Ternama
Seandainya saya ternama, saya bisa merayu mereka bukan hanya untuk berbelanja, tetapi membuat banyak orang naik kelas.
Saya dan Becky Tumewu mempunyai dua acara bincang-bincang setiap hari Minggu dan Selasa malam. Saya mau menceritakan bagaimana pengalaman saya melihat reaksi peserta yang hadir saat melihat kami berdua. Yang satu sosok ternama, yang satu lagi sosok terlama. Terlama tak ternama.
Tersinggung
Kedua acara tetap itu sudah berlangsung lebih dari setengah tahun. Pada hari Minggu, acara bincang-bincangnya mengenai semua hal. Pokoknya ngalor ngidul. Nama acaranya saja Obrolan Sebelum Tidur disingkat O.S.T. Jadi, yang dibicarakan dari topik yang karu-karuan sampai yang bikin kuping merah. Acara ini selalu diberikan peringatan hanya untuk 17 tahun ke atas.
Kalau acara bincang-bincang pada hari Selasa, lebih untuk memotivasi agar mereka yang mendengarkan lebih berbahagia, lebih percaya diri, lebih sejahtera batin, lebih berwawasan, lebih terbuka kepada perbedaan, enggak mudah iri hati dan kecewa seperti saya.
Sebagai seorang yang senang memberikan motivasi, saya percaya sekali kalau motivator terbaik itu adalah dia yang sampai saat memotivasi orang lain, dirinya sendiri masih menyimpan rasa iri hati dan kecewa. Kadang saat saya memotivasi, saya sejujurnya sedang berbicara dengan diri saya sendiri. Teman saya ada yang pernah mengatakan, saya ini macam pengkhotbah yang mampu berkhotbah dan menguatkan para pengikutnya, tetapi belum tentu kuat mengkhotbahi dirinya sendiri.
Bersama sosok Becky Tumewu, saya terlihat seperti tak ada artinya. Baik dalam jumlah pengikut akun saya di media sosial sampai pada keterkenalan nama dan sosok. Buat saya, mau memiliki pengikut 8.000 saja susahnya setengah mati. Saya sudah mencoba berbagai cara, tetapi tak memperlihatkan hasil yang signifikan.
Sementara Becky memiliki hampir 200.000 pengikut. Makanya perhatian para peserta sejujurnya lebih terpesona dengan sosok ternama itu. Itu terlihat dari bagaimana mereka menanyakan kabar Becky ketimbang menanyakan kabar saya. Tentu ada beberapa di antaranya berlaku cukup adil. Tetapi entah itu sebagai sebuah kesantunan, atau benar-benar mengerti bahwa kalau ada dua sosok, ya yang disapa dua-duanya.
Saya tersinggung kalau mereka hanya menanyakan kabar Becky. Itu seperti membayangkan kalau saya bertemu secara fisik dengan mereka, mereka hanya menyapa Becky dan membiarkan saya seperti tak eksis, padahal tengah berdiri di samping Becky.
Tidak tersinggung
Belum lagi kalau mereka mulai berkomentar soal kulit halus Becky, menanyakan apa rahasianya. Pokoknya segala yang keluar dari mulut Becky akan menjadi pemikat mereka untuk bereaksi.
Itu mengapa beberapa klien majalah saya lebih terpikat pada akun media sosial Becky daripada media sosial dan majalah saya.
Selain bersama sosok ternama itu, saya memiliki acara bincang-bincang yang lain pada setiap Sabtu dengan host yang berbeda.
Minggu lalu, saat saya sedang melaksanakan bincang-bincang itu, Becky turut mendengarkannya. Begitu melihat nama Becky, beberapa peserta berkomentar, ”Wuih... ada Becky” atau mereka menyapa, ”Hai, Kak Beck.”
Tentu hal-hal demikian membuat saya pedih. Tetapi, karena sekarang saya ini sudah mampu memilih, saya tak lagi melihat itu sebagai sebuah pelecehan eksistensi manusia, atau sebagai hal yang menyinggung. Saya telah memilih untuk berpikir jernih dan kemudian saya melihat bahwa menjadi ternama itu ada untungnya.
Bukan hanya untuk menambah jumlah pengikut akun media sosial atau menjadi terkenal banget, tetapi juga meyakinkan tentang banyak hal. Itu mengapa menggunakan komentar yang keluar dari mulut sosok ternama sekarang menjadi sebuah jalan paling jitu untuk memasarkan sebuah produk dan meningkatkan penjualan.
Hal sepele seperti yang terjadi minggu lalu, saat Becky menyalakan lilin wanginya yang baru saja ia beli. Begitu selesai menjelaskan, pertanyaan berdatangan menanyakan di mana membelinya, mereknya apa, nama jenis wewangiannya apa.
Saya tak tahu apakah peserta hanya secara emosi menanyakan, apakah setelah itu mereka akan mengeksekusi apa yang ditanyakan, itu bukan masalah saya. Tetapi, saya melihat bahwa keuntungan dari menjadi ternama adalah lebih dipercaya, lebih didengar.
Maka, setelah selesai bincang-bincang malam itu, saya berpikir seandainya selain produk yang dijual oleh sosok-sosok ternama itu, tetapi juga sebuah pengalaman hidup yang membuat banyak orang naik kelas, sehingga orang tak jadi berbuat hal yang menghancurkan hidupnya dan membuat dunia ini sedikit lebih baik, saya tak membayangkan akan seperti apa hasilnya.
Apalagi kalau sosok-sosok ternama itu sudah memiliki pengikut yang setia dalam jumlah yang besar. Dan kesetiaan para pengikut membuat mereka akan mengikuti nasihat si pribadi kondang ini selain membeli produk yang disuarakan sosok itu.
Malam itu saya bercita-cita akan berusaha untuk jadi ternama. Seandainya saya ternama, saya bisa merayu mereka bukan hanya untuk berbelanja, tetapi membuat banyak orang naik kelas. Tetapi itu hanya sebuah cita-cita. Karena malam sudah semakin larut, dan mata saya sudah tinggal satu watt. Jadi cita-cita yang diimpikan itu bisa saja hanya sebuah halusinasi.