Cuaca
Tetapi, saya bersyukur bahwa saya memilih untuk beradaptasi daripada tak peduli.
Pada saat Anda membaca tulisan ini, saya sudah satu bulan lamanya menghabiskan waktu di pulau dewata. Selama hampir tiga puluh satu hari itu, saya hanya menemui langit biru tak lebih dari hitungan lima jari. Itu pun tak berlangsung sepanjang hari. Kalaupun terlihat biru masih saja ada awan putih dan hitam di sana sini.
Tidakkah tahun 2020 seperti itu rasanya?
Kursi kekesalan
Begitulah yang saya rasakan ketika melihat cuaca seperti itu. Bahkan, sinar matahari yang bersinar terik di pagi hari, itu sama sekali tak dapat dijadikan patokan bahwa sepanjang hari akan oke-oke saja. Acap kali ketika saya sedang menyelesaikan proyek di pulau eksotis ini, hujan datang kapan saja.
Lalu, ketika saya dan tim bergegas lari mencari tempat untuk berteduh, langit mendadak terang dan hujan berhenti seketika. Kalau saya katakan seketika, itu benar-benar seketika. Seketika hujan, seketika terang. Saya sampai mengunggah foto di akun media sosial saya dengan keterangan foto seperti sebuah ungkapan yang sekali waktu pernah saya baca, tetapi saya ganti dengan keadaan yang saat itu saya hadapi: Do not predict that your day will be pleasant by the state of the morning.
Bagaimana perjalanan Anda selama 2020? Kondisi cuaca yang saya tuliskan di atas, itu benar-benar menggambarkan suasana 2020 dalam kehidupan saya. Kalau saya mau menceritakan mungkin lebih hancur lebur dari kondisi cuaca di pulau dewata itu. Tetapi, bukankah Anda dan saya sudah bertahun lamanya mendengar ungkapan bahwa the show must go on.
Suka tidak suka, senang atau sedih, lara atau tidak lara, ketakutan atau tidak, hidup tak bisa dihentikan. Sebab itu, dengan cuaca yang awalnya menjengkelkan, lama-kelamaan saya terbiasa karenanya. Kalau saya maksudkan terbiasa, itu tak berarti saya tak peduli. Karena terbiasa dan tak peduli itu artinya beda banget.
Terbiasa adalah sikap yang terjadi karena saya telah beradaptasi dengan sebuah keadaan senang atau tidak senang. Kemudian adaptasi melahirkan cara mencari solusi. Sementara tak peduli, menurut pemikiran saya, biasanya menghadapi sebuah situasi dengan rasa kesal dan kemudian kekesalan itu tidak melahirkan niat mencari solusi dan melahirkan ketidakmampuan untuk beradaptasi dengan keadaan dan dirinya sendiri.
Kursi adaptasi
Seperti saya katakan di awal, saya merasa kesal. Persis ketika saya menghadapi perusahaan saya dihantam badai pandemi ini. Saya kesal karena selama bertahun lamanya, siang dan malam, saya memanjatkan doa agar perusahaan saya bisa maju, jaya, dan sentosa. Kekesalan bukan karena perusahaan itu terdampak, tetapi karena apa yang saya doakan sama sekali tak terwujud.
Seperti biasa, saya kemudian membeberkan kebaikan yang telah saya buat kepada Tuhan, dan saya merasa tak bisa menerima bahwa apa yang saya lakukan itu sama sekali tak menjamin kehidupan yang baik.
Itu baru soal kehidupan profesional. Kehidupan personal, dalam hal ini adalah kesehatan saya, pun tak hanya terganggu, tetapi tak ada jalan keluarnya. Mau memeriksakan diri ke luar negeri, negara yang ingin saya tuju melakukan lockdown. Jadi mau maju tak bisa, mau mundur apalagi, Terkurunglah saya dengan dua problem di atas, dan terkurung pula dalam tempat tinggal yang seperti sangkar burung itu nyaris setahun lamanya.
Itu masih dengan kekesalan harus berolahraga dengan masker, harus ini, harus itu. Belum lagi membaca berita yang membuat keder. Saat saya menghadapi perubahan dan keadaan cuaca di pulau para dewa itu, saya seperti diperlihatkan perjalanan selama 2020. Sebuah tahun yang tak dapat diduga sebelumnya, yang dijalani dengan arah yang sama sekali tak pasti.
Tetapi, saya bersyukur bahwa saya memilih untuk beradaptasi daripada tak peduli. Itu mengapa di saat kondisi yang terpuruk itu, saya mencari solusi untuk usaha dan kesehatan saya. Sedikit demi sedikit, saya mengubah cara pandang dan sikap saya.
Ada ungkapan yang mengatakan begini: Where you sit defines what you say and what you say defines what you do. Saya memindahkan tempat duduk saya dari kursi kekesalan ke kursi adaptasi.
Benarlah ungkapan itu. Ketika saya belum berniat memindahkan tempat duduk saya, yang saya katakan dari mulut saya hanya omelan dan caci maki dengan menyebutkan semua nama binatang yang selama ini dipakai untuk mengatai secara kasar. Apa yang kemudian saya lakukan? Saya melihat masker hanya menyusahkan dan menyesakkan napas saya saat berolahraga. Saya tak peduli daripada saya beradaptasi.
Di kursi adaptasi itu, saya peduli dengan kesehatan dan kehidupan profesional saya. Di kursi adaptasi itu saya tak lagi bisa melihat seketika hujan dan seketika terang itu menjengkelkan. Di kursi adaptasi itu saya menjadi manusia yang baru.
Manusia yang memiliki mata untuk melihat yang pasti di tengah segala cuaca yang tak menentu. Itu adalah hadiah terbesar buat saya, yang diberikan oleh tahun yang pada awalnya, saya katakan sebagai tahun keparat yang tiada duanya.