Muhammadiyah: antara Konservatisme dan Moderasi Beragama
Dengan modal yang berlimpah (sosial, kultural, intelektual, dan ekonomi), Muhammadiyah idealnya bisa mengambil peluang untuk menjadi arus utama dalam wacana keislaman dan keindonesiaan.
Oleh
HAMZAH FANSURI
·5 menit baca
Dalam sebuah kuliah di forum Religion and World Affairs, Dr Chris Seiple dari Institute of Global Engagement menjelaskan bahwa apa yang sedang kita saksikan di seluruh dunia saat ini tidak lain adalah pengulangan dari peristiwa-peristiwa purba yang pernah terjadi dalam sejarah peradaban manusia, seperti upaya-upaya mendefinisikan diri kita sendiri terhadap yang lain, kadang kala menyangkut etnisitas dan agama minoritas di antara kita guna memvalidasi agama mayoritas, serta kontrol atas lembaga negara.
Dari forum tahunan itu, tersisa banyak pertanyaan sekaligus tantangan, terutama dalam konteks Muhammadiyah (yang sedang merayakan milad ke 108), keislaman dan keindonesiaan. Setidaknya dua pertanyaan bisa diajukan.
Pertama, jika upaya-upaya menjadi Indonesia dan secara khusus menjadi ’Muslim yang benar’ bisa dilihat sebagai pengulangan sejarah, apa yang sesungguhnya mendorong sebagian masyarakat Muslim Indonesia saat ini merindukan figur dan simbol pemersatu umat?
Kedua, bagaimana gagasan moderasi beragama dengan acuannya pada konsep middle path (ummah wasat), berhadapan dengan dinamika kehidupan beragama yang kompleks, termasuk gejala menguatnya konservatisme melalui platform-platform media sosial?
Untuk memperoleh jawabannya tentu dibutuhkan tidak hanya studi-studi mendalam yang memakan waktu terhadap Islam dari kacamata teologis, tetapi juga memahami Islam dari perspektif sosio-antropologis. Akan tetapi, melalui kesempatan ini, izinkan saya memberikan beberapa pandangan.
Imajinasi persaudaraan Islam
Islam dan Indonesia telah menjadi dua arena yang dikontestasikan sejak bangsa ini mendeklarasikan kemerdekaannya 75 tahun lalu. Selama kurun itu pula, telah banyak sarjana yang menyintesakan keislaman dan keindonesiaan itu sebagai yang tidak bisa dipisahkan.
Namun, fenomena pasca-Aksi Bela Islam 2016 yang melahirkan solidaritas sebagian masyarakat Muslim perkotaan itu menunjukkan bahwa tafsir atas ’menjadi Indonesia’ dan ’Islam benar’ terus berkembang. Beragam tafsir itu bisa dilihat sebagai sebuah keniscayaan mengingat basis kehidupan beragama pada masyarakat Indonesia yang tidak sepenuhnya bisa lepas dari komunalitas etnoreligius.
Dengan demikian, masyarakat Muslim perkotaan saat ini tidak lagi sebagaimana yang diramalkan Kuntowijoyo sebagai masyarakat Muslim yang tidak mempunyai akar pendidikan Islam yang kokoh. Kehadiran media baru juga tidak dapat dipandang sebagai medium yang mendangkalkan pemahaman keislaman masyarakat Muslim perkotaan.
Karena itu, kita perlu ingat bahwa di tengah ketidakpastian global saat ini, janji kesejahteraan dan keadilan dari ide negara-bangsa yang tak kunjung terwujud menjadi di antara argumen-argumen yang berkembang luas di komunitas-komunitas Muslim perkotaan. Narasi itu menyebar lewat beragam salurannya yang sukar dibendung, seperti Youtube, grup-grup Whatsapp, Twitter, dan Facebook.
Maka, kerinduan atas figur dan simbol pemersatu tidak terlepas dari konteks kehidupan berbangsa dan beragama tersebut. Masyarakat Muslim perkotaan seakan muak atas keterbelahan umat sehingga mendambakan persaudaraan atas sesama Muslim (Islamic brotherhood).
Kepulangan Rizieq Sihab adalah contoh nyata bagaimana Muslim perkotaan dari berbagai lapis sosial dan afiliasi (tidak sedikit yang berafiliasi dengan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama/NU) berada dalam spirit yang sama, yakni kebutuhan atas figur pemersatu umat.
Sebelumnya, simbol pemersatu itu bernuansa politis dengan memberi mandat kepada Prabowo Subianto sebagai calon presiden dalam Pemilu 2019. Namun, setelah ia bergabung ke dalam pemerintahan, sosok itu seakan mengarah kepada Rizieq Sihab.
Secara politis, Rizieq Sihab bisa dikatakan sebagai kekuatan oposisi yang bisa diharapkan oleh sebagian masyarakat Muslim perkotaan. Namun, dalam konteks keislaman, figur semacam itu menjadi tantangan serius bagi Muhammadiyah yang telah menyejarah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di usia yang lebih dari satu abad, Muhammadiyah perlu lebih cermat dalam merespons zaman. Meskipun bagi sebagian kalangan menyebutkan bahwa fenomena Rizieq Sihab bersifat temporer, perlu ada upaya-upaya strategis merangkul masyarakat Muslim perkotaan itu guna menyangkal gejala konservatisme yang menguat sekaligus memperkuat narasi-narasi yang berpijak pada cita-cita kebangsaan dan keberagaman sebagai sebuah keniscayaan.
Di usia yang lebih dari satu abad, Muhammadiyah perlu lebih cermat dalam merespons zaman.
Tantangan moderasi beragama
Selain dialektika Muslim perkotaan yang merindukan kesatuan umat Islam, tantangan lain bagi Muhammadiyah adalah bagaimana gagasan moderasi beragama yang saat ini tengah dikontestasikan ke ruang-ruang publik (fisik ataupun digital) berhadapan dengan praktik-praktik keagamaan baru yang kompleks berkat saluran media sosial.
Temuan dari studi yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah secara gamblang menunjukkan rendahnya suara-suara moderasi beragama di media sosial. Sebaliknya, narasi konservatisme lagi-lagi mendominasi dan menjadi konsumsi publik.
Artinya, Muhammadiyah bersama dengan NU sebagai garda depan yang telah menjadikan kecintaan terhadap Tanah Air itu sebagai habitus perlu tidak hanya lebih giat dalam membangun narasi ’Jalan Tengah’ yang berujung pada Pancasila itu di kanal-kanal media sosial, tetapi juga dibutuhkan adanya kesadaran baru bahwa dunia fisik dan digital yang melebur telah menciptakan ruang hibrid.
Maka, dengan kesadaran itu, narasi moderasi beragama mesti terbentang dari forum-forum pengajian yang mewarnai kehidupan perkotaan saat ini, entah itu dari rumah ke rumah, di perkantoran, restoran, ataupun ruang perkotaan lainnya.
Di saat bersamaan, secara terorganisir dan intens, mereka harus menghiasi ruang-ruang digital karena, harus diakui, kontestasi wacana di ruang digital berlangsung jauh lebih masif dengan isu yang cepat berganti.
Dengan modal yang berlimpah (sosial, kultural, intelektual, dan ekonomi), Muhammadiyah idealnya bisa mengambil peluang untuk menjadi arus utama dalam wacana keislaman dan keindonesiaan. Meskipun tentu gagasan moderasi beragama ini lebih dulu menghadapi tantangan di dalam tubuh Muhammadiyah sendiri.
(Hamzah Fansuri, Mahasiswa Doktoral di Institut Etnologi, Fakultas Perilaku dan Kajian Budaya, Heidelberg University, Jerman, Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Jerman Raya)