Pintu Tragedi Dibuka Kembali
Meskipun sudah tahu berdampak buruk, otoritas politik di negeri ini tak kunjung meninjau sistem pilkada yang lekat dengan transaksi dan politik uang. Tragedi politik terus terjadi dan memukul mundur peradaban politik.
Pilkada selalu lekat dengan tragedi politik dan kemanusiaan. Tak sedikit orang berkontestasi untuk jadi kepala daerah, dengan taruhan miliaran rupiah. Namun, setelah menang dan berkuasa, nasibnya berakhir di penjara karena korupsi.
Di sisi lain, bagi rakyat, pilkada tak lebih dari momentum beli lotre. Bisa untung jika mendapatkan kepala daerah yang baik dan kapabel. Namun, juga bisa buntung jika kepala daerah yang terpilih ternyata sekadar kejar setoran dan cari untung.
Tragedi ini bermula dari sistem politik pilkada yang transaksional dan membuka peluang lebar kiprah politik uang. Rakyat tidak pernah bisa memilih calon kepala daerah, karena sudah dipilihkan oleh parpol yang ”menyewakan” dirinya sebagi kendaraan politik bagi mereka yang berduit.
Tumpukan uang yang mengganjal di mata membuat parpol tidak bisa (tak mau, tak berselera) mengajukan bakal calon kepala daerah yang potensial dan berintegritas serta menjadi representasi aspirasi rakyat. Calon kepala daerah yang berkontestasi pada akhirnya sekadar menjadi representasi elite parpol, bukan masyarakat.
Ketika kekeliruan memilih tokoh terjadi, pihak yang paling merasakan dampak pahitnya adalah rakyat karena hak-hak rakyat tak terpenuhi secara optimal. Celakanya, dosa politik yang berulang menimpa ini tak membuat parpol malu dan melakukan koreksi diri. Transaksi terus terjadi, dengan berbagi tragedi politik yang selalu menyertai.
Hamartia
Manusia dan tragedi adalah pasangan abadi. Manusia beraktualisasi diri, melakukan mobilitas sosial dan vertikal demi mencapai eksistensi tinggi. Terhormat. bermartabat. Syukur kaya raya.
Akan tetapi, jika tidak cermat, cerdas dan waskita (peka pikir dan batin) manusia bisa blunder. Salah langkah memberinya hukuman yang berujung penderitaan.
Di dalam konsep tragedi ala Yunani, salah langkah disebut hamartia. Hamartia dipahami sebagai kesalahan tokoh protagonis atau cacat tragis yang merupakan pembalikan dari kebahagiaan menjadi bencana. Contohnya adalah tragedi yang dialami tokoh Oidipus dalam lakon karya Sophocles, Oidipus Rex. Tanpa disadari, Odipus mengawini ibunya sendiri. Kutukan pun terjadi.
Di dalam hamartia apa yang memenuhi syarat sebagai kesalahan atau kekurangan mencakup ketidaktahuan, kesalahan penilaian, cacat karakter, atau perbuatan salah (Wikipedia).
Narasi profetik
Kekuasaan bersifat paradoksal. Memesona sekaligus berbahaya. Memesona karena kekuasaan menjanjikan pencapaian material dan imaterial (otoritas, kekayaan, popularitas, kehormatan) serta impian-impian duniawi yang menggoda.
Akan tetpi, kekuasaan juga berbahaya karena mengandung banyak jebakan layaknya hamparan permadani penuh ranjau. Salah langkah, kaki bisa hilang atau bahkan tubuh bisa hancur terburai.
Kekuasan juga ganas, buas, dan kejam. Ia sering diibaratkan harimau. Jika tidak mampu mengendalikan atau menjinakkan, harimau pun menerkam sang penunggang.
Dalam konteks spiritual, kekuasaan itu sering dianggap sakral dan berpotensi maladi atau memberikan kutukan jika pemegang kekuasaan tidak amanah. Kekuasaan merupakan manifestasi amanat penderitaan rakyat sekaligus titipan dari Tuhan.
Secara horizontal dan vertikal, kekuasaan merupakan kristalisasi narasi-narasi profetik, di mana manusia yang terpilih diberi kuasa untuk memimpin perubahan dan membawa rakyat ke tingkat eksistensi tinggi. Para pemimpin dituntut mampu membebaskan rakyat dari penderitaan, kemiskinan, dan keterbelakangan sekaligus meninggikan martabatnya. Untuk itu, pemimpin bekerja, melayani mereka yang papa dan tak berdaya, setidaknya sampai pada taraf kehidupan yang layak dan aman.
Ukuran layak adalah terpenuhinya kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan dan pengembangan potensi kemanusiaan). Berbasis kesadaran etis dan estetis, rakyat pun didorong untuk maju dalam kebudayaan. Kapasitas daya pikir, daya cipta, dan keterampilan ditingkatkan.
Pemimpin yang amanah (berkomitmen, berdidekasi, berintegritas, berkapabilitas, dan visioner) adalah pemimpin sejati. Ia bukan penguasa yang meletakkan rakyat sebagai obyek eksploitasi. Pemimpin sejati memiliki kekayaan gagasan dan kreativitas. Ia mampu menjadi orientasi nilai bagi rakyat. Ia juga mampu mendidik rakyatnya untuk memiliki karakter (berintegritas, jujur, kreatif, percaya diri, dan mandiri).
Pemimpin sejati tidak akan diterkam harimau. Ia mampu menjinakkan sang harimau dengan menekan egoisme dan pamrih-pamrih dirinya serta mampu menjalankan kekuasaan secara adil dan transparan dengan pencapaian yang terukur. Kalau, toh, ia mendapatkan reward, hal itu berdasarkan hitungan rasional atas kerja dan prestasinya. Semua hasil kerjanya bisa dipertanggungjawabkan secara administratif, sosial, dan yuridis. Pemimpin sejati tidak akan tersentuh KPK.
Tak imun dari korupsi
Apakah pilkada yang kental dengan politik transaksional dan politik uang bisa melahirkan pemimpin sejati? Itu pertanyaan besar yang sulit dijawab. Kalau, toh, ada pemimpin sejati muncul dari sana, hal itu merupakan keajaiban. Semacam sosok berkualitas baik yang tersesat dalam rimba gelap.
Pengalaman pilkada, di mana banyak orang menang dan terpilih menjadi kepala daerah, terbukti tidak imun dari korupsi. Hal itu menjadikan kita sulit untuk optimistis: pemimpin-pemimpin sejati akan muncul. Persoalannya sangat jelas: isu besar pilkada adalah etung-etungan duwit. Rahimnya adalah uang. Maka, bayi yang lahir adalah bayi yang bermental pemburu uang.
Pemberhalaan uang merupakan pilihan paling buruk dalam kebudayaan. Di sini ideologi mati atau tidak dipakai karena ngribeti (bikin repot). Dinamika yang terjadi sangat pragmatis: apa yang bisa menghasilkan uang, itu yang ditempuh meskipun keliru.
Selain itu, dalam kekuasaan yang beorientasi kejar setoran, juga tidak ada wajah rakyat dengan perasaan dan degup jantungnya, kecuali sebagai data yang bisa diolah dan dikapitalisasi untuk mengejar keuntungan. Ini semua adalah tragedi yang berujung pada penderitaan, baik bagi rakyat maupun bagi pelaku kekusaan. Untuk apa orang-orang melepas uang puluhan atau ratusan miliar demi masuk penjara dan menciptakan penderitaan masyarakat yang dipimpinnya?
Saat pilkada digelar, pintu-pintu tragedi pun kembali dibuka. Dengan tiket yang sangat mahal, para pemenang pun masuk gerbong-gerbong kekuasaan. Gerbong-gerbong itu ditarik lokomotif kepentingan untuk meraup uang sebanyak-banyaknya.
Trayeknya tidak jelas. Maju-mundur, maju-mundur. Tidak beranjak dari stasiun penderitaan rakyat. Yang penting rakyat sudah merasa naik kereta, padahal tidak pernah ke mana-mana. Rakyat tetap berada pada posisi papa, jauh dari kesejahteraan. Sementara elite politik dan elite ekonomi berpesta pora. Tragis.
Sudah tahu bedampak buruk, tetapi para otoritas politik di negeri ini (pemerintah dan wakil rakyat) tak kunjung meninjau sistem pilkada yang lekat dengan transaksi dan politik uang. Tragedi politik pun terus terjadi dan memukul mundur peradaban politik bangsa ini.
(Indra Tranggono, Praktisi Budaya dan Sastrawan)