Industri Digital Menyisakan Masalah Penanganan Baterai Bekas
Peningkatan penjualan ponsel dan mobil listrik menciptakan kekhawatiran akan pencemaran dari baterai bekas di masa depan. Usaha daur ulang baterai bekas belum banyak dibangun karena belum ada perhitungan skala ekonominya
Oleh
Andreas Maryoto
·4 menit baca
Penggunaan baterai dengan menggunakan bahan lithium dan cobalt melonjak seiring dengan peningkatan penggunaan perangkat berbasis teknologi digital. Kini masalah mulai muncul. Baterai bekas biasa dibuang begitu saja namun cara ini memunculkan masalah. Usaha rintisan memiliki peluang bisnis baru yaitu mendaur ulang baterai itu.
Penggunaan batere ini bakal meningkat lagi seiring dengan produksi mobil dengan menggunakan tenaga baterai. Tahun lalu, limbah baterai bekas diperkirakan 250.00 ton, tetapi saat ini baterai bekas yang dibuang begitu saja mencapai 500.000 ton dalam setahun.
Jumlah ini sangat besar dan bisa menyebabkan masalah lingkungan. Apalagi pada tahun mendatang penggunaan baterai akan meningkat pesat. Salah satu prediksi menyebutkan jumlah baterai bekas bakal mencapai 2 juta ton setahun.
Pada tahun lalu, sejumlah kalangan telah memperingatkan tentang situasi di mana limbah baterai bakal melimpah. Tulisan di laman The Verge menyebutkan, satu sisi penggunaan baterai untuk kendaraan akan mengurangi polusi dan bersahabat dengan lingkungan namun penggunaannya juga akan menghasilkan limbah baterai yang melimpah dan tak mudah dalam penanganannya ketika umur ekonominya telah habis.
Di Indonesia limbah baterai ini tentu juga menjadi masalah. Pada tahun lalu penjualan telepon cerdas setidaknya mencapai 36,4 juta unit. Pada tahun sebelumnya penjualan sekitar 35 juta unit. Tahun ini, penjualan perangkat ini diprediksi mengalami penurunan. Pada masa depan semua telepon cerdas itu akan menjadi sampah. Tanpa penanganan yang memadai, produk itu akan dibuang begitu saja hingga menimbulkan masalah.
Oleh karena itu, sejumlah akademisi dan ilmuwan tengah bekerja keras untuk menemukan cara mendaur ulang materi baterai itu. Usaha rintisan juga berpeluang untuk mengembangkan usaha dengan mencari cara agar material baterai bisa didaur ulang. Mereka menyadari bahwa penanganan selama ini tidak baik dan malah membahayakan lingkungan.
Laporan yang dimuat di laman CNBC menyebutkan, ada beberapa usaha rintisan yang didanai jutaan dollar AS oleh investor untuk menemukan cara mendaur ulang material baterai. Usaha rintisan bernama Redwood Material berusaha menambang material elektronik untuk mendapatkan logam. Usaha rintisan Li-Cycle berusaha memecahkan masalah transportasi baterai bekas pakai. Usaha rintisan lainnya berusaha “memudakan” baterai bekas.
Semua itu berusaha agar barang yang tak berguna itu menjadi lebih bernilai karena selama ini pembuatan baterai yang rumit ujungnya berakhir dengan pembakaran material itu. Mereka yakin bisnisnya bakal membesar karena kini penggunaan baterai sangat besar. Di dalam tulisan CNBC itu bahkan disebutkan akan terjadi tsunami baterai bekas dalam beberapa tahun mendatang.
Usaha rintisan mengelola bisnis ini karena kenyataannya baterai sulit dibongkar. Sejak awal baterai memang didesain rumit untuk dibongkar agar orang-orang sulit mengekstrak isi baterai untuk tujuan lain. Material ini bisa dijual secara terpisah. Tujuan lainnya karena ada material berbahaya. Oleh karena itu baterai dibuat agak rumit sehingga menghindarkan risiko memapar manusia.
Daur ulang baterai diharapkan bisa mendapatkan manfaat kembali dari material yang biasanya dibuang. Potensi bisnis ini makin besar ketika beberapa tahun lagi mobil listrik mulai diistirahatkan karena umur ekonominya telah habis dan bakal menjadi barang bekas sekitar lima tahun lagi. Baterai mobil listrik itu perlu ditangani dengan baik.
Sejauh ini penanganan limbah baterai memang belum memuaskan padahal di dalam baterai terdapat material yang bisa dipulihkan, diproses, dan didaur ulang. Di Australia menurut laman Australia Commonwealth Scientist, hanya dua persen sampai tiga persen baterai di negara itu yang didaur ulang setiap tahunnya. Di Eropa dan Amerika datanya tidak jauh berbeda, sekitar 5 persen saja.
Ada beberapa alasan daur ulang masih jarang dilakukan di berbagai negara seperti hambatan teknologi, masalah ekonomi, aturan yang belum ada, dan isu logistik. Pebisnis melihat, keekonomian bisnis daur ulang masih belum diketahui. Mereka harus menebak skala ekonomi bisnis daur ulang. Di sisi lain peneliti dan produsen baterai tidak pernah menyentuh masalah kemungkinan daur ulang baterai yang dibuat. Mereka lebih berfokus pada superioritas baterai seperti ketahanan baterai dalam waktu lama, membuat harga yang lebih murah, dan kemampuan untuk pengisian ulang.
Secara perlahan pebisnis dan industri mulai melirik bisnis daur ulang baterai. Beberapa keuntungan dalam daur ulang baterai antara lain, material di baterai bekas masih bisa digunakan untuk baterai baru. Konsentrasi beberapa material di baterai bekas itu tergolong tinggi sehingga dibandingkan mendapatkan dari alam maka bila pemulihan material itu bisa dilakukan maka harga material itu akan lebih murah sehingga menurunkan harga baterai.
Daur ulang juga akan mengurangi pembuangan material baterai ke tempat pembuangan akhir sehingga material seperti nikel, cobalt, dan mangan, yang berpotensi mencemari lingkungan dan mengganggu kesehatan bisa dikendalikan. Oleh karena itu usaha rintisan yang masuk ke dalam bisnis daur ulang baterai akan menyelesaikan dua masalah yaitu penggunaan kembali material baterai dan juga mengurangi pencemaran lingkungan.