Beberapa waktu lalu, saya menonton televisi Perancis. Saya dihadapkan dengan pemandangan tidak enak yang selama ini tak terpikirkan lagi: kuburan serdadu Armenia, anak belia yang mati membela sejengkal demi sejengkal tanah leluhurnya. Lalu, entah kenapa pikiran saya melayang ke monumen-monumen yang dibangun di seluruh Eropa untuk para serdadu yang telah berjuta-juta gugur di medan perang demi kejayaan tanah-airnya... Tanah-Air.
Begitu istilah ini berdengung di benak, saya berpikir lagi: Mereka bukan pembela Tanah-Air, melainkan pembela tanah saja, fatherland dalam bahasa Inggris, vaterland dalam bahasa Jerman… Wah, seketika tebersit di situ keistimewaan Indonesia. Tanah dan air! Nusantara, dengan ”nusa”, tentu saja. Tetapi, tak kalah penting, dengan ”antara” juga, airnya!
Kenapa penting? Karena di sini terlihat peran determinasi geografis. Dengan sendirinya orang Eurasia, dari China di ujung satu ke Spanyol di ujung lainnya, memikirkan, menanggapi orang asing, orang liyan, dengan cara yang bertolak belakang dengan orang Nusantara.
Di Eurasia, orang asing, pada hakikatnya adalah orang yang tinggal di seberang garis tertentu, yang sering merupakan sungai, gunung, dan sebagainya. Setiap kali orang dari seberang itu menyeberang, dia menginjak ”tanah kami”. Maka merupakan ancaman. Dari situ perang sering meletus. Hal-hal seperti itu menghantui Eurasia.
Selama berabad-abad, ada saja gerombolan suku penggembala atau tentara asing yang tiba-tiba muncul entah dari mana untuk merampas, membunuh, dan memerkosa. Maka, wajar saja apabila ”orang asing” pada galibnya adalah musuh.
Namun, berbeda dengan Nusantara. Di samping ”tanah”, terdapat ”air”. Air memisahkan dan dengan sendirinya mendamaikan. Mengapa? Yang mencirikan Nusantara itu, bukanlah orang luar yang merampas, melainkan orang luar yang ”membawa”. Membawa obat, membawa barang, membawa teknik, dan bahkan membawa agama.
Dilihat dari sudut historis jangka panjang di Indonesia, meskipun telah terjadi penjajahan, orang luar/asing cenderung ditanggapi secara positif, sebagai penyumbang. Itulah salah satu keistimewaan bangsa ini. Mari, kita memberikan beberapa contoh di Bali dan Jawa.
Contoh yang paling luar biasa dari keterbukaan Indonesia ini memang didapatkan di Bali. Coba bayangkan: orang luar yang telah bertempat tinggal dan beranak pinak di sini dengan otomatis dihormati sebagai leluhur.
Hal ini telah terjadi dengan orang Islam gelombang pertama, kira-kira tujuh ratus tahun yang lalu, ketika agama Islam belum melembaga, yaitu ketika hanya terdapat beberapa pemukim Muslim di Bali, yang biasanya menjadi pedagang di wilayah pantai utara. Setelah meninggal, mereka diupacarai ala Bali, dijuluki Ratu Mekkah, dan dirayakan layaknya leluhur dengan sajen yang tidak mengandung babi, sebagai penghormatan.
Di samping orang Islam, terdapat juga orang China, yang sering dijuluki ”Ratu Subandar”. Bahkan juga terdapat beberapa orang bule. Misalnya almarhum Made Wijaya pun, desainer lanskap terkemuka berbangsa Australia tahun 1980-2016, telah dibuat kuil penghormatan di Geria Kepaon, Denpasar Selatan. Hal-hal ini memperlihatkan betapa mudah orang luar terasimilasi ke dalam sistem kepercayaan Bali.
Namun, jangan dikira bahwa fenomena ini hanya berlaku di Bali. Yang dianggap membawa aksara ke Jawa adalah Aji Saka, tokoh mistis dari India. Lebih-lebih siapa tokoh-tokoh yang paling dihormati oleh orang Jawa. Apakah orang Jawa sendiri? Tidak. Melainkan orang seberang lautan yang telah membawa dan menyebarkan ajaran Islam. Tokoh-tokoh yang bisa berasal dari China, dari Hadramaut, dari Champa atau dari Gujarat. Mereka semua asing ataupun keturunan asing. Justru sebagai orang asing itu mereka diserap di dalam keindonesiaan melalui perantara agama.
Oleh karenanya, pikirkanlah teman-teman: bukanlah kesuburan alam yang merupakan anugerah ilahi bagi Indonesia, melainkan laut. Jagalah jarak yang diberikan laut sebagai hikmah.
Waspadailah, baik mereka yang dijadikan leluhur maupun mereka yang dihormati sebagai wali telah sama-sama melampaui permusuhan-permusuhan dari tanah asalnya, di Eurasia sana atau tanah Tiongkok, Portugis atau Hadramaut. Mereka betul-betul telah menjadi Bali atau Jawa, pendeknya Indonesia. Sebagai nasihat pelengkap, jauhkan diri juga dari mereka yang membawa pertikaian entah dari fatherland, dari tempat yang ingin great again, atau dari gurun nun jauh di sana.