Di masa pandemi ini, saat rakyat tutup hidung, wakil rakyat jangan tutup telinga, pemerintah pun jangan tutup mata, media jangan tutup mulut. Agar rakyat tidak tutup usia. Cegah ”fallacy” dan selamatkan akal sehat.
Oleh
ALBERT BARITA SIHOMBING
·6 menit baca
Miris! Saat membaca meme ”Vaksin Covid-19 harus pertama diuji ke anggota Dewan terhormat. Jika mereka selamat, vaksin dinyatakan baik. Namun, jika mereka mati, maka negara yang selamat!” dan meme ”Terima kasih untuk para wakil rakyat. Ketika rakyat ingin hidup mewah, Anda yang mewakili, ketika rakyat ingin tidur nyenyak, Anda yang mewakili (disertai gambar tidur saat sidang dan hedonisme gaya hidup mewah). Kalimatnya singkat, tetapi menyampaikan sebuah pesan ironi.
Meme menjadi tren zaman now, sebagai bentuk keluh kesah netizen menyikapi keadaan yang sedang terjadi dengan sindiran yang juga bagian pelipur lara terhadap fenomena yang menyesak dada karena adanya oknum yang seharusnya andal membawa kebenaran justru andil dalam kesesatan.
Mengapa demikian? Sekali lagi ada ketidaksesuaian antara harapan dibandingkan dengan kenyataan! Kiai Haji Miftachul Akhyar saat berpidato di acara penutupan Munas X MUI, di Jakarta, Jumat (27/11/2020), menyatakan: ”Dakwah itu mengajak, bukan mengejek. Merangkul, bukan memukul. Menyayangi, bukan menyaingi. Mendidik, bukan membidik. Membina, bukan menghina. Mencari solusi, bukan mencari simpati. Membela, bukan mencela.”
Fenomena sosial saat ini, ketika media sosial terasa mendominasi kehidupan bersama, menunjukkan kian masifnya produksi atau penyebarluasan meme sebagai respons publik atas suatu isu. Sepanjang tahun 2020, misalnya, setidaknya terdapat panca meme yang menyebar luas di kalangan netizen, yaitu meme terkait isu korupsi, pilkada, Joker, Covid-19, dan pasien rawat lari sebagai meme terheboh di akhir tahun.
Istilah ”meme” pertama kali digaungkan pada 1976 oleh Richard Dawkins, seorang ahli biologi evolusioner. Meme adalah ide yang berkembang biak dari satu pikiran kepada pikiran yang lain melalui proses imitasi atau, menurut Sperber, meme merupakan sebuah simbol dan asosiasi yang ada di dalam pikiran manusia yang digunakan untuk mereplika suatu bentuk kultur atau kebudayaan tertentu.
Dari kedua pendapat ahli di atas, disimpulkan bahwa meme adalah sebuah ide atau gagasan berupa kata-kata yang sudah menjadi bagian dari budaya yang mampu menyebar secara luas melintasi ruang dan waktu, dari generasi ke generasi.
Meme dan ”fallacy”
”Ya Allah, jauhkanlah aku dari ibu-ibu yang ’pake’ motor yang lampu ’sen’-nya ke kiri, tetapi beloknya ke kanan”. Apa yang terjadi jika dalam keseharian ditemukan hal yang kontradiktif? Ketika kebenaran dikalahkan oleh pembenaran, akankah kita terpaksa mengalah ke jalan yang salah?
Dalam banyak kasus, isu mudah dipelintir oleh politik identitas. Akibatnya, kebenaran menjadi abai karena emosi lebih berkibar. Miris, bagi pihak-pihak yang polos bermaksud menegur dapat berujung bully! Apakah penyebutan ”MRS” yang sebelumnya ”HRS” adalah jurus jitu menghindari pelintiran antihabib?
Kembali, saya terkesan pada pidato perdana KH Miftachul Akhyar, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) periode 2020-2025, bahwa ulama harus mengedepankan kasih sayang dan memberikan pencerahan kepada umat. Manakala terjadi sesuatu, mari cari penyebabnya, bukan hanya memvonis tanpa ada klarifikasi! KH Miftachul Akhyar berharap agar para ulama di Indonesia punya dasar hukum atas apa yang mereka sampaikan ke umat dan bersandar pada pembuktian, bukan sekadar ikut-ikutan.
Konteks kekinian, ancaman disintegrasi bangsa dipengaruhi oleh faktor 3M, yaitu keberadaan individu yang ”Mabuk Asmara, Mabuk Politik, dan Mabuk Agama”.
Mabuk asmara adalah cerminan individu yang lebih fokus mencari pembenaran daripada kebenaran itu sendiri. Mabuk politik adalah cerminan individu yang memandang sesuatu adalah benar jika menguntungkan kelompoknya. Terakhir, mabuk agama adalah cerminan individu yang merasa paling benar sejagat.
Meme pun bermunculan seperti ”Merasa benar itu salah, merasa salah itu benar” dan ”Setan tidak mengajarkan manusia berpikir dengan benar, tapi ia mengajarkan merasa selalu benar”.
Sejatinya, belajar melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda akan memperkaya khazanah. Namun, dalam keterbatasan perspektif pun, lakukan 3T, yaitu test, tracing, dan treatment untuk terhindar dari fallacy. Fallacy berasal dari kata fallacia (Yunani) yang berarti deception atau ”menipu”.
Irving M Copi et al (2014) menyatakan bahwa sesat pikir adalah tipe argumen yang terlihat benar, tetapi sebenarnya mengandung kesalahan dalam penalarannya. Dalam buku Man and Universe, Murtadha Muthahhari menyebutkan ada lima penyebab kesalahan berpikir, yaitu karena bersandar pada prasangka, adanya hawa nafsu, tergesa-gesa dalam pengambilan keputusan, dan pola pikir tradisional melihat ke masa lalu, serta pemujaan tokoh atau mengkultuskan seseorang sehingga olah pikir kritis tidak terasah.
Dalam praktik, semisal terjadinya pro dan kontra penembakan enam anggota Front Pembela Islam (FPI) di kawasan Tol Jakarta-Cikampek Km 50 pada Senin 7 Desember 2020. Posisi kasus dapat ditelisik melalui penerapan 3T.
Pertama test atau uji kebenaran informasi melalui pembuktian lebih dari sekadar argumentasi yang bersandar pada prasangka dan hawa nafsu atau kemarahan serta ketergesaan pengambilan keputusan karena berbasis kepentingan dan desakan lawan bicara agar menerima suatu konklusi tertentu, dengan alasan bahwa jika menolak akan berdampak negatif. Contoh, Jika Anda tidak mengakui kebenaran apa yang saya katakan, Anda akan terkena azab Tuhan.
Kedua, tracing atau rekam jejak. Ingat meme ”Kata-katamu tak berati ketika apa yang kau lakukan adalah sebaliknya!”. Rekam jejak dapat dijadikan bahan pertimbangan apakah si pembuat pernyataan layak dipercaya atau tidak.
Ketiga lakukan treatment.Fallacy sangat efektif dan manjur untuk mengubah opini publik dengan memutar balik fakta, pembodohan publik, provokasi sektarian, menghindari jerat hukum, dan meraih kekuasaan via janji palsu. Efeknya dapat menghancurkan kepercayaan publik yang sangat diperlukan sebagai prasyarat pembangunan.
Sebagai treatment seyogianya penerapan sanksi hukum bagi yang melanggar harus diterapkan dengan tegas. Stop provokator. Tenggelamkan pengadu domba. Jangan abai, laporkan pelaku hoaks, dukung penegakan hukum.
Metode 3T di atas, apabila diterapkan, setidaknya dapat mencegah eskalasi kekerasan. Menurut teori ”the hourglass model of conflict resolution” (Ramsbotham, 1999: 11), fase eskalasi konflik dimulai dari mismanagement perbedaan yang mengarah ke pertentangan kepentingan yang kontradiktif.
Situasi ini, jika tidak dikelola, akan menyulut terjadinya polarisasi atau perang kubu, semisal kelompok kampret dan kecebong pada Pilpres 2019. Beruntung potensi konflik yang terjadi tidak berimplikasi pada aksi-aksi kekerasan (bully) yang berujung perluasan konflik atau perang saudara.
Diperlukan tindakan nyata! Perbedaan adalah pelangi, bukan pedang. Perlu terus membangun toleransi dan tenggelamkan ujaran kebencian dalam kehidupan bersama. Seiring dengan upaya membangun toleransi, penting pula membangun struktur damai dalam bentuk penegakan hukum dan ketertiban.
Penertiban spanduk dan baliho FPI yang dilakukan TNI, misalnya, adalah tidak sekadar membersihkan baliho ilegal, tetapi jauh dari itu adalah sebagai wujud kehadiran negara untuk menghancurkan simbol-simbol/konten yang cenderung provokatif dan berpotensi mengganggu keutuhan NKRI.
Selanjutnya, sebagai bagian upaya peacemaking, kepastian hukum harus ditegakkan. Tidak lain dan tidak bukan sebagai upaya penjeraan siapa pun tanpa terkecuali jika salah harus diproses secara hukum yang berkeadilan.
Akhir kata, di saat pandemi ini, saat rakyat tutup hidung, wakil rakyat jangan tutup telinga, pemerintah pun jangan tutup mata, media jangan tutup mulut. Agar rakyat tidak tutup usia. Bersama cegah fallacy. Selamatkan akal sehat agar negara selamat.
(Albert Barita Sihombing, Dosen Utama STIK-PTIK Lemdiklat Polri)