Tidak Ada Vaksin Gratis
Ketika vaksinasi ini dibiayai atau disubsidi penuh oleh APBN/APBD, bukan berarti vaksin itu gratis. Tidak ada vaksin gratis, seluruh rakyat Indonesia menanggungnya secara gotong royong. Pemerintah sebagai juru bayar.
Penanganan krisis Covid-19 Indonesia belum optimal. Selain karena telat start, deteksi kasus yang lemah, juga sering tidak konsisten dan memberikan sinyal yang membingungkan masyarakat.
Oleh karena itu, belum kelihatan ”hilal” kapan laju penambahan kasus Covid-19 ini akan melambat. Satu-satunya harapan ada di vaksinasi. Beberapa negara sudah memulai program vaksinasinya. Inggris sudah memulai vaksinasi massal minggu lalu, Amerika Serikat dalam waktu dekat, demikian juga negara-negara lain.
Tantangan vaksinasi
Akan tetapi, program vaksinasi juga banyak tantangannya. Dari mulai memastikan kekuatan dan keamanan vaksinnya, logistik, edukasi, hingga tentunya kecepatan atau timing-nya.
Baca juga: Tetap Terapkan Protokol Kesehatan meski Ada Vaksin
Dari aspek ekonomi, ada dua faktor yang harus diperhitungkan dalam program vaksinasi: pertama efisiensinya, dan kedua keadilannya (equity-nya). Efisiensi berarti vaksinasi harus efektif mencapai tujuannya, yaitu mencapai herd immunity (70-an persen populasi tervaksinasi) dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Equity artinya vaksinasi harus adil, tidak boleh ada yang tidak bisa tervaksinasi karena alasan tidak mampu secara finansial.
Di sinilah sangat masuk akal bahwa program vaksinasi ini harus didanai penuh oleh negara melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBN/APBD).
Tantangan-tantangan vaksinasi ini sudah cukup rumit, mengomersialkannya malah akan semakin memperumit masalah dan mengancam tercapainya tujuan efektivitas, efisiensi, serta keadilannya.
Baca juga: Vaksin Jangan Sampai Dikomersialisasikan
Survei WHO, UNICEF, dan Kementerian Kesehatan RI pada November lalu (dengan lebih dari 100.000 responden) menyebutkan ada 35 persen masyarakat yang enggan divaksin karena berbagai alasan. Dari 65 persen yang mau divaksin tersebut, hanya 35 persen yang mau membayar. Ini jelas juga memperumit masalah.
Keputusan pemerintah untuk menanggung penuh biaya vaksinasi Covid-19 untuk seluruh rakyat Indonesia patut diapresiasi. Sebelumnya, ada rencana pemerintah membagi dua masyarakat menjadi penerima vaksin pemerintah yang disubsidi penuh dan vaksin mandiri yang harus merogoh kocek sendiri.
Seandainya ini dilakukan, ini akan berpotensi mengganggu kesuksesan program vaksinasi Covid-19 karena setidaknya dua hal.
Pertama, rencana pemerintah menyubsidi penuh masyarakat ”tak mampu” berbasis penerima bantuan iuran (PBI) BPJS tampaknya mengabaikan fakta bahwa tidak semua masyarakat miskin adalah bagian dari PBI BPJS.
Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) oleh Badan Pusat Statistik pada Maret 2019 menunjukkan, dari kelompok 40 persen termiskin, ada sekitar 25 juta orang yang mestinya divaksin (karena berusia 18-59 tahun), tidak menerima PBI, jadi tidak akan disubsidi vaksinnya.
Mampukah mereka bayar sendiri? Tampaknya tidak. Kelompok ini rata-rata pengeluaran rumah tangganya hanya Rp 2 jutaan per bulan. Dengan vaksin termurah Rp 200.000 per dosis, dua dosis per orang, maka mereka harus tidak makan selama sebulan penuh kalau mau divaksin.
Baca juga: Jalan Pintas Vaksin, Amankah?
Kedua, kelompok masyarakat di atas 40 persen termiskin juga sebenarnya tidak mampu-mampu amat. Indonesia itu hanya tampak luarnya mampu (pendapatan per kapita kelas middle income). Ini karena ketimpangannya sangat tinggi. Orang-orang superkaya Indonesia membuat pendapatan per kapita kita tampaknya tinggi, padahal sebagian besar rakyat kita tidak kaya-kaya amat.
Kelompok menengah pun (Desile 5 dan 6) tampaknya harus menyisihkan setengah dari pengeluaran per bulannya untuk memvaksinasi semua anggota keluarganya.
Jika pun mereka tetap harus membayar, satu-satunya cara supaya mereka mandiri divaksinasi adalah mereka disuruh menabung dulu.
Kesemua itu belum memasukkan faktor bahwa krisis Covid-19 juga sudah menggerus penghasilan banyak orang di Indonesia saat ini. Itu angka-angka pengeluaran tahun lalu yang sekarang sangat mungkin lebih kecil. Ingat, selain ada tambahan pengangguran 2,7 juta orang tahun ini, ada hampir enam juta orang yang harus kehilangan pekerjaan formal dan beralih menjadi pekerja keluarga atau tidak dibayar atau kerja serabutan.
Jika pun mereka tetap harus membayar, satu-satunya cara supaya mereka mandiri divaksinasi adalah mereka disuruh menabung dulu. Sayangnya, virus Covid-19 tidak lihat-lihat dulu saldo tabungan untuk menyerang kita. Timing sangat penting. Risiko harus ditekan sekuat-kuatnya. Safety first harus yang utama.
Baca juga: Tak Hanya Andalkan Vaksin
Ada yang bertanya, masa orang mampu tidak rela membayar sendiri vaksinnya? Tidak begitu. Ini bukan masalah mampu bayar atau tidak, tetapi persoalan menghindari risiko kelambatan vaksinasi karena keengganan orang divaksin.
Dan jugasebaiknya, kita juga membolehkan saja orang-orang yang mampu yang mau membayar sendiri vaksinasinya, misal karena ingin vaksin lain yang dianggap lebih manjur. Ini justru malah baik dalam konteks efisiensi vaksinasi dan akan mempercepat vaksinasi.
Yang tidak boleh adalah orang malas-malasan divaksin karena alasan malas, tidak atau belum mau untuk membayar.
Aspek ekonomi
Hitungan-hitungan ekonomi juga sangat mendukung. Gagal atau lambatnya program vaksinasi akan membuat kapasitas ekonomi kita hanya berjalan sedikitnya 90 persen dari kapasitas penuh. Ini melihat dari dua kuartal terakhir tahun 2020, di mana mobilitas masyarakat kita 20-an persen lebih rendah dan pertumbuhan ekonomi kita 10 persen lebih kecil daripada biasanya.
Jika diuangkan, dengan nilai produk domestik bruto (PDB) tahun 2019 yang sekitar Rp 16.000 triliun, ongkos ekonomi risiko ini adalah Rp 1.600 triliun per tahun. Sekali lagi per tahun! Bayangkan kalau berlarut-larut sampai bertahun-tahun.
Baca juga: Vaksinasi Covid-19
Sekarang bandingkan dengan biaya vaksinasi. Kita ambil contoh, yang termurah Rp 200.000 per dosis untuk dua kali suntik. Dengan memvaksin 70 persen (herd immunity) dari populasi usia vaksin (18-59 tahun) yang sebesar 160 juta orang, kita perlu memvaksin 110 juta orang. Kalikan dengan Rp 400.000 per orang, maka hanya diperlukan kurang dari Rp 50 triliun.
Bayangkan kalau berlarut-larut sampai bertahun-tahun.
Ditambah biaya logistik, penyimpanan (storage), dan lain-lain, sebutlah menjadi sekitar Rp 100 triliun. Ini tidak seberapa dibandingkan dengan risiko ongkos ekonomi kegagalan atau keterlambatan vaksin sebesar Rp 1.600 triliun per tahun.
Terakhir, bahkan, ketika vaksinasi ini dibiayai atau disubsidi penuh oleh APBN/APBD, bukan berarti vaksin itu gratis. Orang mampu pun membayar vaksin itu melalui iuran pajak penghasilannya. Lalu, orang miskin juga membayar vaksin tersebut ketika membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sewaktu membeli kebutuhan pokoknya sehari-hari. Bahkan, ketika pemerintah harus berutang pun untuk membeli vaksin, pada akhirnya seluruh rakyat Indonesia yang akan membayar utang tersebut.
Jadi, ini bukan vaksin gratis. Tidak ada vaksin gratis! Sekarang seluruh rakyat Indonesia menanggungnya secara gotong royong. Pemerintah hanya berperan sebagai juru bayar.
Arief Anshory Yusuf, Ketua Dewan Profesor Universitas Padjajaran