Korupsi Bantuan Sosial 1
Oleh karena itu, para pejabat perlu membuat resolusi di awal tahun 2021. Para wakil rakyat di DPR hingga setingkat menteri harus berjanji untuk bekerja bersih dan tidak korupsi.
Tidak lama lagi kita mengakhiri tahun 2020. Di tengah keprihatinan menghadapi pandemi hampir sepanjang tahun, justru di pengujung tahun rakyat menerima kado pahit.
KPK menetapkan Menteri Sosial Juliari P Batubara sebagai tersangka kasus korupsi bantuan sosial bagi masyarakat terdampak Covid-19.
Kita ibarat peribahasa, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Diketahui dana bansos yang dikorupsi bersumber dari APBN 2020. Sebagian dana APBN berasal dari utang akibat defisit anggaran tahun ini, tetapi malah dikorupsi oleh Pak Menteri Sosial. Hal ini tidak hanya semakin menambah kerugian negara, tetapi juga kesengsaraan pada rakyat kecil seperti kita.
Oleh karena itu, para pejabat perlu membuat resolusi pada awal tahun 2021. Para wakil rakyat di DPR hingga setingkat menteri harus berjanji untuk bekerja bersih dan tidak korupsi. Hilangkan tradisi simbiosis mutualisme antara penguasa dan pengusaha.
Perlu disadari bahwa kita di bumi tak luput dari pengawasan Yang Mahakuasa. Segala yang kita lakukan akan dimintai pertanggungjawaban kelak.
Seyogianya para penguasa semakin meningkatkan ketakwaan kepada Allah agar negeri ini selamat dan rakyat menjadi sejahtera. Cukuplah bencana Covid-19 meluluhlantakkan dunia sepanjang 2020.
Semoga pada tahun 2021 Indonesia menjadi negeri yang diberkati, jauh dari ancaman dan bahaya.
Miladiah Al-Qibthiyah
Tanah Hitam, Jayapura
Korupsi Bansos 2
Istri saya adalah seorang modin perempuan. Pada Sabtu (5/12/2020) ia mendapat surat dari Kementerian Sosial, disampaikan lewat sekretaris RW V Kutisari Indah Selatan, Surabaya. Isi surat adalah informasi untuk mengambil bantuan tunai sosial (BTS).
Besar BTS Rp 300.000, diambil di Kantor Pos Jl Jemur Andayani, Kota Surabaya.
Selain istri, ada juga beberapa tetangga yang menerima surat serupa. Anehnya dalam surat itu tertulis bahwa ini adalah BTS yang ke-8.
Hal itu memunculkan pertanyaan, kalau begitu, siapakah yang menerima bansos dari yang ke-1 sampai ke-7?
Kenyataannya, istri saya baru pertama kali ini menerima bansos. Apakah ini berhubungan dengan ditangkapnya Mensos oleh KPK?
Saya mohon juru bicara, humas Kemensos, atau siapa pun yang berwenang, dapat memberikan penjelasan agar kami semua tidak penasaran.
Sugeng Santosa
Jl Candi Agung IV, Kota Malang
Dua Dominika
Pak Liek Wilardjo, fisikawan cum pemerhati bahasa, dalam Surat kepada Redaksi (Kompas, 8/12/2020) meluruskan tentang letak negara Haiti. Namun, ternyata dalam penjelasan beliau masih ada yang kurang pas juga.
Disebutkan bahwa negara Haiti berjiran dan berbagi pulau dengan Dominika. Nah, di sinilah letak kerancuannya, yang mungkin muncul tanpa kita sadari dalam menyebutkan nama suatu negara.
Negara Dominika yang terletak di Pulau Hispaniola dan bertetangga dengan Haiti itu semestinya disebut secara lengkap sebagai Republik Dominika. Hal ini untuk membedakan Dominika tetangga Haiti dengan Dominika yang merupakan salah satu negara persemakmuran. Dominika yang kedua memang secara geografis letaknya sama-sama di kawasan Laut Karibia.
Beberapa saat lalu saya juga pernah membaca kerancuan serupa tatkala Kompas menyebutkan salah seorang pemain sepak bola dari Irlandia. Padahal, pemain tersebut berasal dari Irlandia Utara.
Semoga penjelasan ini bisa menambah wawasan tentang geografi dunia.
Jakin Laksana Hidajat, SSos
Jl Perintis Kemerdekaan, Magelang 56115
Catatan Redaksi:
Terima kasih atas kecermatan dan kontribusi pengetahuan para pembaca Kompas. Semoga dengan partisipasi Anda sekalian, Kompas menjadi semakin baik dalam memenuhi kebutuhan para pembaca.
Mencegah Pungli
Pada 23 November 2020, untuk kesekian kalinya saya ke Satuan Penyelenggara Administrasi SIM (Satpas) Polrestabes Makassar untuk membuat ulang SIM yang lewat waktu masa PSBB.
Pertama, saya tidak paham standar Satpas dalam meluluskan pendaftar di ujian praktik dan tes berkendara (isyarat dan rambu).
Di tahap isyarat, saya harus mengulang seminggu lagi hanya karena satu kesalahan menyebut isyarat lalu lintas. Kemudian saya kembali mengulang karena tidak mengetahui rambu-rambu. Ketika itu yang diperlihatkan adalah rambu untuk wilayah kendaraan besar, sementara saya pengendara motor.
Karena sulit, orang mungkin lebih memilih calo atau membayar lebih salah satu oknum petugas daripada mengikuti tahap demi tahap pembuatan SIM. Narasinya mudah, tetapi setelah menjalani sungguh merepotkan.
Kedua, masalah biaya. Untuk tes kesehatan Rp 35.000 dan tes psikologi Rp 50.000, yang hanya sebatas formalitas berkas. Tidak ada pemeriksaan kesehatan sama sekali. Di tes psikologi juga hanya mengisi soal secara daring.
Ketika saya telah melewati semua tahap, meskipun dengan mengulang berkali-kali, ada tambahan biaya. Di situs polrestabesmakassar.com, biaya pembuatan SIM Rp 100.000 untuk SIM C. Namun, di tempat verifikasi berkas saya dimintai uang lagi Rp 50.000. Katanya untuk biaya administrasi, beda dengan biaya cetak SIM. Karena uang tidak cukup, akhirnya saya hanya membayar Rp 30.000.
Muhammad
Tamalanrea, Kota Makassar
RUU Baru
Baru-baru ini DPR membahas RUU Larangan Minuman Beralkohol dengan alasan melindungi masyarakat dari dampak negatif dan menciptakan ketertiban umum.
Menurut kriminolog Andrianus Meliala, tidak ada kaitan langsung antara minuman beralkohol dan perilaku kejahatan. Hal senada disampaikan kriminolog Universitas Indonesia, Josias Simon, bahwa tidak ada basis data tentang tindak kejahatan terkait konsumsi minuman beralkohol, pun tidak ada korelasi antara kejahatan dan minuman beralkohol.
Memang ada pengecualian, tetapi jika tidak berhati-hati juga dapat menimbulkan masalah baru. Bab 3 Pasal 8 mengecualikan pada kepentingan terbatas, seperti kegiatan adat, keagamaan, keperluan medis.
Di sisi lain, RUU ini kontradiktif dengan semangat perampingan regulasi. Minuman beralkohol sudah diatur dalam regulasi seperti KUHP Pasal 300 dan 492 dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 25 Tahun 2019.
Pembahasan RUU ini seolah menafikan RUU lain yang lebih mendesak, di antaranya adalah RUU penghapusan kekerasan seksual.
Sihol M Hasugian
Desa Bondarsihudon II, Tapanuli Tengah
Legawa
Pemilihan kepala daerah di 270 daerah (provinsi, kabupaten, kota) di Indonesia telah usai. Berdasarkan penghitungan cepat (quick count) telah diketahui pasangan mana yang menjadi pemenang. Namun, demi kepastian, kita semua menunggu rekapitulasi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk penetapan.
Sesuai aturan, setelah penghitungan oleh KPU, pihak yang berkompetisi menandatangani persetujuan hasil dari rekapitulasi, sebelum pelaksanaan sumpah jabatan pasangan calon terpilih. Sayang, seperti mengulang pola lama, banyak pasangan yang tidak terima karena menganggap pelaksanaan pilkada curang.
Padahal, pengalaman membuktikan, hasil quick count tidak akan jauh berbeda dengan hasil penghitungan manual. Ironisnya, sikap legawa (menerima hasil dengan ikhlas) kurang menjadi budaya sebagian pasangan calon yang kalah.
Ke depan, KPU perlu memasukkan syarat legawa dalam pakta integritas pasangan calon.
Sikap legawa sebenarnya tidak hanya setelah penghitungan suara usai pilkada, tetapi juga legawa untuk membersihkan alat peraga pilkada, seperti poster, spanduk, dan baliho, yang bertebaran.
FX Triyas Hadi Prihantoro
Guru SMP Pangudi Luhur Domenico Savio, Semarang
Butuh Negarawan
Cerita tentang Bung Hatta menjadi menarik apabila kita membaca ulah beberapa menteri yang ditahan KPK.
Ada kisah tentang tidak adanya ucapan sepatah kata pun dari Bung Hatta kepada istrinya tentang pemotongan nilai uang. Padahal, sang istri sedang menabung untuk membeli mesin jahit. Rencana batal karena nilai uang jatuh.
Kisah lain Bung Hatta adalah keinginan memiliki sepatu Bally, yang iklannya disimpan di dalam dompet. Sampai meninggal, keinginan itu tidak juga kesampaian.
Demikian juga cerita tentang Pak Hoegeng, Kapolri, yang meminta istrinya menutup toko bunga miliknya karena khawatir ada benturan kepentingan.
Itu semua menjadi inti kejujuran serta integritas pribadi sosok manusia yang memandang jabatan sebagai amanah, menuntut tanggung jawab pribadi yang luhur.
Memprihatinkan melihat perilaku para manusia yang berkecimpung di dunia politik maupun birokrasi saat ini, jauh dari kejujuran dan integritas.
Betul bahwa zeitgeist atau ruh zaman berubah. Namun, tata nilai kejujuran, kebenaran, dan integritas pribadi tak lekang oleh waktu. Itu nilai yang harus dijaga dan dipupuk.
Hadisudjono Sastrosatomo
Jalan Pariaman, Setiabudi, Jakarta 12970