Hak Petani dan Masyarakat Perdesaan
Kementerian Hukum dan HAM hendaknya mengintegrasikan hak petani dan masyarakat yang bekerja di perdesaan ke dalam Rencana Aksi Nasional HAM Tahun 2020-2024, dan bersama DPR melakukan sinkronisasi atau harmonisasi hukum.
Peringatan Hari HAM Sedunia, 10 Desember lalu, jadi momentum pemajuan hak atas pangan dan hak petani serta masyarakat yang bekerja di perdesaan.
Di satu sisi, pangan adalah hak yang paling mendasar dalam HAM, tetapi di sisi lain masyarakat perdesaan yang merupakan produsen pangan justru memiliki kerentanan terhadap krisis pangan dan pelanggaran HAM.
Krisis pangan dan pelanggaran HAM petani dan masyarakat di perdesaan adalah masalah yang mendunia dan menjadi perhatian dunia melalui mekanisme di PBB sehingga mendorong lahirnya Deklarasi Hak Petani dan Masyarakat yang Bekerja di Perdesaan, serta Dasawarsa Pertanian Keluarga 2019-2028.
Kedua instrumen HAM itu menunjukkan bahwa untuk mengatasi krisis pangan dunia haruslah dengan perlindungan dan pemenuhan hak petani dan masyarakat yang bekerja di perdesaan, serta memperkuat pertanian keluarga. Subyek yang dimaksud tidak hanya petani, tetapi juga pekebun, peternak, penggembala, nelayan pembudidaya ikan, dan petambak.
Baca juga: Memastikan Petani Sejahtera
Pemerintah Indonesia mendukung kesepakatan di PBB ini dan sudah memiliki payung hukum guna merealisasikan komitmen internasional itu, yaitu UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani; UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam; Perpres Reforma Agraria; Perpres Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan, dan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi.
Akan tetapi, di sisi lain, pemerintah memiliki kebijakan yang kontradiktif dengan perlindungan hak petani dan masyarakat yang bekerja di perdesaan, serta pertanian keluarga, seperti food estate, korporatisasi pertanian, lemahnya Dana Sawit untuk petani pekebun swadaya, dan omnibus law UU Cipta Kerja.
Mengatasi kontradiksi itu tak hanya butuh sinkronisasi kebijakan dan harmonisasi hukum, tetapi juga perlunya kebijakan yang berbasis HAM di bidang pertanahan, perairan, pangan, pertanian, perikanan, pergaraman, peternakan, dan pembangunan perdesaan.
Pelanggaran HAM
Sebelumnya, komitmen dunia melalui mekanisme di PBB untuk mengatasi masalah kelaparan dunia sudah pernah ada, yaitu Konferensi Tingkat Tinggi Pangan dan Konferensi Tingkat Tinggi Tujuan Pembangunan Milenium, yang bermaksud mengurangi angka kelaparan dunia hingga separuhnya sebelum 2015. Namun, target ini tak tercapai. Penyebabnya, masyarakat perdesaan yang merupakan produsen pangan justru menjadi korban krisis pangan dan pelanggaran HAM.
Baca juga: Matinya Kedaulatan Petani dan Pangan
Studi Final Komite Penasihat Dewan HAM PBB tahun 2012 tentang Kemajuan Hak Petani dan Masyarakat yang Bekerja di Perdesaan menunjukkan 80 persen kelaparan dunia ada di daerah perdesaan.
Pelanggaran HAM petani dan masyarakat yang bekerja di perdesaan tentu ironi mengingat mereka adalah penyedia pangan bagi penduduk dunia.
Masyarakat perdesaan juga mengalami diskriminasi dan memiliki kerentanan terhadap pelanggaran HAM yang disebabkan oleh: (1) pengambilalihan tanah, penggusuran dan pemindahan secara paksa; (2) diskriminasi jender; (3) tidak adanya pembaruan agraria dan kebijakan pembangunan perdesaann termasuk irigasi dan perbenihan; (4) kurangnya upah minimum dan perlindungan sosial perlindungan; dan (5) represi serta kriminalisasi terhadap gerakan yang membela hak-hak masyarakat yang bekerja di daerah perdesaan.
Memperhatikan kemiskinan di perdesaan, kerentanan masyarakat perdesaan terhadap kerawanan pangan, diskriminasi, eksploitasi, dan perubahan iklim, maka pada 11 Oktober 2012 Dewan HAM PBB mengadopsi Resolusi tentang Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia Petani dan Masyarakat yang Bekerja di Perdesaan, yang kemudian disahkan pada Sidang Umum PBB pada 2018.
Baca juga: Pertanian dan Petani Terpinggirkan
Pelanggaran HAM petani dan masyarakat yang bekerja di perdesaan tentu ironi mengingat mereka adalah penyedia pangan bagi penduduk dunia. Berdasarkan studi badan-badan PBB untuk pangan dan pertanian, yaitu FAO dan IFAD, pertanian keluarga adalah bentuk utama produksi pangan dan pertanian di negara maju dan berkembang yang memproduksi lebih dari 80 persen pangan dunia.
Berdasarkan hal itu, Sidang Umum PBB pada Desember 2017 memproklamasikan Dasawarsa Pertanian Keluarga Tahun 2019-2028. Bagi PBB, pertanian keluarga dipandang kesempatan luar biasa (extraordinary) untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan selaras dengan Deklarasi Hak Petani dan Masyarakat yang Bekerja di Perdesaan.
Di Indonesia, daerah rawan pangan dan konflik agraria terbanyak ada di kawasan perdesaan, di mana petani, pekebun, peternak, nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak tinggal dan bekerja sebagai produsen pangan utama penyangga ketersediaan pangan dalam negeri. Berdasarkan data BPS (2018), terdapat 27,6 juta Rumah Tangga Usaha Pertanian yang menjadi penyedia pangan bagi sekitar 265 juta penduduk Indonesia (Kementan RI; 2019, Rencana Aksi Nasional Pertanian Keluarga Tahun 2020-2024).
Realisasi progresif
Pemerintah perlu segera menyusun indikator hak petani dan masyarakat yang bekerja di perdesaan sebagai tolok ukur realisasi progresif penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak para petani dan masyarakat yang bekerja di perdesaan.
Baca juga: Hari Tani di Musim Pandemi
Kementerian Hukum dan HAM hendaknya mengintegrasikan hak petani dan masyarakat yang bekerja di perdesaan ke dalam Rencana Aksi Nasional HAM Tahun 2020-2024, dan bersama DPR melakukan sinkronisasi atau harmonisasi hukum sehingga terjadi pembaruan hukum yang dapat merealisasikan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak petani dan masyarakat yang bekerja di perdesaan.
Kelembagaan petani yang dibentuk sendiri oleh petani bisa menjadi dasar pembaruan hukum.
Pembaruan hukum itu, selain bersumber dari Deklarasi Hak Petani dan Masyarakat yang Bekerja di Perdesaan, dan Dasawarsa Pertanian Keluarga, juga bersumber dari putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan konstitusionalitas hak petani, hak nelayan, hak masyarakat adat, hak rakyat atas air, reforma agraria, dan penyelesaian konflik agraria.
Kelembagaan petani yang dibentuk sendiri oleh petani bisa menjadi dasar pembaruan hukum. Pengakuan konstitusionalitas atas kelembagaan petani yang dibentuk sendiri oleh petani seharusnya menjadikan ada perwakilan kelembagaan petani dan nelayan tersebut dalam penyusunan kebijakan dan evaluasi kebijakan terkait dengan hak petani dan masyarakat yang bekerja di perdesaan, dan dalam kelembagaan ad hoc yang dibentuk pemerintah, seperti dalam Gugus Tugas Reforma Agraria.
Gunawan, Penasihat Senior IHCS, KNPK (Komite Nasional Pertanian Keluarga), dan Dewan Nasional SPKS (Serikat Petani Kelapa Sawit).