Dengan politik yang sudah sangat sepragmatis ini, tak perlulah memuja orang berlebihan. Orang itu berubah-ubah. Apalagi hanya sekadar pernyataan politisi.
Oleh
Budiman Tanuredjo
·4 menit baca
Punceling berlokasi di Ciwideuy, di kaki Gunung Patuha, Bandung Barat. Lokasi itu nyaman digunakan untuk berkemah. Udaranya dingin. Suhunya bisa 13 derajat celsius saat malam. Airnya hangat. Pada akhir pekan, kawasan itu ramai dikunjungi petualang yang meninggalkan Jakarta dan kota lain untuk mencari udara pegunungan yang segar. Damai dan jauh dari kebisingan. Sekitar 3,5 jam dari Jakarta melalui jalan tol.
Wisata alam bercorak petualangan sedang menggeliat. Wisata alam perlu dikembangkan oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno. Bukan hanya untuk daerah wisata superprioritas untuk kelompok yang punya uang.
Akhir pekan lalu saya berkemah di Punceling. Ramai. Banyak petualang dari Jakarta dan Bandung yang nge-camp di kawasan tersebut. Warung sederhana berjejeran, menyediakan makanan sederhana. Ekonomi lokal berputar dari penyewaan alat kemah hingga makanan. Baik pisang goreng, tahu goreng, bandrek, bajigur, maupun mi instan. Di warung dan di kemah, para petualang itu ngobrol ngalor-ngidul. Terasa begitu damai.
Saya ngobrol hingga larut malam dengan seorang pemilik warung. Dia ikut menyediakan peralatan berkemah. Sosok ini menarik. Dia berkaus hitam dengan tulisan kuning: ”Hidup di Negara Korup”. Dia senang bercerita.
Saya tanya pesan apa yang mau disampaikan dengan kaus yang dikenakannya. ”Lha, iya, kan. Apa salah,” katanya ringan. ”Bukankah, apa-apa uang kalau harus menyelesaikan urusan di kota,” selorohnya.
Kami ngobrol ke sana-kemari. Sampai urusan vaksin. Ternyata saudaranya bekerja di perusahaan yang memproduksi vaksin Sinovac. ”Hidup di kota banyak drama. Mari kembali ke alam saja,” ujarnya, mempromosikan hidup di alam.
Benarkah pesan kaus dari pemilik warung di Punceling? Pada saat peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia, 10 Desember 2020, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut, survei Transparency International Global Barometer tahun 2019-2020 menunjukkan sebanyak 30 persen warga yang menggunakan layanan publik masih harus menyogok.
Sri Mulyani mengaku menerima banyak keluhan di media sosial soal pelayanan publik. ”Ini tidak hanya di pusat, sering di daerah. Dalam feedback di media sosial, banyak yang tidak bisa membedakan ini pelayanan daerah atau pusat. Buat mereka pemerintah itu satu,” katanya.
”Korupsi ini bukan tanggung jawab pimpinan, ini tanggung jawab kita semua. Karena satu virus korupsi, satu virus yang mengompromikan integritas. Sama seperti Covid-19, dia bisa menular dan bisa membahayakan institusi,” ujar Sri Mulyani.
Pernyataan Menteri Keuangan itu selaras dengan kaus yang dikenakan pemilik warung di Punceling. Dua menteri Presiden Jokowi juga tega mengutip dana dari bantuan sosial dan dari izin ekspor benur lobster untuk membeli barang-barang mewah.
Almarhum Romo Herry Priyono SJ menyebut, korupsi itu tidak hanya memiskinkan, tetapi juga membusukkan bangsa ini. ”Yang dibusukkan oleh korupsi bukan hanya pelakunya, melainkan seluruh kinerja, maksud dan tujuan mengapa semua institusi berdiri. Karena semua institusi itu prasyarat mutlak hidup bersama kita, luasnya kebusukan yang melanda semua institusi itu membuat hidup bersama kita menjadi busuk. (Korupsi yang Memiskinkan, Penerbit Buku Kompas, 2011)
Sepulang dari Punceling, saya tetap teringat dengan diksi drama dan korupsi. Hidup di kota penuh drama. Apa maknanya?
Ternyata drama itu memang benar-benar terjadi. Perombakan kabinet adalah drama terbaru. Drama yang mengganggu akal sehat rakyat. Para peserta kontestasi politik bernama Pemilihan Presiden 2019 kini bersatu dalam pemerintahan. Capres dan cawapres pesaing, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, bergabung dengan pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin. Pernyataan saling serang capres-cawapres dan pendukung masih bisa dilihat jejak digitalnya. Akan tetapi, akhirnya, happy ending di elite, terbelah di akar rumput.
Pembenaran memang bisa saja dilakukan bahwa elite politik menunjukkan jiwa besar untuk sama-sama membangun bangsa dan memajukan bangsa. Namun, tak salah juga jika ada orang menganggap pemilu hanya menjadi ajang perebutan sumber daya yang memperalat rakyat.
Definisi politik menjadi sangat sederhana: siapa mendapat, apa, kapan dan bagaimana mendapatkannya. Tak salah juga kalau drama perombakan kabinet hanya membenarkan adagium politik bahwa tak ada lawan dan kawan abadi dalam politik, selain kepentingan itu sendiri.
Kepentingan apa? Bisa macam-macam. Ada yang mengatakan kepentingan bangsa. Ada yang menyebut kepentingan pribadi. Kepentingan kelompok? Kepentingan bisnis. Ada pula yang menganalisis kepentingan partai politik dan figur untuk kepentingan pemilu berikutnya.
Dengan politik yang sudah sangat sepragmatis ini, tak perlulah memuja orang berlebihan. Orang itu berubah-ubah. Apalagi hanya sekadar pernyataan politisi. Teringat kata Nikita Khrushchev (1894-1971). Dia berkata begini, ”Politisi itu semua sama. Mereka berjanji membangun jembatan meskipun sebenarnya tidak ada sungai.”
Benar kata pemilik warung di Punceling, Hidup di kota penuh drama. Akan tetapi, sikap yang paling bijaksana adalah berikan kesempatan kepada kabinet bekerja untuk mengendalikan Covid-19 yang belum juga terkendali, memastikan program vaksinasi yang efektif, mengelola resesi ekonomi, dan mencegah terjadinya krisis multidimensi. Dan, yang penting, jangan korupsi.
Semoga ”the dream team” bisa memberikan harapan mengubah Annus horribilis 2020 menjadi Annus mirabilis tahun 2021. Selamat Natal bagi yang merayakannya.