Bila lingkungan medsos yang baik dan sehat menjadi bagian dari hak asasi, konsekuensinya adalah negara wajib menjaga, melindungi, dan menegakkan hak tersebut sebagaimana amanat dalam UU HAM.
Oleh
IRWAN DUSE
·5 menit baca
Guna menciptakan lingkungan media sosial yang sehat, bangsa ini memerlukan pendekatan hukum preventif dan humanis ketimbang melulu memekikkan ancaman pidana. Salah satunya dengan mengkaji penerapan konsepsi HAM dalam tata kelola media sosial.
Dampak ikutan wabah Covid-19 adalah kian akrabnya pelajar dengan gawainya. Belajar secara daring, pemberian tugas melalui Google Classroom adalah sederet kegiatan pemantik menuju jalan keakraban itu. Anak-anak dirumahkan, jauh dari pergaulan sosial sesungguhnya. Alhasil media sosial menjadi alternatif komunikasi sekaligus ruang sosial baru yang menyenangkan. Facebook, Twitter, Instagram, bukan hal baru bagi mereka.
Sayangnya, di beranda media sosial, klan kebaikan tak henti bertempur dengan klan keburukan. Di sana anak-anak kita bisa menemukan informasi sarat kebajikan, tetapi dengan mudah pula tersodori bacaan penuh kebencian. Fakta sering kali beradu pengaruh dengan hoaks. Sampah kata-kata dan kata-kata sampah acap kali menyeruak di tengah pro dan kontra argumentasi.
Antagonisme medsos bahkan digeletakkan utuh hingga ke kamar tidur generasi bangsa melalui telepon pintar.
Antagonisme medsos bahkan digeletakkan utuh hingga ke kamar tidur generasi bangsa melalui telepon pintar. Ia tak peduli mereka telah cukup umur atau belum, kemampuan kognitifnya sudah siap mencerna atau sebaliknya. Medsos tak punya filter. Penggunanyalah yang harus membuat penyaring sendiri-sendiri.
Dalam situasi dilematis begitu, perbincangan tentang faham dan ideologi, isu kemajemukan SARA, terorisme dan potensi perpecahan negeri, serta tema-tema berat lainnya tak jarang mengemuka. Sayangnya, sebagian ulasan tak sedikit berasal dari pikiran tanggung penuh asumsi.
Tak ada jaminan diskursus tersebut tidak menghampiri beranda medsos anak-anak tanggung negeri ini, sebagaimana tak bisa dijamin pula mereka tidak terpengaruh oleh informasi sesat yang tersaji.
Langkah dan terobosan hukum
Lalu bagaimana kita menjaga generasi belia bangsa dari ”pengaruh lingkungan” media sosial? Filter pikiran mereka belum sepenuhnya mampu mengayak dan mengolah informasi dengan baik. Para remaja perlu pendampingan, bimbingan dan pantauan orang tua. Akan tetapi, sejauh mana orang tua maksimal melakukan peran itu?
Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah merencanakan membatasi usia pengguna media sosial minimum 17 tahun. Terobosan ini cukup logis meskipun tetap membuka peluang untuk diakali. Sementara itu aparat penegak hukum agaknya cenderung represif ketimbang preventif karena pendekatan hukum yang selama ini ditempuh adalah pendekatan hukum pidana.
UU ITE, misalnya, begitu sering terdengar menjadi dasar menjerat netizen nakal. UU ini sekaligus menjadi momok menakutkan bagi peselancar media sosial. Namun, efek jera yang dimunculkan tampaknya harus dipertanyakan ketika berita bohong, fitnah, dan lain-lain masih saja lalu lalang di linimasa medsos. Sebagian pihak tak sedikit pula yang mempertanyakan substansi penerapan UU ITE, berikut sasaran hukum yang dipandang tidak merata kepada semua netizen.
Diperlukan terobosan lain berupa pendekatan yang lebih humanis dan menyentuh.
Bangsa ini seperti miskin terobosan hukum yang secara preventif menumbuhkan kesadaran netizen menjaga kehormatan berkomunikasi digital. Upaya-upaya pencegahan dilakukan hanya sebatas imbauan dari tokoh bangsa atau sejenis fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Diperlukan terobosan lain berupa pendekatan yang lebih humanis dan menyentuh. Salah satunya dengan penerapan konsepsi hukum hak asasi manusia. Cara-cara berinteraksi manusia telah jauh berkembang seiring laju inovasi teknologi informasi. Pasal-pasal HAM harusnya hadir dalam pola interaksi baru itu.
Salah satu konsepsi HAM yang sering dikaitkan dengan media sosial adalah hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Yang paling sering terdengar adalah hak kebebasan menyatakan pendapat atau kebebasan berekspresi. Namun, dua hak dasar tersebut tak jarang justru menjadi biang kekacauan ketika dipahami secara keliru.
Konstitusi sebagai hukum tertinggi melalui Pasal 28 H Ayat 1 UUD 1945 menyatakan setiap orang berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. UU HAM menegaskan ulang dengan kalimat yang persis sama melalui Pasal 9 Ayat 3. Adapun pada UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan melalui Pasal 65 Ayat 1 menyatakan setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.
”Lingkungan Hidup” Medsos
Lalu bagaimana dengan ”lingkungan hidup” media sosial? Jika kita tengok definisi lingkungan hidup dalam perspektif hukum, UU No 32 Tahun 2009 memaknai lingkungan hidup sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang memengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Jika demikian, mungkinkah medsos dapat dikategorikan lingkungan hidup dari perspektif UU di atas? Debatnya tentu panjang, terlebih karena UU 32 Tahun 2009 secara umum berbicara tentang lingkungan hidup sebagai sebuah ekosistem. UU tersebut lebih berkonsentrasi pada upaya pelestarian alam, pencegahan pencemaran, dan seterusnya.
Alternatif yang bisa ditempuh adalah mendefinisikan ulang pengertian lingkungan hidup atau memperluas kriterianya atau menyematkan aturan lain pada UU yang relevan melalui proses legislasi di DPR.
Kampanye humanis bermedia sosial juga akan memiliki nilai lebih bila dipertalikan dengan HAM ketimbang melulu memekikkan ancaman pidana.
Bila lingkungan medsos yang baik dan sehat menjadi bagian dari hak asasi, konsekuensinya adalah negara wajib menjaga, melindungi, dan menegakkan hak tersebut sebagaimana amanat Pasal 281 Ayat (4) UUD 1945 dan Pasal 71 UU HAM. Kampanye humanis bermedia sosial juga akan memiliki nilai lebih bila dipertalikan dengan HAM ketimbang melulu memekikkan ancaman pidana.
Momentumnya adalah saat ini ketika wacana RUU perubahan UU 32 Tahun 2009 telah diusulkan dewan pada pengujung 2019 dan saat ini tengah dibahas RUU Perlindungan Data Pribadi oleh DPR. Agar kajiannya menjadi utuh dan komprehensif, perspektif HAM sebaiknya diikutkan, dengan melibatkan pakar dan pegiat HAM.
Dengan cara itulah kita bisa menjaga ”ekosistem” media sosial menunjang kehidupan sosial secara lebih baik dan ramah. Penerapan HAM dalam tata kelola media sosial diharapkan menjadi benteng kuat menjaga generasi belia bangsa dari rongrongan iklim brutal media sosial.