Pembelajaran di Masa Pandemi: Cerita dari Tana Tidung
Kesigapan Kemendikbud dalam upaya memberikan yang terbaik untuk anak-anak dan meringankan beban guru serta orang tua patut diapresiasi.
Oleh
EVI SAYONO
·6 menit baca
Di awal bulan Agustus 2020 Kemendikbud merilis kurikulum kondisi khusus. Banyak guru dan orang tua murid yang merasa sedikit lega dengan kebijakan itu. Bagi para guru, mereka tidak lagi harus mengajarkan banyak kompetensi dasar yang ada pada Kurikulum 2013, sedangkan bagi orang tua, mereka dapat lebih fokus mengajarkan dua keterampilan yakni keterampilan Literasi dan Numerasi.
Kurikulum kondisi khusus yang dikeluarkan Kemendikbud seperti menjawab kebutuhan siswa dan guru yang sejak akhir Maret 2020 harus menjalani proses Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) untuk mengurangi resiko terpaparnya guru dan siswa dari Covid-19. Saat anak melewati proses PJJ, guru masih menggunakan kurikulum 2013 dengan banyak kompetensi dasar, sehingga timbul kekhawatiran apakah siswa dapat menuntaskan kurikulum.
Sebagai ilustrasi pada kurikulum 2013 mata pelajaran Bahasa Indonesia kelas I terdapat 11 Kompetensi Dasar (dari aspek Pengetahuan) dan 11 Kompetensi Dasar (dari aspek keterampilan). Oleh karena guru belum memiliki referensi pembelajaran yang baru, buku tematik kurikulum 2013 yang dikirimkan kepada siswa untuk bahan kegiatan belajar di rumah, padahal buku ini disiapkan untuk pembelajaran tatap muka.
Karena harus juga menuntaskan kurikulum maka guru kemudian juga memberikan tugas tambahan untuk siswa belajar di rumah.
Karena harus juga menuntaskan kurikulum maka guru kemudian juga memberikan tugas tambahan untuk siswa belajar di rumah. Sebagai akibatnya, di awal proses PJJ banyak sekali siswa dan orang tua yang stres karena harus mendampingi anak-anaknya belajar di rumah. Bagaimana tidak? Anak-anak terutama yang masih duduk di sekolah masih memiliki kebutuhan untuk bermain dengan rekan sebayanya kini harus diam di rumah untuk mengerjakan banyaknya tugas.
Menurut Chip Wood (Yardstick, 2007) usia 7-9 tahun biasanya bisa mengerjakan tugas di rumah dalam durasi maksimal 30 menit, maka bayangkan dalam masa pandemi dimana mereka harus berjam-jam mengerjakan tugas di rumah.
Masih menurut Chip Wood, anak usia Sekolah Dasar membutuhkan tugas yang membuat mereka merasa sukses ketika mengerjakan, jadi singkatnya tugas yang diberikan haruslah sesuai dengan kesiapan siswa. Ketika siswa stres mengerjakan banyaknya tugas maka motivasi untuk menyelesaikannya juga akan turun, dan hal ini tentu akan membuat orang tua juga frustasi ketika mendampingi anak belajar.
Oleh karena itu, ketika kurikulum kondisi khusus dirilis dengan jumlah kompetensi dasar yang lebih sedikit, guru dapat sedikit bernafas lebih lega. Sebab dari 11 Kompetensi Dasar untuk masing-masing aspek pengetahuan dan keterampilan dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia pada kurikulum 2013, dipangkas menjadi enam kompetensi dasar.
Tidak hanya itu, pemerintah dalam hal ini Kemendikbud juga memberikan keleluasaan pada satuan pendidikan (Sekolah) untuk memutuskan apakah masih akan terus menggunakan kurikulum 2013 sendiri? Atau menggunakan Kurikulum Kondisi Khusus? Atau menggunakan Kurikulum 2013 dan disederhanakan sendiri oleh satuan pendidikan. Lagipula, yang paling mengetahui apa yang dibutuhkan siswanya adalah guru mereka sendiri bukan?
Tetapi dengan dirilisnya Kurikulum Kondisi Khusus kini guru memiliki pilihan yang lebih memudahkan mereka dan yang juga penting tentu saja para siswa.
Namun demikian, dirilisnya Kurikulum Kondisi Khusus masih menyisakan sebuah permasalahan lain, yakni pembuatan bahan ajar.
Penggunaan buku yang didesain untuk pembelajaran tatap muka kurang sesuai untuk digunakan saat proses PJJ.
Penggunaan buku yang didesain untuk pembelajaran tatap muka kurang sesuai untuk digunakan saat proses PJJ. Perlu dibuat materi ajar yang sesuai untuk kondisi khusus. Karena, kondisi pandemi adalah kondisi yang ”luar biasa” butuh materi ajar yang juga “luar biasa”.
Bagi para guru yang belum terbiasa membuat materi ajar sendiri (Lembar Aktifitas Siswa / Lembar Kegiatan Siswa) ini menjadi tantangan tersendiri. Meskipun Kemendikbud juga sudah memberikan panduan bahwa LAS/LKS dapat difokuskan pada keterampilan literasi dengan mengintegrasikan mata pelajaran lain di dalamnya, namun pada kenyataannya tidaklah mudah membuatnya, apalagi bagi yang sudah terbiasa “dimudahkan” dengan penggunaan buku teks siswa.
Seperti mengetahui apa yang dibutuhkan guru, Kemendikbud kemudian juga merilis materi ajar yang dapat langsung digunakan oleh guru. Meski namanya adalah modul Literasi dan Numerasi, namun di dalamnya juga terintegrasi dengan mata pelajaran lain. Di dalam modul literasi tiap minggunya anak akan diberikan cerita fiksi atau non-fiksi yang isinya terkait dengan mata pelajaran lain seperti IPA, IPS, maupun pelajaran lainnya.
Membaca menjadi kegiatan inti dalam modul literasi yang dijadwalkan untuk dilakukan siswa setiap hari. Kemampuan mereka mengingat kembali informasi dalam cerita, serta pertanyaan-pertanyaan pemantik yang memancing siswa untuk menggunakan keterampilan berpikir tingkat tinggi juga terdapat di dalam modul ini, sehingga diharapkan siswa dapat memahami apa yang mereka baca, suatu hal yang kurang dari siswa kita.
Selain itu dalam modul ini juga diselipkan teks membaca yang terkait dengan bagaimana siswa dapat melindungi dirinya dari Covid-19. Di akhir minggu, siswa diberikan proyek mingguan yang juga terintegrasi dengan mata pelajaran lain seperti Seni Budaya dan Keterampilan, Sains, dan lain-lain.
Namun demikian masih ada tantangan dalam penggunaan modul ini di lapangan. Yang pertama adalah dari segi jumlah halaman. Untuk pembelajaran satu minggu rata-rata tiap jenjang kelas memiliki antara 120 sampai 150 halaman. Hal ini menjadi tantangan bagi sekolah untuk menggunakannya karena terkait dana penggandaan.
Modul harus digandakan agar bisa digunakan siswa.
Memang modul ini dapat diunduh di website Kemendikbud, namun bagi kami yang berada di daerah-daerah tuna-sinyal tentunya hal ini tidak menjadi pilihan. Modul harus digandakan agar bisa digunakan siswa. Penggandaannya memakan biaya yang besar tentunya, pun menjadi kendala juga apabila di daerah-daerah pedalaman yang tidak memiliki mesin fotokopi.
Kendala kedua adalah modul yang masih terkesan didesain untuk One-size-Fits all (Satu ukuran untuk semua). Contohnya pada modul kelas 1 dimana diasumsikan siswa sudah mampu membaca semua. Ini menjadi kendala ketika tahun ajaran baru pada bulan Juli 2020 lalu. Guru kelas 1 di Kabupaten Tana Tidung mengeluhkan bahwa mereka belum pernah bertemu calon siswa mereka sehingga mereka tidak mengetahui kemampuan anak-anak mereka.
Keluhan guru ini kemudian didiskusikan dengan pihak Dinas Pendidikan Kabupaten Tana Tidung. Langkah berani yang mereka lakukan adalah memutuskan untuk membuat pemetaan kemampuan membaca seluruh siswa kelas 1 se-kabupaten.
Sebelum pembelajaran tahun ajaran baru 2020/2021 dimulai Dinas Pendidikan telah mendapatkan pemetaan kemampuan membaca siswa kelas 1. Dari data ini kemudian Dinas Pendidikan Kabupaten Tana Tidung membentuk tim pengembang yang bertugas membuat Lembar Aktifitas Siswa khusus kelas 1 yang disesuaikan dengan kesiapan siswa. Ada dua jenis Lembar Aktifitas Siswa yang dikembangkan yakni untuk siswa yang sama sekali belum mengenal huruf, dan siswa yang sudah mulai membaca suku kata menjadi kata.
Setelah Modul Literasi dirilis oleh Kemendikbud di bulan Agustus, siswa yang sudah dapat membaca menggunakan modul literasi yang telah diadaptasi sesuai dengan kebutuhan siswa-siswanya.
Kendala ketiga ada di bagian penilaian formatif untuk pembelajaran. Karena terbiasa mengambil nilai yang kemudian dirata-ratakan, maka menjadi tantangan juga bagi guru untuk menerjemahkan lembar penilaian berupa lembar refleksi yang ada pada modul literasi, meskipun sebenarnya melakukan refleksi dari apa yang siswa sudah pelajari adalah cara yang sangat baik untuk mengembangkan Meta-cognitive thinking skill salah satu cara berpikir tingkat tinggi ( The New Taxonomy of Educational Objectives, 2007).
Namun demikian, kesigapan Kemendikbud dalam upaya memberikan yang terbaik untuk anak-anak dan meringankan beban guru serta orang tua patut diapreasi. Jika dilihat edisi terbaru modul Literasi dan Numerasi yang dipublikasi setiap minggunya maka kita akan dapat melihat upaya-upaya perbaikan di dalamnya yang seperti menjawab apa yang dibutuhkan oleh guru di lapangan.
(Evi Sayono Pegiat Pendidikan di Kabupaten Tana Tidung Kalimantan Utara dan Sumba, NTT)