Tantangan Perbankan 2021
Salah satu faktor kunci keberhasilan pemulihan ekonomi Indonesia sangat bergantung pada pemberantasan Covid-19 dengan vaksinasi dan protokol kesehatan.
Pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia sejak Maret 2020 membuat perbankan terpuruk. Akibatnya, pertumbuhan kredit begitu gersang. Bagaimana tantangan perbankan pada 2021?
Bagaimana pertumbuhan kredit pada 2020? Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memprediksi kredit tumbuh 10-12 persen dan dana pihak ketiga (DPK) 7-9 persen. Bank Indonesia (BI) memprediksi pertumbuhan kredit 10-12 persen dan DPK 8-10 persen. Apakah prediksi itu tercapai? Tidak! Lantaran Covid-19 telah menghancurkan hampir semua sektor ekonomi sehingga nasabah bank kocar-kacir.
Baca juga: Pertumbuhan Kredit Bank Merosot Jadi Sinyal Kondisi Perekonomian
Akhirnya, OJK mewajibkan tidak hanya bank, tetapi juga perusahaan pembiayaan untuk merestrukturisasi kredit. Konsekuensinya, pendapatan bunga (interest income) bank turun drastis, sebaliknya biaya operasional dan protokol kesehatan naik. Mengingat kapasitas produksi goyang, permintaan kredit pun turun signifikan.
Mengingat kapasitas produksi goyang, permintaan kredit pun turun signifikan.
Stimulus moneter berupa penurunan suku bunga acuan BI 7 Day Reverse Repo Rate dari 6 persen menjadi 3,75 persen belum mampu menggairahkan sektor riil. Kredit yang sudah disetujui (undisbursed loan) justru naik 2,87 persen dari Rp 1.609,63 triliun per September 2019 menjadi Rp 1.655,81 triliun per September 2020 atau 31,30 persen dari total kredit. Inilah akibatnya.
Menurut Statistik Perbankan Indonesia, kredit tumbuh kering kerontang dari Rp 5.306,14 triliun per September 2019 menjadi Rp 5.290,09 triliun per September 2020 atau turun 0,30 persen, menipis dari 0,66 persen per Agustus 2020. DPK tumbuh lebih subur dari Rp 5.624,58 triliun menjadi Rp 6.338,77 triliun atau naik 12,70 persen dari 11,61 persen pada bulan sebelumnya.
Baca juga: Perbankan di Tengah Pandemi dan Kebijakan Lanjutan
Laba sebelum pajak anjlok 24,28 persen dari Rp 193,68 triliun menjadi Rp 146,65 triliun. Bagaimana laba sebelum pajak? Lima kelompok bank mengalami penurunan laba sebelum pajak: bank pembangunan daerah (BPD) 6,43 persen, bank asing 14,08 persen dan bank umum swasta nasional (BUSN) devisa 15,62 persen, bank persero 37,60 persen, dan BUSN nondevisa 39,88 persen. Hanya bank campuran yang sanggup menaikkan laba sebelum pajak 7,29 persen. Itulah sekilas kinerja bank umum hingga September 2020.
Faktor kunci keberhasilan
Apa tantangan bank dan faktor kunci keberhasilan untuk menjawab tantangan itu? Pertama, pertumbuhan ekonomi akan sangat bergantung pada pemberantasan Covid-19 dengan vaksinasi dan protokol kesehatan. Namun, vaksinasi diprediksi baru akan berjalan paling cepat Januari 2021.
Kedua, pemulihan ekonomi amat bergantung pada kesuksesan vaksinasi. Bagaimana prediksi pertumbuhan ekonomi dunia pada 2021? Data BI memprediksi pertumbuhan ekonomi dunia 5 persen pada 2021. Rinciannya, negara maju 4 persen, AS 4,3 persen, kawasan euro 5 persen, dan Jepang 2,5 persen. Negara berkembang 5,6 persen, China 7,8 persen, India 8,2 persen, dan Amerika Latin 3,1 persen.
Baca juga: Tantangan Sektor Keuangan Jokowi-Ma’ruf
Bagaimana pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2021? Dalam APBN 2021 yang sebesar Rp 2.750 triliun atau tumbuh 0,4 persen dibandingkan dengan APBN 2020, pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 4,5-5,5 persen. Namun, BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi 4,8-5,8 persen.
Ketiga, dalam perbankan, pertumbuhan DPK yang naik 12,70 persen itu merupakan kabar gembira. Hal itu sebagai salah satu indikator likuiditas perbankan menunjukkan peningkatan.
Angka pertumbuhan itu juga menyiratkan orang lebih memilih menabung daripada mengonsumsi untuk kebutuhan rumah tangga.
Angka pertumbuhan itu juga menyiratkan orang lebih memilih menabung daripada mengonsumsi untuk kebutuhan rumah tangga. Padahal, pengeluaran konsumsi rumah tangga menjadi tulang punggung dalam pembentukan PDB, sekitar 57 persen. Kontribusi itu disusul masing-masing oleh investasi 30 persen dan ekspor 17 persen.
Terkait dengan itu, pemerintah wajib segera menggelontorkan belanja pemerintah (goverment spending). Upaya itu sangat diharapkan dapat mendorong gerak roda sektor riil yang mulai berjalan pelan. Untuk itu, Presiden Joko Widodo menekankan agar lelang proyek mulai Desember 2020.
Baca juga: Realisasi Belanja Negara Diproyeksikan 96,4 Persen Tahun Ini
Apalagi, daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) dan daftar alokasi transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) 2021 sebagai dasar lelang telah dibagikan ke semua kementerian, lembaga negara, dan pemerintah daerah (Kompas, 2/12/2020). Buahnya, penyerapan anggaran berjalan lebih cepat.
Telah terbit harapan kebangkitan ekonomi yang tersirat pada kenaikan inflasi bulanan 0,28 persen per November 2020 lebih tinggi daripada 0,07 persen per Oktober 2020. Sebelumnya, terjadi deflasi 0,1 persen per Juli dan 0,05 persen masing-masing per Agustus dan September 2020 (BPS). Diharapkan inflasi akan terangkat naik lagi menjelang dan pada Natal dan Tahun Baru.
Pemerintah wajib terus mengucurkan stimulus fiskal berupa pemangkasan pajak bagi dunia usaha dan penghapusan pajak, seperti Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) untuk alat-alat elektronik dan otomotif. Demikian pula bantuan sosial yang akan meningkatkan daya beli masyarakat sehingga mendorong kenaikan konsumsi rumah tangga. Konsumsi tinggi akan menyokong kenaikan produk dan jasa dunia usaha.
Baca juga: Ironi Stimulus Pandemi Covid-19
Bagaimana dari sisi moneter? Selain terus mengendalikan stabilitas nilai tukar rupiah dan inflasi, BI juga perlu menyuntikkan likuiditas ke perbankan dan pasar keuangan.
Keempat, pertumbuhan kredit juga bergantung pada pemulihan ekonomi. Kini OJK memprediksi pertumbuhan kredit pada 2021 akan berkisar 5-6 persen sejalan dengan proyeksi PDB 5 persen. Menurut BI, pertumbuhan kredit bakal lebih subur 7-9 persen.
Konsumsi tinggi akan menyokong kenaikan produk dan jasa dunia usaha.
Padahal, kini realisasi pengucuran dana pemulihan ekonomi nasional (PEN) baru Rp 361,50 triliun (51,9 persen) per 26 Oktober 2020. Karena itu, sisa dana PEN Rp 333,7 triliun (48,1 persen) dari total Rp 695,2 triliun (100 persen) amat diharapkan dapat menggairahkan sektor riil.
Untuk itu, insentif pada UMKM perlu digeber melalui bank papan atas, terutama bank pemerintah. Saat ini realisasi baru Rp 99,51 triliun (80,6 persen) dari pos dukungan UMKM dalam PEN dengan pagu Rp 123,46 triliun. Pada 2021, pemerintah akan mengalokasikan dana untuk UMKM Rp 48,8 triliun atau 13,11 persen dari anggaran PEN Rp 372,3 triliun dan insentif usaha Rp 20,4 triliun (5,48 persen).
Baca juga: Janji UMKM Menjadi Tangguh
Alokasi untuk UMKM perlu ditingkatkan karena segmen itu mampu menyerap lebih dari 100 juta tenaga kerja. Hal itu sekaligus dapat menekan tingkat pengangguran terbuka 7,07 persen per Agustus 2020 naik dari 5,23 persen per Agustus 2019.
Kelima, terpilihnya Joe Biden-Kamala Harris dalam pemilu AS diharapkan dapat mengerek transaksi perdagangan di antara kedua negara. Perbaikan perdagangan AS dengan China merupakan mata rantai bisnis yang akan menguntungkan ekonomi Indonesia. Paling tidak, transaksi ekspor Indonesia, baik ke AS maupun China, akan mengalami kenaikan pada level yang lebih tinggi.
Data BPS mencatat, AS merupakan negara tujuan ekspor nasional keempat setelah China, Jepang, dan Singapura, di atas India. Nilai perdagangan dengan China 72,8 miliar dollar AS, Jepang 31,6 miliar dollar AS, Singapura 30,4 miliar dollar AS, Amerika Serikat 27 miliar dollar AS, dan India 16,1 miliar dollar AS per semester I-2020.
Selama lima tahun terakhir, Indonesia mengalami surplus perdagangan dengan AS sebesar 8,6 miliar dollar AS, 8,8 miliar dollar AS, 9,7 miliar dollar AS, 8,3 miliar dollar AS, 8,5 miliar dollar AS, dan 4,76 miliar dollar AS per akhir 2015, 2016, 2017, 2018, 2019, dan 2020 (semester I).
Baca juga: Neraca Pembayaran Surplus Besar, tetapi Gambarkan Kerentanan
Keenam, pertumbuhan transaksi ekspor nasional itu akan merembes pada kenaikan transaksi internasional perbankan. Transaksi itu meliputi ekspor, impor, bank garansi, dan transaksi derivatif lainnya (trade finance).
Transaksi trade finance dan treasury, seperti placement, foreign exchange, dan money market, di pasar antarbank, baik nasional maupun internasional, merupakan pendapatan dari komisi (fee-based income). Kedua transaksi itu mampu memberikan kontribusi tinggi.
Ketujuh, bank harus menggenjot kualitas kredit mengingat kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) yang melonjak dari 2,53 persen Desember 2019 menjadi 3,11 persen, 3,31 persen, 3,35 persen, 3,40 persen per Juni, Juli, Agustus, dan September 2020.
Jika belum sanggup, bank dapat menggandeng tekfin untuk melayani UMKM.
Neo bank
Kedelapan, bank wajib menyediakan aneka layanan perbankan berbasis teknologi untuk bersaing dengan perusahaan teknologi finansial (tekfin) yang marak dalam empat tahun terakhir ini, terutama model pinjam-meminjam (peer to peer lending). Jika belum sanggup, bank dapat menggandeng tekfin untuk melayani UMKM.
Upaya itu bertujuan untuk mampu menangkap pasar yang lebih luas mengingat penduduk Indonesia tersebar di ribuan pulau. Dengan memiliki satelit sendiri, Bank BRI menjadi bank terdepan untuk menjangkau potensi pasar yang amat luas.
Baca juga: Pandemi dan Momentum Digitalisasi UMKM
Inilah kesempatan emas bagi Bank BRI untuk menyewakan jaringan satelit itu kepada bank lain. Alhasil, Bank BRI akan panen pendapatan nonkredit sebagai pendukung pendapatan bunga kredit yang menurun.
Kesembilan, kelak akan lahir neo bank di Indonesia, seperti di AS, Kanada, Inggris, Jerman, Perancis, Rusia, Belanda, Swiss, Jepang, Australia, Brasil, dan Argentina. Neo bank merupakan bank yang menyediakan layanan perbankan secara daring tanpa jaringan fisik. Menjadi tantangan bagi OJK untuk menyiapkan aturan untuk melindungi kepentingan nasabah. Golongan milenial akan menjadi target pasar yang menjanjikan.
Kesepuluh, menurut Bill Gates, banking’s are necessary, banks are not. Apakah itu berarti bank akan musnah? Nanti dulu. Bank tak hanya melayani pembayaran dan kredit seperti tekfin.
Fungsi bank tidak hanya sebagai intermediasi keuangan, yakni menghimpun dana masyarakat dan mengucurkan kredit, tetapi juga melayani transaksi treasury, trade finance dan banyak lagi. Bahkan, bank pun mampu menjadi mitra bisnis dan memberikan pertimbangan keuangan kepada nasabahnya dalam pelbagai sektor.
Paul Sutaryono, Staf Ahli Pusat Studi BUMN; Pengamat Perbankan; Mantan Assistant Vice President BNI.