Cerita Rakyat, Cerita tentang Kita
Tanpa saya sadari, ketika mendengar cerita rakyat dari orang-orang terdekat saya, saya menemui banyak gagasan, emosi dan memetik banyak pelajaran berharga. Di sana kita akan menemukan nilai-nilai kebaikan dan kebajikan.
Apa yang kita pikirkan, rasakan, dan bagikan adalah sebuah cerita. Pikiran kita selalu berpikir tentang sebuah narasi pendek atau pun panjang. Saya merasa di sebuah ruangan ketika setiap pikiran, peristiwa atau ingatan memiliki awal, tengah dan akhir. Setiap menit setiap hari kita hidup dan menceritakan kisah diri kita sendiri. Hidup adalah bercerita.
Bercerita adalah sebuah seni menyampaikan pikiran atau ide kepada orang lain dan teknik bercerita telah berkembang dari waktu ke waktu. Beberapa pencerita mengikuti versi yang sama sementara beberapa pencerita suka mencampurkan sesuatu untuk menciptakan efek dramatis.
Demikian halnya dengan cerita rakyat. Karena itu, menceritakan cerita rakyat adalah seni yang harus dinarasikan dengan baik sehingga pendengar mampu membayangkan karakternya dengan jelas dan pendengar harus terlibat secara mendalam dengan narasinya. Inilah rahasia narasi. Seperti kata Anderson (2006), cerita rakyat sebagai "narasi anonim yang disebarkan di lingkungan populer."
Seorang semitik, Theodor Gaster berkata “Cerita rakyat adalah bagian dari budaya masyarakat yang dilestarikan, secara sadar atau tidak sadar, dalam kepercayaan dan praktik, adat istiadat...” Sejak kecil saya suka mendengar kisah-kisah yang dituangkan dalam cerita rakyat oleh mendiang kakek saya. Salah satu cerita rakyat yang paling berbekas: Legenda Eluh Berru Tinambunen.
Salah satu cerita rakyat yang paling berbekas: Legenda Eluh Berru Tinambunen.
Diceritakan seorang putri cantik bak dewi khayangan yang lahir dari pasangan suami-istri di sebuah kampung. Banyak lelaki yang sangat terpikat akan kecantikannya, namun si Berru Tinambunen tetap menolak pinangan sejumlah lelaki yang datang dari berbagai sudut kampung.
Seorang saudagar kaya bermarga Berutu kemudian datang menemuinya dan berniat meminang si Berru Tinambunen. Tanpa pikir panjang, si Berru Tinambunen menolak mentah-mentah pinangan si marga Berutu itu.
Itu dikarenakan Si Berru Tinambunen sudah menaruh cintanya kepada seorang pemuda miskin yang baik hati di desanya. Pemuda itu adalah Pariban (anak dari adik perempuan bapak) kandungnya sendiri. Namun, lelaki bermarga Berutu tetap bersikukuh ingin memiliki Berru Tinambunen. Hingga akhirnya, Berru Tinambunen jatuh kepelukan lelaki bermarga Berutu tadi.
Karena merasa mengkhianati janjinya pada pemuda yang dicintainya, Si Berru Tinambunen menyesali dan menangis sambil menancapkan sepotong kayu ke tanah, sehingga air matanya memenuhi sebuah kubangan kecil dari tancapan kayunya dan muncul mata air di kaki gunung Simponen, terletak di Kabupaten Pakpak Bharat. Nasibnya berakhir tragis, Si Berru Tinambunen meninggal dunia karena terjatuh dari tangga.
Sampai sekarang masyarakat percaya bahwa mata air yang berada di kaki gunung Simponen adalah air mata Berru Tinambunen yang menyesali telah mengkhianati cinta lelaki miskin nan baik di desanya. Inilah sekelebat cerita dari cerita rakyat yang kerapkali diceritakan oleh leluhur saya secara turun-temurun.
Saya tidak tahu apakah kisah ini masih terus terdengar ditelinga dan diceritakan oleh para orangtua di kampung atau yang sudah merantau ke kota kepada anak-anaknya. Atau barangkali para orangtua tidak tahu-menahu (lagi) kisah dari Legenda Eluh Berru Tinambunen.
Tak hanya itu, cerita rakyat yang tak kalah melegenda adalah cerita kepahlawanan Raja Sisingamangaraja XII. Saya mendengar ada banyak versi tentang kebenaran sejarah dan keberadaan makam Sisingamangaraja—baik lisan atau pun tertulis.
Beberapa cerdik pandai saat ini cenderung mengambil pandangan bahwa versi dari semua cerita rakyat yang dituturkan oleh orang lokal adalah asli. Jika memang demikian, kita seharusnya mengharapkan cerita rakyat muncul sebagai bagian kehidupan masyarakat dan diterima kembali sebagai identitas sebuah bangsa.
Beberapa cerdik pandai saat ini cenderung mengambil pandangan bahwa versi dari semua cerita rakyat yang dituturkan oleh orang lokal adalah asli.
Seperti tertulis dalam buku “Ahu Sisingamangaraja” karya Sidjabat (2007) disebutkan bahwa raja Sisingamangara XII adalah sosok “Singa yang melampaui dan Singa yang tak terlampaui.” Namun naas, dia harus meregang nyawa ditangan marsose Belanda di jurang Sindias, di kaki gunung Sitapongan dan dimakamkan tak jauh dari desa Sionomhudon, Pearaja, tidak jauh dari kampung halaman saya, Parlilitan, Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Cerita dalam buku itu tidak jauh berbeda dengan penuturan kakek saya waktu itu.
Membaca buku itu, setidaknya menguatkan penuturan kakek saya tentang cerita Raja Sisingamangaraja XII pada masa lampau. Tak lupa, lagu melegenda yang berbekas dalam ingatan saya adalah kisah tewasnya Raja Sisingamangaraja XII dan sering dinyanyikan kakek saya pada malam hari menjelang tidur. Demikian potongan lagunya: “Di aek sibulbulon ni.. Huta Sionomhudon ni.. Disi do parlao ni Ompu i.. Sisingamangaraja i..”
Mendengar cerita rakyat tentang kepahlawanan Raja Sisingamangaraja mendorong emosi dan perasaan mendalam saya. Cerita rakyat ibarat mendengar sebuah perjalanan panjang dan mental yang perlu dikembangkan pada anak-anak, bisa penuh imajinasi atau sesuai fakta. Di sini, kepiawaian pencerita sangat penting untuk memainkan kata-kata sehingga mampu membangkitkan daya imajinasi anak-anak.
Pencerita, menurut Huizinga (1938) adalah Homo Ludens (Playing Man)—makhluk yang suka bermain. Suka bermain dengan kata-kata, memiliki tujuannya sendiri dan disertai dengan perasaan tegang, gembira dan kesadaran bahwa bermain “berbeda” dari “kehidupan biasa.” Maka, bercerita adalah sebuah “Ludic”—aktivitas yang menyenangkan.
Mendengar langsung penuturan kisah Raja Sisingamangaraja XII dari kakek saya semakin menyakinkan saya betapa gigihnya perjuangan seorang pahlawan dalam rangka melawan penjajahan kala itu. Pelajaran berharga yang tidak bisa saya lupakan, persis seperti pekik Bung Karno “Jas Merah”—jangan sesekali melupakan sejarah.
Selain itu, sebagai anak yang lahir dan dibesarkan di tanah Batak (tanah Pakpak) saya sangat bersyukur pernah mendengar beberapa perkisahan cerita rakyat tentang pahlawan dan cerita rakyat lain yang turut membentuk diri saya. Hebatnya lagi, beberapa dari cerita rakyat tadi dituturkan secara lisan tanpa teks.
Hebatnya lagi, beberapa dari cerita rakyat tadi dituturkan secara lisan tanpa teks.
Anak-anak dulu pasti tak asing dengan cerita Si Kancil, Bawang Merah dan Bawang Putih, Sangkuriang, Si Malin Kundang, Keong Mas, atau Timun Mas. Dan, masih ada ribuan cerita rakyat yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara. Akan tetapi, hanya secuil orang saja yang tahu. Zaman melaju dengan cepat, arus globalisasi, kemajuan teknologi berkembang sangat pesat dan cepat. Dari kertas ke digital.
Kisah, dongeng, legenda atau cerita rakyat sudah jarang terdengar ditelinga. Sangat disayangkan apabila cerita-cerita rakyat tadi hilang dimakan zaman. Saya pikir, cerita rakyat Nusantara tidak kalah pamor dengan cerita yang diimpor dari luar. Cerita rakyat nusantara masih layak dan relevan diceritakan kepada generasi muda berikutnya.
Saya sepakat dengan istilah John Locke—tabularasa—bahwa pikiran (manusia) ketika lahir berupa "kertas kosong" tanpa aturan untuk memproses data, dan data yang ditambahkan serta aturan untuk memprosesnya dibentuk hanya oleh pengalaman alat inderanya.
Anggapan Locke, tabula rasa berarti bahwa pikiran individu "kosong" saat lahir, dan juga ditekankan tentang kebebasan individu untuk mengisi jiwanya sendiri. Setiap individu bebas mendefinisikan isi dari karakternya—namun identitas dasarnya sebagai umat manusia tidak bisa ditukar. Cerita rakyat adalah cara terbaik untuk mengisi “kekosongan” diri manusia itu.
Ini adalah salah satu cara yang ampuh menanamkan kembali nilai-nilai kebajikan, menunjukkan watak, dan mengenal karakter tokoh dalam perkisahan cerita rakyat. Anak-anak memiliki imajinasi yang luarbiasa. Biarkan mereka menikmati pembacaan cerita dengan saksama. Setelah itu, tanyakan mereka secara random pelajaran apa yang bisa dipetik dari cerita tadi.
Peran pencerita menjelaskan keseluruhan cerita. Lalu, peran orangtua dan guru dalam menjaga kebersamaan lewat cerita. Dengan demikian, anak-anak yang mendengar langsung cerita dari orangtua dan guru dapat menyerap intisari kisah kemudian dipraktekkan dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Seperti kata Anderson, “cerita rakyat pada dasarnya berkaitan dengan kehidupan, masalah, dan aspirasi orang biasa—rakyat.” Meskipun dewasa ini, masih ada yang beranggapan cerita rakyat sudah usang, kuno, dan norak. Saya tidak setuju dengan anggapan itu.
Tanpa saya sadari, ketika mendengar cerita rakyat dari orang-orang terdekat saya, saya menemui banyak gagasan, emosi dan memetik banyak pelajaran berharga. Di sana kita akan menemukan nilai-nilai kebaikan, kebajikan, kebijaksanaan, perjuangan, pengorbanan, dan sebagainya.
Lebih dari itu melalui pembacaan cerita-cerita rakyat sebetulnya hubungan orangtua dan anak menjadi lebih terjalin akrab dan harmonis.
Lebih dari itu melalui pembacaan cerita-cerita rakyat sebetulnya hubungan orangtua dan anak menjadi lebih terjalin akrab dan harmonis. Mengangkat kisah-kisah Nusantara dalam bingkai keindonesian merupakan upaya me-recall, mengulang kembali ingatan dan kerinduan atas kekayaan bangsa kita.
Cerita rakyat sebagai sarana yang ampuh menyampaikan nilai-nilai yang universal—perkisahannya murni lahir dari budaya lokal yang kental. Karena itu, cerita rakyat Nusantara boleh dinikmati oleh siapa saja tanpa mengenal batas negara, batas wilayah, batas usia, suku, agama, ras dan golongan.
Di masa pandemi, ketika sebagian orang memiliki lebih banyak waktu tinggal di rumah bersama keluarga, terbuka kesempatan bagi kita menghidupkan narasi keindonesiaan dalam keluarga melalui pembacaan cerita-cerita rakyat baik lisan maupun tulisan, sebagai salah satu kekayaan budaya bangsa kita.
(Roy Martin Simamora , Penulis adalah Dosen PSP ISI Yogyakarta, Alumnus National Dong Hwa University, Taiwan)