Semangat Deklarasi Djoenda 13 Desember 1957 perlu terus dibangkitkan. Jangan sampai urusan Kelautan yang besar ini terdegradasi hanya pada soal alat tangkap cantrang saja, apalagi hanya soal urusan ekspor benur lobster.
Oleh
INDROYONO SOESILO
·5 menit baca
Kala itu, hari Jumat 13 Desember 1957, di Jakarta, berlangsung Sidang Dewan Menteri, dipimpin Perdana Menteri, Ir.H. Djoeanda, membahas soal perairan negara Republik Indonesia, untuk dibawa ke Sidang Hukum Laut Internasional ke-I , UNCLOS-I, April, 1958, di Jenewa, Swiss.
Pada sidang dewan menteri tadi, diputuskan:”Penentuan Batas Lautan territorial, yang lebarnya 12 mil, diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung terluar pada pulau-pulau Negara Indonesia”. Dengan menghubungkan titik-titik ujung terluar pulau- pulau tadi maka wilayah kepulauan Nusantara, tanah air Indonesia, menjadi suatu wilayah yang utuh dan terintegrasi. Inilah yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi Djoeanda.
Selama dua puluh lima tahun, para ahli hukum laut dan para diplomat Indonesia, dimotori Profesor Mochtar Kusumaatmadja, berupaya untuk meng-goal kan Deklarasi Djoeanda pada pertemuan-pertemuan yang membahas tentang hukum laut Internasional ini. Baru pada Sidang Hukum Laut International ketiga, 3rd United Nations Convention on Law of the Seas (3rd UNCLOS) di Jamaica , 10 Desember 1982, UNCLOS ditetapkan dan mulai berlaku pada November 1994.
Konsep Negara Kesatuan (the archipelagic state concept) yang diusung Indonesia, diakui dan ditetapkan dalam UNCLOS.
Konsep Negara Kepulauan (the archipelagic state concept) yang diusung Indonesia, diakui dan ditetapkan dalam UNCLOS. Berarti, tanpa satu letusan peluru dan tanpa satu tetespun darah mengalir maka luas wilayah Indonesia bertambah seluas 5.8 juta kilometer persegi, terdiri 1.9 juta kilometer persegi laut teritorial dan 3.9 juta kilometer persegi zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI).
Ditambah lagi, apabila Indonesia dapat membuktikan secara ilmiah lapisan batuan sedimen menerus sampai 350 mil menjorok ke laut, maka Indonesia berhak pula untuk meng-klaim wilayah landas kontinen hingga 350 mil.
Sesuai UNCLOS 1982, Kapal-kapal asing masih boleh lewat secara bebas (free passage) di perairan kepulauan Indonesia melalui tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) berarah Utara-Selatan, yaitu ALKI-I yang melewati Selat Sunda, ALKI-II yang melewati Selat Makassar – Selat Lombok, dan ALKI-III yang melewati Ombay-Wetar.
Perlu persiapan 12 Tahun, sejak 1982, hingga resmi UNCLOS’82 diberlakukan. Indonesia segera meratifikasi UNLCOS melalui UU No. 17/Th.1985 Tentang Pengesahan Konvensi Hukum Laut 1982. Kemudian, sarana dan prasarana keselamatan dan keamanan navigasi di selat-selat ALKI, termasuk radar-radar pantai, dibangun.
Satu skadron pesawat Intai Strategis TNI AU, dilengkapi sensor Side-Looking Airborne Multimission Radar (SLAMR) disiapkan guna kegiatan patroli maritim hingga ZEEI. Sampai tahun 2020 ini, sudah 158 negara mengakui UNCLOS 1982 dan Indonesia diakui sebagai negara kepulauan terbesar di Dunia.
Pada tahun 1996, sistem kelembagaan guna mendukung Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di Dunia mulai dirintis. Melalui Perpres No. 77/th.1996 dibentuk Dewan Kelautan Nasional dengan Ketua Dewan Presiden Soeharto dan Ketua Harian adalah Menko Polkam Soesilo Soedarman, beranggotakan 15 Menteri plus Panglima ABRI. Ini merupakan inisatif Pemerintah untuk Bangsa Indonesia kembali kelaut.
Disadari bahwa laut tanpa riset, tanpa ilmu pengetahuan dan tanpa teknologi hanyalah hamparan air yang berwarna biru, maka implementasi UNCLOS 1982 dimulai dengan pendekatan riset dan iptek. Inventarisasi keanekaragaman hayati laut Indonesia digencarkan. Lalu, posisi geotektonik wilayah Nusantara, yang merupakan tumbukan tiga lempeng tektonik, utamanya tumbukan di laut, mulai dikaji lebih dalam.
Namun, selain bencana alam, tumbukan tiga lempeng tektonik tadi menjadikan wilayah Nusantara kaya mineral, minyak dan gas bumi, terutama di laut.
Memang tumbukan tiga lempeng tektonik ini memunculkan gempa bumi, tsunami dan erupsi gunung api. Namun, selain bencana alam, tumbukan tiga lempeng tektonik tadi menjadikan wilayah Nusantara kaya mineral, minyak dan gas bumi, terutama di laut.
Belum lagi kondisi oseanografis lautan Indonesia yang berada di antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, membuat arus lintas Indonesia bisa memicu variabilitas iklim, seperti El Nino dan La Nina, melalui hipotesa Arus Lintas Indonesia (Arlindo) dan Indian Ocean Dipole (IOD).
Pendekatan ilmiah tadi akhirnya dituangkan kedalam Deklarasi Benua Maritim Indonesia, ditanda tangani oleh Menko Polkam Selaku Ketua Harian Dewan Kelautan Nasional, Menristek selaku Ketua Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia, Gubernur Lemhannas dan Deputi BPPT untuk pengembangan kekayaan alam, pada Konvensi Benua Maritim Indonesia, di Makassar, 18 Desember 1996.
Saat Presiden Abdurrachman Wahid membentuk Kementerian khusus yang mengurusi kelautan, maka yang dibentuk adalah Departemen Eksplorasi Laut (1999), karena ini merupakan implementasi dari UNCLOS 1982 dengan pendekatan ilmiah, jadi yang diutamakan adalah eksplorasi kelautannya. Baru kemudian komponen sub-sektor perikanan ditambahkan, menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan hingga sekarang ini.
Presiden Habibie memprioritaskan laut dengan mencanangkan Deklarasi Bunaken (1999), Presiden Megawati mencanangkan Seruan Sunda Kelapa (2001), sedang Presiden Yudhoyono bahkan mencanangkan Manado Ocean Declaration 2009, Coral Triangle Initiative 2009 dan memperkenalkan Blue Economy pada KTT Rio + 20 di Brazil (2012).
Sebagai tokoh Dunia yang dipilih Sekjen PBB untuk menyusun Sustainable Development Goals (SDGs), Presiden Yudhoyono bahkan berhasil memasukkan unsur laut dan sumberdaya kelautan kedalam Goal No.14 dari SDGs yang ditetapkan PBB pada 2015 lalu.
Setelah beragam kelembagaan dan regulasi tentang kelautan dan perikanan terbentuk, berupa UU Tentang Kelautan, UU Tentang Perikanan dan UU Tentang Pesisir dan Pulau Pulau Kecil maka sejak Oktober 2014, Presiden Jokowi mencanangkan Indonesia Poros Maritim Dunia, sekaligus membentuk Kementerian Koordinator Kemaritiman.
Semangat Deklarasi Djoeanda 13 Desember 1957 perlu terus dibangkitkan.
Kemudian Perpres No.16/Th.2017 Tentang Kebijakan Kelautan Indonesia diterbitkan, sedang untuk memacu industri perikanan Nasional, disediakan Inpres No.6/Th.2016. Melalui kebijakan kelautan Indonesia tadi, ditetapkan pula rencana aksi yang harus dievalusi setiap enam bulan dengan sasaran sasaran terukur. Harus pula diinventarisasi kendala-kendala yang dihadapi.
Semangat Deklarasi Djoeanda 13 Desember 1957 perlu terus dibangkitkan. Harus selalu disadarkan kepada kita semua bahwa Indonesia adalah Negara Kepulauan terbesar di Dunia memiliki lebih dari 17.000 pulau, berpenduduk 265 juta jiwa, dengan segala potensi sumberadaya kelautan yang sangat besar. Jangan sampai urusan Kelautan yang besar ini terdegradasi hanya pada soal alat tangkap cantrang saja, apalagi hanya soal urusan ekspor benur lobster semata.