Kegiatan ”food estate” dalam hutan lindung akan melegalkan perambahan dalam hutan lindung. Kondisi ini berpotensi meningkatkan angka deforestasi karena ”food estate” membutuhkan lahan hutan minimal 100.000 hektar.
Oleh
Pramono Dwi Susetyo
·3 menit baca
Konsep food estate di hutan lindung belakangan menjadi kontroversi karena berpotensi meningkatkan deforestasi. Adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau KLHK yang mengeluarkan Peraturan Menteri LHK P24/2020. Peraturan itu membolehkan food estate dalam hutan lindung.
Melalui Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, KLHK menyatakan bahwa kawasan hutan lindung untuk food estate sudah tidak sepenuhnya berfungsi lindung. Kawasan sudah terbuka atau terdegradasi.
Kehadiran food estate diharapkan akan memulihkan hutan dengan pola kombinasi tanaman hutan, tanaman pangan, ternak, dan perikanan (pola agroforestry, silvipasture, wanamina). Food estate akan memperbaiki fungsi hutan lindung (Kompas, 17/11/2020).
Esensi pemanfaatan hutan lindung adalah pemanfaatan kawasan hutan tanpa merusak dan tanpa mengurangi fungsi utama hutan. Bentuknya adalah pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan, dan memungut hasil hutan.
Pemanfaatan kawasan hutan, misalnya, untuk fungsi hidrologis dan kekayaan hayati. Jasa lingkungan, misalnya, untuk wisata alam dan konservasi air. Adapun pemungutan hasil hutan bukan kayu dalam hutan lindung adalah segala bentuk kegiatan yang tidak merusak fungsi utama kawasan, seperti mengambil rotan, madu, dan buah (penjelasan Pasal 26 Ayat (1) UU No 41/1999).
Lalu, di mana food estate ditempatkan dalam pemanfaatan hutan lindung? Apakah pemanfaatan kawasan hutan, jasa lingkungan, atau pemungutan hasil hutan bukan kayu? Rasa-rasanya, food estate tidak termasuk dalam ketiga kategori tersebut.
PP No 6/2020 tentang rehabilitasi dan reklamasi hutan Pasal 20 Ayat (1b) menegaskan bahwa rehabilitasi hutan pada kawasan hutan lindung untuk memulihkan fungsi hidrologis daerah aliran sungai dan meningkatkan produksi hasil hutan bukan kayu serta jasa lingkungan.
Rehabilitasi hutan antara lain melalui kegiatan reboisasi intensif atau agroforestry. Reboisasi agroforestry dilakukan pada lahan kritis dengan tutupan lahan terbuka, semak belukar, kebun, kebun campuran, pertanian lahan kering, dan terdapat aktivitas pertanian masyarakat.
Dapat disimpulkan bahwa kegiatan food estate dalam hutan lindung akan melegalkan perambahan hutan dalam kawasan hutan lindung yang memang telah marak terjadi. Kondisi ini akan berpotensi meningkatkan laju angka deforestasi karena food estate membutuhkan lahan hutan cukup luas, minimal 100.000 hektar. Wajar apabila menjadi kontroversi.
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan KLHK, Vila Bogor Indah, Ciparigi, Bogor
Tambah Ilmu
Di masa pandemi, kehidupan berubah jadi berkegiatan dari rumah. Jika tidak penting, tidak perlu keluar. Belajar dan bekerja dari rumah. Bahkan, melihat pameran dan seminar pun cukup dari rumah.
Kemajuan teknologi informasi dan jaringan komputer mendukung gerakan di rumah saja. Generasi yang gagap teknologi dipaksa belajar aplikasi Zoom dan Google Meet karena kebutuhan.
Meskipun terpasung dalam raga, jiwa tetap dinamis dengan asupan ilmu melalui webinar dan festival. Ada Indonesia Ecotourism Festival 2020, Festival Taman Nasional dan Taman Wisata Alam Indonesia 2020, webinar Rumah Peradaban dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, juga webinar dari Arsip Nasional Republik Indonesia.
Penyelenggara juga mengunggah acara via Youtube. Kita bisa melihat kapan saja.
Vita Priyambada
Kompleks Perhubungan, Jatiwaringin, Jakarta 13620
Kutu Busuk
Cerita pendek Budi Darma tidak pernah saya lewatkan. Termasuk ”Kita Gendong Bergantian” (Kompas, 29 November 2020).
Cerita kali ini tentang kepala sekolah dasar yang menjadi penjilat Jepang, lalim terhadap para guru dan murid.
Ada cerita tentang kewajiban guru dan murid membawa berpuluh nyamuk mati, untuk memberantas malaria.
Dikisahkan juga tentang kutu busuk, yang sengaja disebar tentara Jepang dan antek-anteknya. Ayah saya pernah bercerita, ”invasi” kutu busuk masih terjadi dekade 1950-an, 1960-an, dan awal 1970-an.
Pada masa-masa itu sampai ada kegiatan rutin membasmi kutu busuk. Cerpen ”Kita Gendong Bergantian” mengingatkan kembali hal itu.