Kita perlu meluruskan kembali makna dan cara pandang prinsip berkelanjutan, terutama meluruskan pemahaman mengenai ”green economy” yang menjadi dasar pembangunan.
Oleh
MARENDA ISHAK S
·4 menit baca
Menarik apa yang diucapkan Presiden Joko Widodo pada saat acara peninjauan Pusat Sumber Benih dan Persemaian di Bogor, Jawa Barat, 27 November lalu. Presiden berharap pusat perbenihan akan menanam tanaman yang memiliki fungsi ekonomi. Selanjutnya, pemerintah juga berencana untuk mengembangkan green economy.
Menarik karena kata green economy menjadi kata kunci, sekaligus menjadi dilema di tengah kontroversi terkait Undang-Undang Cipta Kerja. Menarik karena sejak dilahirkannya green economy pada tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brasil, apa yang dilakukan pemerintah terdahulu dalam menafsirkan green economy tergantikan dengan adanya Undang-Undang Cipta Kerja.
Lalu manakah yang sebenarnya berpihak pada green economy: undang-undang terdahulukah atau sebaliknya Undang-Undang Cipta Kerja yang menjadi kebanggaan pemerintah saat ini?
Menarik karena kata green economy menjadi kata kunci, sekaligus menjadi dilema di tengah kontroversi terkait Undang-Undang Cipta Kerja.
UU Cipta Kerja vs UU sebelumnya
Green economy dapat diartikan sebagai gagasan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesetaraan sosial masyarakat, sekaligus untuk mengurangi risiko kerusakan lingkungan secara signifikan.
Pemahaman menjadi semangat dan roh pada setiap sisi kehidupan, termasuk undang-undang dan program pemerintah.
Jika kita tinjau Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, jelas terlihat komitmen akan green economy yang akan dituju. Komitmen ini jelas tertangkap pada Pasal 18, bahwa luas kawasan hutan harus dipertahankan minimal 30 persen dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional.
Ini jauh berbeda dengan Undang-Undang Cipta Kerja, yaitu ketentuan ini dihapus. Tentu saja hal ini berimplikasi jauh, baik pada semangat, cita-cita, maupun cara pandang tentang keberlanjutan.
Tanpa ketentuan tersebut, sangat mungkin tafsir mengenai green economy menjadi liar, bahkan mengorbankan nilai keadilan, kesejahteraan sosial, dan keberlanjutan.
Secara ilmiah, ketentuan 30 persen adalah penilaian yang paling rasional mengingat Indonesia merupakan negara beriklim tropis basah dengan curah hujan yang tinggi. Curah hujan ini memungkinkan Indonesia di satu sisi dilanda banjir dan di sisi lain dilanda kekeringan. Oleh karena itu, ketentuan 30 persen menjadi prinsip kehati-hatian guna mengamankan masa depan.
Selanjutnya, dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Perbedaan ini terletak pada penghapusan izin pemanfaatan ruang, penyederhanaan sistem rencana tata ruang dengan dihilangkannya kawasan strategis provinsi kabupaten/kota, dan sentralisasi perizinan dan kelembagaan.
Izin pemanfaatan ruang adalah sarana yang harus dimiliki semua pihak yang akan melakukan pembangunan. Izin ini berguna untuk memastikan pembangunan yang dilakukan tidak bersifat eksploitatif, bahkan tidak merugikan masyarakat luas.
Kasus-kasus eksplorasi tambang memberi contoh betapa masyarakat kecil sering menjadi korban dari pembangunan itu sendiri.
Kasus-kasus eksplorasi tambang memberi contoh betapa masyarakat kecil sering menjadi korban dari pembangunan itu sendiri. Dengan penghilangan izin pemanfaatan ruang, sangat mungkin kasus pencemaran lingkungan, penurunan kualitas kehidupan, dan terpinggirkannya masyarakat akan sangat marak terjadi.
Terlebih, instrumen kontrol lingkungan amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) mengalami perampingan dan dilakukan hanya pada masyarakat yang terdampak secara langsung.
Selanjutnya, pada poin dihilangkannya kawasan strategis provinsi, kabupaten, dan kota. Pemaknaan kawasan strategis secara tunggal oleh pemerintah pusat berakibat pada direduksinya makna desentralisasi, sekaligus menyebabkan disorientasi kawasan.
Penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan, penetapan desa binaan, desa berwawasan lingkungan, atau bahkan kampung adat sangat mungkin tergeser, bahkan menjadi sia-sia dengan pemaknaan tunggal program strategis nasional. Hal ini jelas berimplikasi jauh pada rusaknya tatanan sosial kemasyarakatan, bahkan menggeser makna keadilan sosial yang hendak kita konsolidasikan.
Prinsip berkelanjutan
Salah satu prinsip yang dapat dilakukan dalam pelaksanaan green economy adalah prinsip hasil yang berkelanjutan. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 memberikan jaminan pelaksanaan prinsip hasil yang berkelanjutan secara lebih baik.
Ini mengingat instrumen pelaksanaan dan turunan aturan undang-undang tersebut disusun dengan lebih transparan dan melibatkan pemangku kepentingan. Hal ini jelas jauh berbeda dengan Undang-Undang Cipta Kerja yang bermaksud meringkas kompleksitas aturan.
Green economy adalah semangat juga jawaban atas kerisauan yang selama ini melanda dunia. Eksploitasi alam berlebih telah mengakibatkan kerusakan pada lingkungan dan tidak mungkin dikembalikan.
Green economy harus menjadi cara pandang dan dasar dalam prinsip kehidupan ke depan, tidak terkecuali undang-undang, peraturan lain, dan juga program kegiatan pemerintah.
Dalam Undang-Undang Cipta Kerja, perubahan cara pandang, paradigma, dan makna berkelanjutan terjadi sangat besar. Oleh karena itu, kita perlu meluruskan kembali makna dan cara pandang terhadap hal ini. Terutama meluruskan pemahaman mengenai green economy yang menjadi dasar pembangunan.
Marenda Ishak S, Dosen Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran