Pembangunan berbasis sawit menjadi solusi banyak hal bagi kita. Oleh karena itu, kesempatan duduk bersama di antara para pemangku kepentingan di pohon industri sawit menjadi kunci keberlanjutan pembangunan sektor ini.
Oleh
CATUR SUGIYANTO
·4 menit baca
Tanggal 10 Desember ini merupakan momentum baru dalam sektor kelapa sawit karena naiknya pajak ekspor dan pungutan ekspor yang tinggi. Ada dua pihak yang berseberangan menanggapi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.05/20.
Di pihak hulu, petani dan pemilik kebun sawit jelas keberatan dengan kenaikan drastis ini. Sementara itu, di sisi hilir, industri minyak goreng dan turunan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) seperti biofuel berbasis sawit mendukung PMK ini. Pajak dan pungutan ekspor, seberapa pun kecilnya, berpengaruh pada harga tandan buah segar (TBS) yang diterima petani.
Di sisi lain, kenaikan pungutan tersebut diperlukan untuk program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dan pengembangan industri bahan bakar nabati (biofuel sawit) dan juga industri produk turunan sawit di dalam negeri. Lantas, mungkinkah kepentingan yang berseberangan dipertemukan?
Tumbuhnya perkebunan sawit di dalam negeri tidak terlepas dari potensi pasar minyak nabati dunia.
Pembangunan industri sawit
Tumbuhnya perkebunan sawit di dalam negeri tidak terlepas dari potensi pasar minyak nabati dunia. Naiknya permintaan minyak nabati ini telah mendorong perluasan sumber penghasil minyak goreng tumbuhan (vegetable oil) dari sawit selain jagung, kedelai, rapeseed, bunga matahari, kelapa, dan lain-lain.
Demikian pula berkembangnya permintaan bahan bakar nabati (biofuel) semakin mendorong perluasan kebun sawit mengingat produktivitasnya melebihi sumber bahan bakar nabati lainnya. Oleh karena itu, persaingan sawit versus sumber minyak nabati lain telah mendorong kebijakan antisawit dalam berbagai bentuk, baik di pasar Eropa maupun di AS. Strategi pembangunan industri sawit di dalam negeri tidak terlepas dari upaya melawan persaingan ini.
Perjalanan persaingan sawit dengan minyak nabati lain di Uni Eropa (UE), misalnya, sampai diistilahkan sebagai permainan sepak bola yang tak pernah kita menangi karena gawangnya selalu dipindah (Kompas, 2/6/2018). Besarnya ekspor CPO dan biofuel ke UE membuat ketergantungan industri dalam negeri pada pasar luar negeri tertentu.
Solusi yang tepat adalah mengembangkan permintaan CPO di dalam negeri. Maka, Presiden Jokowi mengambil kebijakan mewajibkan campuran solar dengan biodiesel dari kelapa sawit sebesar 20 persen (B20 tahun 2019) dan kemudian B30 tahun 2020. Kebijakan ini juga sebagai komitmen RI terhadap Perjanjian Paris (Paris Agreement).
Kebijakan ini dinilai tepat mengikuti bekerjanya pasar: untuk melawan hambatan permintaan dari luar negeri, permintaan di dalam negeri harus ditingkatkan. Namun, menyerahkan sepenuhnya pada bekerjanya mekanisme pasar tidak akan menyelesaikan masalah.
Pembangunan industri biofuel memerlukan dana yang besar dan ketidakpastian pasokan. Ketika permintaan CPO di luar negeri naik dan harga CPO tinggi, beban investasi biofuel akan menjadi mahal. Meskipun pasar di dalam negeri terjamin, kalau dihadapkan pada harga bahan baku tinggi di awal periode investasi akan berat.
Pembangunan industri biofuel memerlukan dana yang besar dan ketidakpastian pasokan.
Di sinilah berlaku logika diperlukan pajak dan pungutan ekspor CPO tinggi. Pajak dan pungutan ekspor mendorong harga ekspor CPO naik (sebaliknya harga CPO di dalam negeri lebih murah), membantu industri biofuel dan produk turunan sawit.
Dengan rantai pasok yang tunggal dari sisi petani ke perusahaan CPO, tidak ada alternatif lain bagi petani untuk menjual TBS-nya, maka penawaran petani menjadi tidak elastis dan posisi tawar petani lemah. Akibatnya, porsi beban pajak ekspor dan pungutan ekspor yang ditanggung petani akan besar sehingga mengurangi penerimaan bersih petani. Petani dan pemilik kebun merasa tak diperlakukan adil.
Ketika Mei 2020 harga CPO mencapai titik terendah, kurang dari 500 dollar AS per ton, petani mengalami kerugian, industri biofuel dan turunan produk sawit menikmati rendahnya harga bahan baku. Sementara, ketika harga CPO naik mencapai di atas 900 dollar AS per ton, harapan petani untuk menutup kerugian menjadi pupus dengan adanya kenaikan pajak dan pungutan ekspor di luar perhitungan mereka.
Strategi pembangunan sektor sawit
Tidak dimungkiri, ekspor kita bertumpu pada minyak kelapa sawit. Perkebunan sawit juga merupakan tempat bernaung dan telah menyukseskan banyak keluarga petani dan transmigran untuk keluar dari kemiskinan. Bahkan anak-anak petani sawit menikmati pendidikan jauh lebih tinggi daripada orangtuanya.
Singkat kata, pembangunan berbasis sawit menjadi solusi banyak hal bagi kita. Kini, strategi memperkuat pohon industri sawit (dari hulu sampai hilir) memperoleh guncangan. Sayang kalau hancur dari dalam, sementara pesaing sesungguhnya adalah industri jagung, kedelai, rapeseed, dan lain-lain.
Mestinya, konsekuensi biaya akibat strategi memperkuat permintaan sawit di dalam negeri melalui kebijakan biofuel bisa dihitung dan kemudian didistribusikan bebannya dengan adil. Mungkinkah manajemen strategi dilakukan dalam perspektif jangka waktu agak panjang, misalnya lima tahun, sehingga adakala harga tinggi atau rendah, mekanisme kompensasi silang bisa diberlakukan?
Singkat kata, pembangunan berbasis sawit menjadi solusi banyak hal bagi kita.
Atau fleksibilitas dari target, B30 tidak harga mati. Saat harus beroperasi di bawah kapasitas, karena pasokan mahal, industri memperoleh kompensasi, dan sebaliknya petani sawit ketika harga turun. Oleh karena itu, kesempatan duduk bersama di antara para pemangku kepentingan di pohon industri sawit menjadi kunci keberlanjutan pembangunan sektor ini.
(Catur Sugiyanto Profesor pada Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM