Redup Pamor Bahasa Indonesia di Australia
Para pemangku kepentingan internasionalisasi bahasa Indonesia harus menerima fakta pahit. Pembelajaran bahasa Indonesia di Australia tengah meredup. Kondisi ini sudah berlangsung setidaknya dua dekade terakhir.
Ibarat pasang surut air laut, begitulah pembelajaran bahasa Indonesia di Australia. Dulu, orang Indonesia bangga karena bahasa Indonesia diajarkan sejak jenjang pendidikan dasar di negeri ini. Dari segi geopolitik dan geostrategis, fakta ini juga penting untuk hubungan bilateral kedua negara yang sama-sama berada di kawasan Indo-Pasifik.
Pada 1980-an, Pemerintah Australia pernah menetapkan bahasa Indonesia sebagai ”bahasa prioritas di semua negara bagian dan teritori”. Saat itu kebijakan nasional tentang bahasa menekankan pada hubungan Australia dengan kawasan Asia Pasifik (David T Hill, www.asaa.asn.au).
Baca juga: Merawat Kecakapan Berbahasa Indonesia
Namun, angin kini berganti arah. Para pemangku kepentingan internasionalisasi bahasa Indonesia harus menerima fakta pahit. Pembelajaran bahasa Indonesia di Australia tengah meredup. Kondisi ini sudah berlangsung setidaknya dua dekade terakhir di seluruh teritori dan negara bagian.
Pembelajaran bahasa Indonesia di Australia tengah meredup.
Pada era 1990-an, 22 perguruan tinggi Australia memiliki program bahasa Indonesia. Saat ini hanya tersisa 14 perguruan tinggi. Kondisi ini jelas memprihatinkan. Jumlahnya akan kembali berkurang karena Universitas La Trobe di Melbourne merencanakan menghentikan program bahasa Indonesia pada akhir 2021 (www.abc.net.au, 23/11/2020).
Perkembangan terakhir, profesor emeritus Universitas Murdoch, David T Hill, menyampaikan kabar sama di media sosialnya. Pihak Rektorat Universitas Murdoch di Kota Perth berencana menutup program pengajaran bahasa Indonesia pada 2021. Hill yang dikenal sebagai pakar kajian media di Indonesia menyayangkan rencana ini.
Baca juga: Pengutamaan Bahasa Indonesia
Menurut Hill, program bahasa Indonesia Universitas Murdoch merupakan salah satu yang paling mapan dan kuat di Australia sejak universitas tersebut berdiri pada 1974.
Rencana administrasi universitas menutup program bahasa Indonesia bertentangan dengan kebijakan Pemerintah Australia untuk merangsang minat belajar bahasa (termasuk bahasa Indonesia) di universitas dan juga di sekolah. Bahasa Indonesia malah sudah tercatat sebagai bahasa strategis bagi bangsa Australia menurut Kementerian Pendidikan.
Sejumlah tokoh Australia sebenarnya sudah memperingatkan sejak beberapa tahun lalu. Kathleen Turner, Direktur Dewan Australia Indonesia Business Council, memperingatkan kemungkinan pembelajaran bahasa Indonesia akan hilang di Negara Bagian Queensland (www.thejakartapost.com, 20/4 /2017). Turner merangkap duta literasi Asia dan pembelajaran bahasa Asia di Australia.
Situasi menjadi tidak menyenangkan dengan pembubaran lebih dari 70 persen program bahasa Indonesia di sekolah menengah di Queensland sejak tahun 2003. Menurut Turner, perubahan pada eksekutif universitas, kepala sekolah, atau kepala departemen telah menyebabkan perubahan program bahasa di universitas dan sekolah menengah.
Bahasa Indonesia dibubarkan terutama karena adanya program bahasa China, Jepang, bahkan Perancis dan Jerman. Sekolah dan universitas tampaknya merasa sulit membuat hubungan nyata antara pembelajaran bahasa Indonesia dan pilihan karier siswa nantinya.
Akan terasa aneh jika kita tidak berupaya maksimal untuk membantu memecahkan masalah ini.
Apa yang bisa dilakukan
Meredupnya pembelajaran bahasa Indonesia di Australia membutuhkan tindakan tepat dan terukur dari para pemangku kepentingan di Indonesia, khususnya pemerintah.
Akan terasa aneh jika kita tidak berupaya maksimal untuk membantu memecahkan masalah ini. Apalagi kita terikat dengan perundang-undangan di republik ini. UU Nomor 24 Tahun 2009 sudah mengamanahkan peningkatan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional.
Baca juga: Jalur Tepat Bahasa Indonesia Jadi Bahasa Internasional
Artinya, politik bahasa menjadi bagian tak terpisahkan dari kepentingan geopolitik dan geostrategis Indonesia. Belum lagi jika dihubungkan dengan keinginan memaksimalkan potensi daya lunak (soft power) Indonesia yang sesungguhnya sangat luar biasa.
Dari segi kemauan politik, pemerintah telah membuat peraturan yang diharapkan dapat memperkokoh eksistensi bahasa Indonesia. Presiden Joko Widodo pada 30 September 2019 menandatangani Perpres No 63/2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia.
Keluarnya perpres ini menjadi catatan penting dalam politik bahasa nasional saat ini. Perpres ini memuat aturan dan petunjuk teknis penggunaan bahasa Indonesia dalam berbagai ranah—mulai dari penggunaan di ruang publik, ranah akademik, hingga forum nasional dan internasional.
Wacana yang dibangun pemerintah juga memperlihatkan keinginan meningkatkan pengaruh Indonesia di dunia internasional. Dalam pidato virtual Presiden Jokowi pada Sidang Ke-75 Majelis Umum PBB pada September 2020, Presiden menegaskan, Indonesia ingin berkontribusi secara signifikan bukan hanya di kawasan ASEAN, melainkan juga di kawasan Indo-Pasifik.
Mendikbud Nadiem Anwar Makarim juga pernah menyatakan keinginannya agar budaya Indonesia tampil lebih ofensif ke panggung dunia. Jadi, di atas kertas, Indonesia terkesan berkomitmen meraih pengakuan internasional, termasuk membawa bahasa dan budayanya ke panggung global.
Namun, kerja nyata saat ini lebih dibutuhkan. Senja kala pembelajaran bahasa Indonesia di Australia akan menjadi batu ujian keseriusan kita menginternasionalkan bahasa Indonesia. Langkah konkret apa yang bisa kita lakukan untuk membantu menyelesaikan masalah ini?
Saya sependapat dengan David T. Hill. Menurunnya pembelajaran bahasa Indonesia di Australia antara lain menggambarkan relevansi pengaruh Indonesia yang menurun di kawasan, baik ASEAN maupun kawasan yang lebih luas seperti Indo-Pasifik. Hal ini berhubungan langsung dengan minat untuk belajar bahasa.
Untuk mengembalikan pamor pembelajaran bahasa Indonesia di Australia, Indonesia harus bertindak cepat. Kita jelas lebih berkepentingan dalam hal ini. Dalam jangka pendek dan menengah, Pemerintah RI harus menyiapkan bantuan konkret berupa pendanaan untuk membantu mempromosikan bahasa Indonesia pada lembaga-lembaga di Australia yang sudah memiliki program pembelajaran bahasa Indonesia yang kuat dan mapan.
Dalam jangka panjang, Indonesia harus setahap demi setahap meningkatkan pengaruhnya secara internasional melalui pembangunan daya lunak.
Pemerintah juga harus mempertimbangkan opsi mengirim dan membiayai dosen dan pengajar bahasa dan budaya Indonesia yang berpengalaman ke Australia. Mereka mengajar secara penuh, bukan hanya untuk kunjungan dalam waktu terbatas seperti program yang selama ini berjalan.
Dalam jangka panjang, Indonesia harus setahap demi setahap meningkatkan pengaruhnya secara internasional melalui pembangunan daya lunak.
Terkait hal ini, pengembangan pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) dapat menjadi pintu masuk pengenalan bahasa dan budaya Indonesia ke tataran global. Perkembangan pengajaran BIPA di luar negeri adalah peranti ampuh ”diplomasi lunak” (soft policy diplomacy) kita.
Seiring dengan penguatan ekonomi Indonesia di masa depan, harus mulai dipersiapkan kerja besar untuk membangun dan memperkuat Rumah Budaya Indonesia di berbagai negara. Negara-negara maju secara agresif telah melakukan hal ini untuk mempromosikan bahasa dan budayanya. Ada lembaga yang sudah mapan, seperti British Council (Inggris), Goethe (Jerman), Alliance Francaise (Perancis), dan Japan Foundation (Jepang). Belakangan China tampil agresif dengan Confucius Institute.
Begitu juga dengan Korsel. Mendunianya popularitas K-Pop, film, dan drama Korea memberikan kontribusi signifikan pada peningkatan minat belajar bahasa Korea di banyak negara, bukan hanya di lingkup regional. Perkembangan ini membuat Pemerintah Korsel percaya diri. Mereka memanfaatkan aset budayanya dengan mendirikan 130 institut bahasa dan budaya (Korean Foundation) di 50 negara.
Korsel percaya kesuksesan industri kreatif mereka harus sejalan dengan mengglobalnya bahasa dan budaya Korea sebagai bagian dari kekayaan nasional mereka. Semoga kita juga dapat melakukan hal sama di masa depan.
Liliana Muliastuti, Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta dan Ketua Umum APPBIPA 2019-2023.