Kebiasaan dan disiplin adalah musuh kebosanan. Dengan itu kita menguasai waktu, bukan sebaliknya, dikuasai oleh waktu. Otak adalah gudang pola kebiasaan alias habit.
Oleh
Bre Redana
·3 menit baca
Tak terasa kita di penghujung tahun. Cakrawala makin rendah. Matahari 2020 sebentar lagi tenggelam di baliknya. Bersamanya berbagai hal yang telah kita jalani selama ini akan ikut rebah di situ—jangan-jangan tak bangkit lagi selamanya.
Kalender di meja-meja kantor, kata teman yang kantornya di gedung tinggi menjulang, semua terhenti di bulan Maret 2020. Artinya, setelah bulan itu teman-temannya tidak lagi menginjak kantor, atau setidaknya galau, tak sempat lagi membalik kalender.
Ruangan sepi. Banyak lampu dimatikan. Suasana mirip karang hantu, ucapnya. Apakah nanti kantor terang benderang lagi, sesekali beramai-ramai makan bersama tatkala ada teman ulang tahun, hangat dan bergairah seperti dulu, ia bertanya dengan pertanyaan yang lebih kedengaran ditujukan untuk diri sendiri.
Mungkin tidak, kata saya. Semua yang bersifat fisik, wadak, perlahan-lahan akan kehilangan signifikansinya, serupa imajinasimu, menjadi karang hantu. Bukan hanya kantor. Tempat hiburan semacam sinema kemungkinan tak akan lagi bangkit seperti semula. Generasi masa kini nantinya akan menyimpan kenangan sebagaimana generasi saya mengenang Rex, gedung bioskop bergaya art deco zaman dulu, kenangan manis zaman Cinema Paradiso.
Kalau tadinya kemajuan teknologi digital berkoinsidensi dengan globalisasi membuat kita mengira bisa menjangkau apa saja termasuk matahari, kini kemajuan teknologi digital berkoinsidensi dengan pandemi memvonis nasib kita: kita tidak bisa kemana-mana.
Kalau tadinya kita merasa bisa maju dengan kecepatan tinggi seperti omong kosong para motivator, kini kita mundur dengan kecepatan tak kalah tinggi. Teknologi paling kita butuhkan adalah teknologi sederhana, yang saking sederhananya tidak kita sadari betapa besar manfaatnya, yakni sendok.
Anehnya waktu terasa berjalan cepat. Tahun yang suram di mana kita banyak kehilangan kenalan, teman, bahkan saudara tiba-tiba akan segera berlalu, kata teman tadi. Mungkin sebagian orang merasakan demikian, dik. Tidak ada yang lebih meresahkan dibanding tidak adanya kesibukan dan rasa bosan.
Waktu adanya hanya dalam pikiran. Tanpa pola seperti misalnya pagi berangkat ke kantor, makan siang sambil kencan entah dengan siapa, petang kembali ke rumah dan berharap pagi segera tiba biar bisa kabur lagi, waktu jelas akan terasa lama.
Kecuali bagi yang memang ndablek, kini kegiatan domestik menata ulang persepsi manusia mengenai waktu. Banyak yang menyibukkan diri dengan kegiatan memasak, berkebun, renovasi rumah, ikut berbagai pelatihan secara online, dan lain-lain. Eau de parfum ganti minyak kayu putih.
Kebiasaan dan disiplin adalah musuh kebosanan. Dengan itu kita menguasai waktu, bukan sebaliknya, dikuasai oleh waktu. Otak adalah gudang pola kebiasaan alias habit.
Pada tanggal ini, persis lima tahun lampau, saya menulis esai berjudul Inikah Senjakala Kami yang membuat gusar banyak orang. Berkali-kali saya menerangkan waktu itu bahwa maksud saya bukanlah hendak menyombongkan keunggulan koran, media cetak yang di ambang senjakala, sembari meremehkan kedangkalan media digital. Bukan, sama sekali bukan itu. Saya hanya mengamplifikasi pendapat ahli mengenai implikasi perubahan medium.
Dalam hal itu, sivilisasi yang ditumbuhkan oleh ditemukannya mesin cetak berikut meluasnya buku serta bacaan lain, segera akan berakhir digantikan oleh supremasi medium digital. Digitalisme perlahan-lahan meniadakan yang fisik, menggantikannya dengan yang virtual, maya, hyper real. Dengan ini manusia memperoleh peluang untuk pertumbuhan baru, ditandai dengan perubahan seperti kita lihat sekarang, yang industrial menjadi personal; korporasi menjadi individuasi; rigiditas menjadi fleksibilitas; dan seterusnya. Mudah-mudahan martabat terjaga, tidak jadi martabak.
Beberapa hari lalu, cucu sepupu saya yang memanggil saya dengan sebutan mbah, mengirim kabar bahwa ia akan segera ditahbiskan menjadi pendeta di sebuah gereja Kristen di Solo. Kepada mbah-nya yang tidak bisa mengerjakan pekerjaan lain kecuali menulis ini dia minta bisakah menulis sesuatu untuknya, temanya “Menjadi Sederhana dan Biasa”. Refleksi yang membanggakan.
Meski bilang ya, sampai saat ini saya tidak tahu harus menulis apa. Saya, sebagaimana banyak orang, terlanjur suka membuat sesuatu yang sederhana menjadi ruwet. Meski zaman sudah mengisyaratkannya, tetap tidak mudah menjadi sederhana dan biasa.