Catatan Kecil dari Pelaksanaan ”Collaborative Learning”
Di tengah pesimisme dari beberapa pihak tentang guru, model pembelajaran ”collaborative learning” ini memberi harapan untuk mematahkan pesimisme tersebut. Membuka kesempatan luas mewujudkan program merdeka belajar.
Oleh
AGUSTINUS HERUWANTO
·5 menit baca
Pandemi Covid 19 telah memberi hikmah tersendiri bagi dunia pendidikan. Cibiran dan sanjungan terhadap profesi guru di tengah-tengah situasi pandemik telah menjadi cambuk bagi para guru di negeri ini untuk beradaptasi dengan kebiasaan baru, antara lain pembelajaran daring.
Bukan perkara mudah untuk beradapatasi dengan pembelajaran daring, terlebih bagi guru-guru yang masih belum akrab atau terbiasa dengan teknologi digital dewasa ini. Namun, perlu kita apresiasi juga bahwa banyak guru yang akhirnya berani mengambil keputusan untuk belajar memanfaatkan teknologi informasi dalam mengemas pembelajaran yang akan disampaikan kepada peserta didik secara on line.
Kemauan guru untuk belajar menjadi semakin kuat tatkala kemauan mereka untuk mendalami teknologi informasi tersebut mendapat dukungan dari stakeholder pendidikan. Ambil saja contoh yang dilakukan Microsoft Indonesia, dengan menyelenggarakan pelatihan Microsoft Office 365, yang mendapatkan antusias tinggi dari para guru. Dari pelatihan ini, tak sedikit guru yang kemudian mulai terbuka untuk menggunakan fasilitas dari Office 365 sebagai sarana pendukung pembelajaran secara daring.
Setelah belajar mengenai pemanfaatan teknologi informasi dalam pembelajaran secara daring ini, sebagai pelengkap akan semakin menarik ketika kita mampu mengombinasikan dengan program Merdeka Belajar. Mas Menteri pernah menegaskan juga bahwa dalam situasi pandemik, guru tidak harus terbebani dengan terselesaikannya semua Kompetensi Dasar. Hal tersebut tentu memberi peluang bagi sekolah untuk mengeksplorasi makna merdeka belajar yang mengarah pada eksplorasi potensi peserta didik dalam belajar.
Beberapa sekolah mencoba untuk menerjemahkan merdeka belajar tersebut melalui pembelajaran kolaborasi ( collaborative learning ). Salah satu sekolah yang sudah menerapkan pembelajaran kolaborasi ini adalah SMA Pangudi Luhur St Yosef Surakarta. Pembelajaran kolaborasi ini diterapkan dengan mengolaborasikan beberapa mata pelajaran dalam satu kesatuan produk.
Nilai lebih dari pembelajaran kolaborasi ini pertama tentu membangun kerja sama antarguru mata pelajaran yang selama ini terjebak dalam dikotomi pelajaran UN dan non-UN. Kerja sama guru mata pelajaran ini diawali dengan menghubungkan Kompetensi Dasar materi pelajaran yang satu dengan Kompetensi Dasar mata pelajaran yang lainnya. Setelah menemukan Kompetensi Dasar yang selaras, kemudian dirumuskan dalam satu tema bersama yang nanti akan disampaikan kepada peserta didik.
Nilai lebih kedua bagi guru adalah guru harus mampu juga menghubungkan materi pelajaran dari mata pelajaran yang dikolaborasikan, dan juga menghubungkan dengan situasi-situasi terbaru yang mendukung materi pembelajaran sehingga pembelajaran tidak lagi terjebak hanya pada pola hafalan.
Bagaimana dengan peserta didik? Dalam collaborative learning ini, peserta didik pun dibuat merdeka dalam belajar. Dari tema yang disodorkan, peserta didik dapat mengeksplorasi materi pelajaran dan menyajikannya melalui produk familiar dalam kehidupan mereka.
Misalkan saja dalam bentuk film pendek, vlog, podcast, komik, cerpen ataupun dalam produk-produk lainnya. Hasilnya pun sungguh luar biasa. Peserta didik dapat menampilkan beberapa mata pelajaran dalam satu kesatuan cerita yang menarik, sesuai dengan produk mereka.
Artikel opini tentang ”Peran Guru” yang ditulis Achmad Munjid (Kompas, 11 November 2020) sungguh menarik. Achmad Mundjid mengungkapkan pandangannya tentang bagaimana guru harus memberikan apresiasi, memberikan kesempatan, tantangan dan kepercayaan. Collaborative learning menjadi salah satu cara bagaimana guru memberi apresiasi, tantangan, dan kepercayaan kepada peserta didik.
Apresiasi dalam collaborative learning diwujudkan dengan memberikan kesempatan peserta didik untuk mendalami kompetensi dari setiap mata pelajaran dari beragam sumber yang tidak hanya terpaku pada guru. Collaborative learning memberi kesempatan peserta didik untuk mengeksplorasi materi yang tidak terbatas pada buku teks.
Peserta didik tertantang untuk menyampaikan materi yang dipelajari melalui produk kekinian yang mereka senangi. Kepercayaan yang diberikan kepada peserta didik tentu saja membuat mereka menjadi lebih merdeka untuk belajar.
Memang, harus disadari bahwa model pembelajaran ini tidak serta-merta membuat peserta didik langung segera bisa beradaptasi. Namun, yang pasti bahwa model pembelajaran ini telah bisa mengantarkan peseta didik untuk belajar bekerja sama dan membangun komitmen bersama.
Dengan model seperti ini, banyak peserta didik yang berani mengungkapkan permasalahan-permasalahan aktual yang dapat menjadi referensi bagi teman lainnya dalam belajar. Tak sedikit produk mereka yang memberikan kejutan bagi guru karena potensi mereka yang selama ini tidak pernah kelihatan.
Bagi kami yang sudah menerapkan model pembelajaran collaborative learning semakin memiliki keyakinan bahwa ”merdeka belajar” tidak hanya sebatas slogan. Namun, perlahan tetapi pasti kami mampu menuju merdeka belajar yang sesungguhnya.
Di tengah pesimisme dari beberapa pihak tentang guru, model pembelajaran ini memberi harapan untuk mematahkan pesimisme tersebut. Perlu dukungan dari semua stakeholder untuk membangun mindset baru tentang guru. Tidak sekadar kritik, tetapi tantangan yang konkret yang perlu diberikan, seperti dukungan yang kami rasakan dari praktisi pendidikan Indra Charismiadji yang tekun mendampingi kami dalam berproses dalam beradaptasi kebiasaan baru.
Perlu juga kerendahan hati dari kita sebagai guru untuk selalu belajar. Kami pun memberanikan diri menerapkan model ini setelah belajar kepada rekan-rekan guru di SMA Santa Maria Malang. Tentu saja kerendahan hati untuk berbagi pengalaman demi kemajuan pendidikan untuk membangun manusia seutuhnya.
Terakhir tentu saja berharap besar kepada pemerintah untuk memberikan pendampingan optimal dalam pelatihan-pelatihan bagi guru yang lebih praktis dan terukur dan tidak melulu pada hal-hal administratif. Ke depan, kebijakan-kebijakan tentang pendidikan dan tentang guru, khususnya, akan semakin memberikan jaminan kemerdekaan dan tidak terkekang dengan kegelisahan sehingga guru bisa mewujudkan VMerdeka Belajar”.
(Agustinus Heruwanto, Guru SMA Pangudi Luhur St Yosef, Surakarta)