan pribumi pada masa itu.
Novel-novel lain tidak saja menampilkan kisah, tetapi juga substansi kemanusiaan (human substantion) yang dalam. Bagaimana hidup tidak semudah memilih dosa dan kebenaran, melainkan bagaimana sulitnya memilih cara hidup sesuai nasibnya.
Posisi Hindia Belanda berada di halaman belakang negara penjajah, tetapi toh ada saja pribadi (person) yang mencoba keluar dari keterkungkungan. … Aku membutuhkan lelaki seperti mawar-mawar Perancis pada musim panas mengharapkan hujan. Aku bukanlah bakung di lembah-lembah Portugal yang bisa tumbuh di atas batu tanpa hujan… (Namaku Mata Hari, halaman 64).
Mata Hari adalah nama panggung seorang penari erotis Belanda dan spionase ganda pada masa Perang Dunia I. Bernama asli Margaretha Geertruida Zelle, yang oleh suaminya pernah diajak ke Hindia Belanda (Semarang) dalam versi novel Remy Sylado. Meski Mata Hari adalah kisah nyata dan pernah ditulis dalam novel oleh Paulo Coelho, versi Remy Sylado pasti menawarkan tafsir berbeda.
Mental Age; ”Old Indonesia”
Bisa saja tokoh-tokoh berjumpalitan dengan ceritanya yang beraneka ragam, tetapi saya menangkap ada keindonesiaan yang kental di tulisnya. Bahkan, dalam novel yang seolah-olah sangat ngepop dan semata cerita cinta biasa.
Pada 1977 ketika novel pertamanya berjudul Gali Lobang-Gila Lobang terbit, pembaca sudah menangkap kegilaan itu. Djeki, seorang pelaut Indonesia yang sedang mendarat di Filipina, bertemu Conrad, seorang penyanyi di Kota Manila. Keduanya menjalin kisah-kasih yang rumit karena ternyata saling menyinta bagi mereka adalah menjalankan dusta turunan. Novel yang pernah difilmkan dengan sutradara Abrar Siregar ini menampilkan tokoh utama Roy Marten dan Ida Royani pada tahun 1978.
Percintaan yang sulit juga dialami tokoh mahasiswa Indonesia yang studi di Melbourne, Australia. Joko Trianto, nama mahasiswa Jawa itu, bertemu Mary Jane Storm, cewek setempat. Mereka berbincang seru tentang arti sebuah negara bagi kehidupan masing-masing. Hingga akhirnya ada kalimat menyentak seperti ini, ”Kayaknya nama Indonesianya itu harus diganti. Selama ini nama Indonesia selalu dijadikan sebagai tameng, perisai, zirah, untuk menutup-nutupi penyakit ketidakmampuan dan ketidakbecusan mengurus negara dan bangsa …” (Menunggu Matahari Melbourne, halaman 23).
Membaca cerita-cerita Remy Sylado berasa seperti dicubit-cubit jiwa kebangsaan kita. Begitu enaknya mengekritik negara di tengah adegan lalu lalangnya orang berjalan di supermal kota metropolitan, seperti Melbourne. Kita merindukan narasi heroisme yang diucapkan dengan ringan menyentuh, tanpa memekik seperti hewan.
Mental age ”Old Indonesia” sangat terasa pada aksentuasi ceritanya. Memang akhirnya novel Remy lebih terkesan kuat ketika dibaca, daripada ditonton sebagai film. Ada pesan psikologis yang tidak mampu diterjemahkan oleh pengadeganan gambar yang instan dan ringan. Kita masih merindukan lahirnya novel-novel karya Remy Sylado. Cerita yang lapang, matang dan tidak hitam-putih. Cara menceritakannya berjaga jarak terhadap dogma keagamaan atau isme politik. Dan kata Remy, ”Saya tidak perlu pembaptisan para kritikus sastra untuk menjadi besar. Saya akan terus menulis sesuai kebutuhan jiwa saya,” katanya,
Karena itu, pada karyanya yang bersinggungan dengan sejarah arus utama, sang penulis memiliki keberanian terhadap tafsirnya yang baru (Namaku Mata Hari, Sam Po Kong, Kembang Jepun). Dengan bahasanya yang gagah, novel itu ditulis tanpa terlalu menaati aturan baku, Lihatlah teks dengan ukuran huruf yang dibesarkan untuk menjelaskan kepentingan maksud pada kalimat, atau penyusunan tipografi yang tidak lazim pada beberapa novelnya.
Indonesia masih mengalami kemunduran kalau di jalan-jalan besar masih kita dapati polisi tidur dan kampong-kampung memasang portal. Karena itu mencerminkan masyarakat colonial, kurang terdidik dan tidak siap hukum,” katanya dalam sebuah perbincangan sambil tiduran di Taman Ismail Marzuki.
Semoga catatan kecil ini menjadi kiriman jampi-jampi bagi kesehatan Remy Sylado yang kini sedang sakit.
Cara pandang, visi gagasan dan atmosfer karya sastra dan seni rupanya, sungguh masih mencengangkan. Kami berharap, Remy masih novelis terbaik Indonesia setelah Pramoedya Ananta Toer dalam dua puluh tahun terakhir ini.
Semoga catatan kecil ini menjadi kiriman jampi-jampi bagi kesehatan Remy Sylado yang kini sedang sakit. Semoga semakin sehat.
(Handry TM, Ketua Dewan Kesenian Semarang dan Sahabat Remy Sylado)