Kalau kelompok di atas 59 tahun dan kelompok komorbid tidak termasuk prioritas, berarti risiko beban layanan sakit berat dan sakit kritis akan dipikul negara.
Oleh
Handrawan Nadesul
·3 menit baca
Pemerintah menetapkan kelompok yang risiko tertularnya lebih besar sebagai prioritas vaksinasi Covid-19. Mereka adalah tenaga kesehatan, polisi, tentara, satpol PP, dan peserta BPJS. Masuk akal. Namun, perlu dikaji ulang untuk kelompok komorbid dan usia di atas 60 tahun, karena mereka baru mendapat giliran setelah kelompok umur sampai 59 tahun.
Kelompok komorbid dan usia di atas 59 tahun, bila tertular Covid-19 umumnya berisiko sakit lebih berat, bahkan kritis, dibanding kelompok usia yang lebih muda. Angka kematian Covid-19 dipenuhi oleh kelompok senior. Sedang pada kelompok usia muda, kebanyakan hanya sakit ringan atau OTG (orang tanpa gejala). Mereka tidak butuh fasilitas rumah sakit karena Covid-19 menyembuh sendiri (self limiting). Angka kematian pun 3-4 persen.
Semakin tua usia, semakin menurun sistem kekebalan tubuh. Kalau kelompok di atas 59 tahun tidak termasuk prioritas, berarti risiko beban layanan sakit berat dan sakit kritis akan dipikul negara. Demikian pula beban yang harus dipikul negara apabila kelompok komorbid tidak didahulukan mendapat vaksin. Menurut WHO, angka kematian Covid-19 kita besar dari rata-rata dunia.
Komorbid meliput penyakit pembuluh darah cardiovascular disease (CVD) seperti hipertensi, jantung koroner, stroke, selain asma, ginjal, otoimun, dan TB paru. TB paru penyumbang terbesar komorbid Covid-19.
Selain itu, ada lebih 10 juta penderita diabetes di Indonesia, 30 juta pradiabetes, 63 juta hipertensi. Tercatat 37 persen kematian akibat CVD di Indonesia. Angka kematian ini bisa bertambah tinggi bila komorbid CVD tidak masuk vaksinasi prioritas.
Kita tahu ketersediaan vaksin sangat terbatas, maka perlu prioritas. Namun yang kita tahu, program vaksinasi nasional untuk menanggulangi pandemi, perlu masif dan serempak agar masyarakat yang kebal Covid-19 merata dan terjadi kekebalan kelompok (herd immunity).
Respons keberhasilan perlu dilihat sebulan sejak vaksinasi, mengingat perlu dua kali suntikan (recombinant vaccine). Masih dipertanyakan pula berapa lama kekebalan bertahan. Ada yang menyebut 90 harian. Bila itu asumsinya, maka setelah 3 bulan masyarakat perlu divaksinasi ulang (booster).
Dr Handrawan Nadesul
Jl Metro Alam I, Pondok Indah, Jakarta Selatan
APD Pejabat
Untuk kesekian kalinya, pejabat publik dari menteri, gubernur, bupati, walikota hingga para pejabat lembaga lainnya, tertular Covid-19. Terakhir, gubernur DKI Jakarta berikut wakilnya, gubernur Riau dan wali kota Malang, positif terinfeksi Covid-19.
Tugas dan mobilitas pejabat publik yang tinggi, membuat mereka potensial terpapar.
Dari catatan koran Kompas (Rabu, 2/12/2020), hingga 1 Desember 2020 terdapat 48 kepala daerah yang positif korona. Dengan rincian 7 orang dalam perawatan, 33 orang sembuh, dan 8 orang meninggal dunia.
Ini sinyal lampu merah buat para pejabat publik. Karena tuntutan tugas, sebagian besar pejabat pusat maupun daerah banyak berada di lapangan, Apalagi sebelum pilkada.
Walaupun protokol Kesehatan (3M) sudah dijalankan, namun dalam momen-momen tertentu, sangat sulit bagi para pejabat untuk menghindari kerumunan. Inilah sebetulnya potensi terbesar penular virus korona.
Sudah saatnya para pejabat publik menggunakan Alat Pelindung Diri (APD), tak sekadar masker dan face shield. Sebuah upaya antisipasi pro aktif agar tidak mudah terpapar Covid-19.
Dalam berbagai kesempatan, sering terlihat pejabat lalai menggunakan masker. Sudah barang tentu ini bukan contoh baik buat masyarakat.
Hanya ada satu resep paling aman untuk menangkal ancaman Covid-19, yakni jauhi kerumunan. Suatu hal yang paling sulit dilakukan oleh para pejabat dalam tugasnya.