Daging Buatan, Masa Depan Protein Hewani
Kehadiran daging buatan sangat mungkin mengubah gaya hidup, bahkan peradaban manusia. Kita harus bersiap menyambut perubahan teknologi di sektor peternakan.
Baru-baru ini Pemerintah Singapura telah menyetujui penjualan daging ayam buatan yang diproduksi oleh Perusahaan Eat Just asal Amerika Serikat. Daging buatan atau daging sintetis atau disebut juga daging in vitro ini diproduksi bukan dari proses sembelih, melainkan dari kultur jaringan sel ternak yang dibudidayakan di laboratorium.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah daging buatan ini menjadi masa depan protein hewani masyarakat global, mengingat jumlah penduduk yang kian bertambah.
Thomas Robert Malthus (1798) pernah berujar bahwa peningkatan produksi pangan mengikuti deret hitung dan pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur sehingga manusia mengalami ancaman kekurangan pangan di masa depan.
Populasi penduduk bumi saat ini telah mencapai 7,3 miliar dan diperkirakan akan melampaui 9 miliar pada 2050. FAO memperkirakan pada 2050 dunia membutuhkan tambahan 70 persen pangan untuk memenuhi permintaan.
Kehadiran daging buatan ini adalah buah inovasi yang bisa menjadi alternatif masa depan pangan yang menjanjikan.
Sejumlah negara berkembang, seperti China, India, dan Rusia, tidak ingin mengurangi konsumsi dagingnya meski negara-negara maju mulai menurun. Ini merupakan tantangan besar karena sumber daya lahan kian terbatas.
Kehadiran daging buatan ini adalah buah inovasi yang bisa menjadi alternatif masa depan pangan yang menjanjikan. Di samping itu, daging buatan tentu saja menjadi ancaman bagi industri peternakan konvensional.
Peternakan konvensional vs daging buatan
Sektor peternakan berperan penting menghasilkan daging, susu, dan telur berkualitas serta harga terjangkau untuk mengatasi ketahanan pangan dan gizi global. Tantangan pada peternakan konvensional adalah membuat peternakan yang ramah lingkungan, bertanggung jawab sosial, dan efisiensi.
Peternakan saat ini memang sudah lebih modern dengan model pabrik di mana efek gas rumah kaca dikontrol dan penggunaan air ditekan. Namun, kekurangannya adalah dalam hal penggunaan antibiotik, kesejahteraan hewan, efisiensi, dan keberlanjutan.
Di satu sisi, peternakan konvensional berperan dalam menjaga kandungan karbon tanah dan kesuburan tanah karena kotorannya merupakan sumber bahan organik, nitrogen, dan fosfor. Namun, tak bisa dimungkiri bahwa peternakan konvensional kerap dituduh sebagai penyumbang gas metana (CH4) dan karbon dioksida (CO2) serta nitrogen oksida (N2O).
Sementara itu, daging buatan hanya menghasilkan CO2 untuk menghangatkan sel kultur. Daging buatan setidaknya memberikan jalan keluar masalah global, yakni lingkungan, kesehatan masyarakat, dan kesejahteraan hewan.
Produksi daging buatan nyaris tidak memiliki efek gas rumah kaca kecuali dari sel induk. Daging buatan pun minim dalam penggunaan air dan lahan jika dibandingkan dengan produksi daging konvensional, terutama pada ternak sapi.
Produksi 1 kg daging sapi peternakan konvensional membutuhkan 550-700 liter air serta membutuhkan 2,5 miliar hektar lahan (50 persen dari area pertanian global) dan 1,3 miliar hektar lahan untuk produksi pakan (Mottet A, dkk, 2017).
Dari sisi kesehatan masyarakat, daging buatan relatif lebih aman dikonsumsi ketimbang daging konvensional karena sepenuhnya dikendalikan oleh peneliti atau produsen sehingga daging yang tumbuh di laboratorium tidak tercemar bakteri patogen. Sedangkan daging konvensional berpotensi secara langsung tercemar bakteri patogen, seperti E coli, Salmonella, dan Campylobacter.
Kemudian dari aspek rasa, daging buatan juga memiliki kaulitas sensorik/organoleptik sebagaimana sensorik pada daging konvensional.
Dari sisi kesehatan ternak, keunggulan dari daging buatan adalah tidak perlu vaksinasi sehingga bisa mengefisensikan biaya dan menghilangkan risiko wabah penyakit, seperti flu burung pada ternak unggas.
Dalam aspek halal, daging buatan dapat dikategorikan produk pangan halal selama sel yang digunakan berasal dari ternak yang disembelih menerapkan ketentuan halal dan tidak mengandung darah atau serum hewani dalam proses produksi (Hamdan, dkk, 2018). Kemudian dari aspek rasa, daging buatan juga memiliki kualitas sensorik/organoleptik sebagaimana sensorik pada daging konvensional.
Meski demikian, perlu diuji secara komprehensif apakah dagiang buatan ini sepenuhnya aman bagi kesehatan, mengingat daging ini adalah produk baru. Beberapa sarjana berpendapat bahwa proses kultur sel tidak pernah terkontrol secara sempurna dan mekanisme biologis dapat terjadi.
Menimbang banyaknya jumlah penggandaan sel sehingga terjadi disregulasi garis sel seperti pada sel kanker. Kemudian yang dikhawatirkan lagi adalah efek samping pada struktur otot dan metabolisme terhadap kesehatan manusia ketika daging dikonsumsi (Hocquette J-F, 2016).
Dampak negatif yang mungkin terjadi akibat pergesaren konsumsi daging dari peternakan konvensional menjadi konsumsi daging buatan adalah banyak petani/peternak kehilangan mata pencarian. Apalagi di Indonesia sebagian besar masyarakatnya bergantung pada sektor pertanian/peternakan.
Sebaliknya, produksi daging buatan tak diragukan lagi akan menciptakan pekerjaan atau profesi baru dengan keterampilan khusus dan pendidikan yang tinggi dibandingkan dengan peternakan konvensional.
Peran pemerintah
Oleh sebab itu, pemerintah berperan dalam membuat kebijakan perihal daging buatan untuk memproteksi peternak rakyat. Bisa dengan cara pembatasan produksi, melatih, dan mendidik para peternak bagaimana memproduksi daging buatan dengan menyiapkan fasilitas laboratorium memadai.
Tak menutup kemungkinan BUMN pun bisa menjajaki usaha produksi daging buatan. Turbulensi tekonologi tidak bisa ditentang, kita membutuhkan kompetensi dan kemampuan dinamis untuk menghadapi teknologi disrupsi.
Tak menutup kemungkinan BUMN pun bisa menjajaki usaha produksi daging buatan.
Di negara-negara maju, daging buatan bukan lagi barang mewah sebagaimana saat pertama kali diperkenalkan pada 2013. Biaya produksi daging buatan termasuk kategori premium. Namun, biaya produksi bisa ditekan jika diproduksi dalam kapasitas besar sehingga efisien.
Negara perlu mengantisipasi jika suatu saat harga daging buatan ini jauh di bawah harga daging konvensional. Hal ini bisa menjadi alternatif untuk menekan impor atau memberikan harga murah bagi masyarakat. Sambil memikirkan bagaimana nasib peternak konvensional di masa depan.
Inovasi disrupsi di sektor peternakan sudah di depan mata. Pendatang baru di sektor peternakan, seperti Eat Just, dengan produk daging buatan telah mendisrupsi peternakan konvensional. Menariknya adalah perusahaan Eat Just baru berdiri tahun 2011 dan sama sekali tidak berpengalaman di sektor peternakan.
Kemajuan teknologi biasanya akan mengubah gaya hidup masyarakat sebagaimana yang kerap terjadi di industri ponsel, otomotif, kamera, dan lain-lain. Kehadiran daging buatan ini sangat mungkin mengubah gaya hidup bahkan peradaban manusia. Kita harus bersiap menyambut perubahan teknologi di sektor peternakan.
(Febroni Purba, Praktisi Peternakan Unggas Lokal; Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Manajemen Universitas Indonesia)