Restorasi Haluan Negara, Mungkinkan Tanpa Revitalisasi MPR?
Halauan negara yang berjangka panjang seharusnya tidak diserahkan kepada presiden, tetapi harus dirumuskan bersama melalui majelis terlengkap yang mewakili semua elemen kekuatan rakyat, yaitu MPR.
Oleh
Ansel da Lopez
·6 menit baca
Setelah belasan tahun berlangsung sebagai landasan pembangunan nasional menggantikan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 belakangan ini telah banyak menuai perbincangan di masyarakat, yang menghendaki agar negara ini kembali memiliki haluan negara ”model GBHN” sebagai pedoman dasar pembangunan nasional.
SPPN dinilai lebih bercorak teknokratik dan pragmatik-politik, lebih merespons kepentingan jangka pendek sebagai penjabaran visi-misi presiden terpilih. Kurang bersifat ”strategi idelogi pembangunan” yang mencerminkan tujuan dan cita-cita nasional dan belum tersusun secara terintegrasi. Oleh karena itu, setelah pendekatan teknokratik dan pragmatik-politik, kini perlu dilengkapi pendekatan dengan perencanaan yang lebih komprehensif jangka panjang berbasis ideologi, tujuan, dan cita-cita nasional, yaitu masyarakat Indonesia yang bersatu, maju, adil dan sejahtera sesuai nilai-nilai Pancasila.
Demkian pula halnya dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2000-2025 berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007, beserta Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) sebagai wujud pelaksanaan SPPN, yang akan segera berakhir seiring dengan akan selesainya kepemimpinan periode kedua Presiden Joko Widodo.
Kehadiran RPJPN dan RPJMN juga belum mengakomodasi sebuah pedoman pembangunan, dan pasti akan menyulitkan pemerintahan berikutnya untuk meneruskannya secara berkelanjutan. Penyusunan RPJPN kurang mewakili kepentingan seluruh bangsa karena tidak disusun secara transparan dan belum melibatkan berbagai komponen bangsa. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 yang dibuat pemerintah melalui DPR sebagai landasannya lebih hanya mewakili partai politik.
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 sejak beberapa tahun terakhir memang mengesankan ada pemberian wewenang tunggal kepada presiden terpilih untuk menentukan nasib negara. Mungkin karena ada anggapan bahwa oleh karena presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, presiden bersama wakil presiden juga berhak merumuskan dan melaksanakan kebijakannya sendiri secara langsung, dengan merujuk pada sistem pembangunan nasional yang sudah ada (SPPN). Padahal, presiden dan wakil presiden yang terpilih melalui pemilihan umum tidak serta-merta berkorelasi dengan capaian kemajuan dalam bidang ekonomi, politik, hukum, dan kesejahteraan sosial, sebagaimana dicita-citakan oleh Pembukaan UUD 1945.
Atas berbagai kelemahan SPPN dan RPJPN tersebut, tidak heran jika belakangan ini terus berkembang aspirasi masyarakat agar negara ini kembali memiliki haluan negara ”model GBHN” pada masa lalu, sebagai kaidah penuntun (guidance principles) yang berisi arahan dasar (directive principles), baik yang bersifat ideologis maupun yang strategis-teknokratis.
Menangkap berbagai aspirasi yang berkembang tersebut, MPR pun tidak tinggal diam dan terus bergerak terjun ke masyarakat. Setelah menerima berbagai aspirasi dari berbagai kelompok masyarakat, antara lain dari ormas-ormas keagamaan dan dari kaum akademisi, seperti Forum Rektor Indonesia, pada hari Selasa, 8 Desember 2020, MPR juga menggelar diskusi (FGD–focus group discussion) dengan Dewan Rektor Universitas Krisnadwipayana (Unkris).
Selanjutnya, pada hari Kamis tanggal 17 Desember 2020, MPR juga menggelar FGD dengan Aliansi Kebangsaan, yang dipimpin ketua umumnya, Pontjo Sutowo. FGD yang melibatkan Aliansi Kebangsaan bersama Forum Rektor Indonesia dan Asosisi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) ini adalah untuk yang ketiga kalinya setelah FGD pertama pada tanggal 9 November 2020 dan FGD kedua pada 3 Desember lalu.
Menjelang akhir masa bhakti 2009-2014, MPR waktu itu juga telah menyusun serangkaian rekomendasi kepada MPR masa bakti 2014-2019 untuk menangani serangkaian masalah penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satunya adalah perlunya menghidupkan kembali GBHN atau apa pun namanya sebagai sebuah haluan negara. Sekali lagi, ingin dihidupkannya kembali haluan negara semacam GBHN bukan karena kita ingin kembali ke masa Orde Baru. Kembali ke haluan negara merupakan kebutuhan mendesak bagi bangsa Indonesia.
Ketiadaan naluan negara akan menghilangkan aspek yang paling penting dalam proses perencanaan, yakni absennya ”strategi idelogi pembangunan”. Apalagi mengingat masa jabatan kedua Presiden Joko Widodo tinggal sekitar tiga setengah tahun lagi sehingga demi kelanjutan pembangunan nasional, perlu segera ditetapkan pedoman dasar pembangunan ke depan sebagai acuan pemimpin nasional yang baru.
Keberadaan haluan negara merupakan paket integral dari konsepsi negara kekeluargaan yang dikehendaki Pancasila dan UUD 1945. Dalam konsepsi negara kekeluargaan yang menekankan konsensus, haluan direktif kebijakan dasar yang berjangka panjang tidak diserahkan kepada presiden sebagai ekspresi kekuatan mayoritas, tetapi harus dirumuskan bersama melalui majelis terlengkap yang mewakili semua elemen kekuatan rakyat. Sementara Presiden diberi kewenangan untuk menetapkan kebijakan implementatif dalam bentuk rencana-rencana pembangunan jangka pendek.
Menghadirkan kembali haluan negara tentu saja tidak bisa dipisahkan dari MPR. Haluan negara dan MPR ibarat ”dua sisi dari satu mata uang”. Yang terutama menjadi soal sekarang adalah bagaimana kedudukan hukum dari haluan negara tersebut mengingat fungsi MPR untuk menetapkan haluan negara sudah dihapus semenjak Amandemen UUD 1945 menjadi UUD NRI 1945 pasca-Reformasi. Oleh karena itu, tentu tidak ada pilihan lain, kecuali dengan merevitalisasi MPR terlebih dulu menyangkut dua hal, yakni komposisi keanggotaan dan fungsi/kewenangan MPR.
Keanggotaan MPR harus menyertakan kembali utusan golongan agar MPR nanti benar-benar menjadi lembaga perwakilan yang inklusif, yang mengikutsertakan semua unsur yang ada di masyarakat Indonesia yang sangat plural ini supaya benar-benar menjadi majelis terlengkap yang mewakili semua elemen kekuatan rakyat. Hal ini agar sejalan dengan maksud dan tujuan untuk menyusun haluan negara itu sendiri. Bukankah haluan negara yang ingin dihidupkan kembali juga diharapkan merupakan sebuah pedoman dasar pembangunan nasional yang inklusif, yang menyertakan kehendak seluruh rakyat Indonesia yang majemuk?
Oleh karena itu, idealnya agar penetapan kembalinya haluan negara pun melalui MPR sebagai lembaga perwakilan yang inklusif yang menyertakan pula utusan-utusan golongan (keterwakilan), bukan saja terdiri dari mereka yang dipilih melalui pemilihan umum (keterpilihan), seperti komposisi keanggotaan MPR sekarang.
Sebagai mandataris daulat rakyat, MPR diharapkan dapat mencerminkan ekspresi semua kekuatan rakyat. Bisa terdiri dari utusan golongan-golongan marjinal-terdiskriminiasikan, yang kepentingan golongannya tidak otomatis terwakili dalam DPR, serta utusan golongan-golongan strategis dalam masyarakat, termasuk golongan yang (karena undang-undang) hak pilih dan/atau hak dipilihnya ditiadakan.
Akan tetapi, proses merevitalisasi komposisi keanggotaan MPR dengan mengikursertakan utusan golongan tersebut tentu tidak merupakan hal yang mudah. Perjalanannya bisa jadi panjang. Ibarat bermain biliar, bola bisa bergerak liar ke mana-mana. Apalagi belakangan ini juga sudah banyak muncul wacana agar bangsa ini kembali ke UUD 1945 yang asli.
Guna mencegah ’kegaduhan” baru kehidupan ketatanegaraan kita, pilihan lain untuk memberi status hukum pada haluan negara adalah dengan memberi kewenangan kepada MPR untuk menetapkan Ketetapan (Tap) MPR, khususnya kewenangan untuk menetapkan TAP MPR tentang Halauan Negara. Hanya kewenangan untuk menetapkan (beschikking) saja, bukan kewenangan pengaturan (regeling).
Alternatif kedua ini dipandang akan jauh lebih muda untuk menghidupkan kembali haluan negara dibandingkan dengan merevitalisasi komposisi keanggotaan MPR, dengan mengikutsertakan utusaan golongan.
Untuk alternatif kedua ini tentu tinggal bagaimana good will partai-partai yang ada di Senayan sekarang untuk menjadikan MPR sebagai ’rumah” tempat bermusyawarah bersama, dengan menghilangkan rasa ego masing-masing, dan mengedepankan musyawarah untuk mufakat berdasarkan rasa saling percaya, saling mendengarkan, saling menghargai, semata-mata demi masa depan kehidupan bangsa.