Regresi Demokrasi dan Korupsi
Ketika kebebasan sipil diabaikan, termasuk pengabaian terhadap partisipasi publik, sudah dipastikan tingkat korupsi akan semakin tinggi.
Tren global kemunduran demokrasi di berbagai belahan dunia patut dicermati sebagai tantangan sekaligus ancaman. Dinamika semacam itu tidak hanya dialami oleh Indonesia, tetapi negara-negara yang demokrasinya sudah sangat mapan mengalami hal serupa.
Sebut saja Amerika Serikat. The Economist (2019) menyebutkan bahwa kemunduran demokrasi di AS disebabkan oleh ketidakpuasan terhadap cara bekerja lembaga-lembaga demokrasi yang dinilai melahirkan polarisasi yang begitu kuat dan merusak lembaga-lembaga negara.
Dalam laporan ini juga disebutkan bahwa tidak hanya di bidang ekonomi dan politik, Presiden Donald Trump bahkan mempertanyakan kompetensi lembaga peradilan Amerika karena dinilai banyak menentang (melalui putusannya) terhadap berbagai kebijakan Trump, khususnya dalam hal imigrasi.
Situasi ini dinilai merusak sistem checks and balances yang diagung-agungkan sebagai fondasi dalam sistem presidensial yang dianut sekaligus merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah. Dalam konteks Indonesia, The Economist menyebutkan bahwa Indonesia juga mengalami kemunduran demokrasi.
Dalam konteks Indonesia, The Economist menyebutkan bahwa Indonesia juga mengalami kemunduran demokrasi.
Sekalipun dikategorikan sebagai negara demokrasi, Indonesia menyimpan problem soal budaya politik yang buruk, rendahnya partisipasi politik, hingga masalah dalam fungsi-fungsi pemerintahan (flawed democracy). Akibatnya, Indonesia tertatih-tatih dalam menggeret indeks korupsi (Indeks Persepsi Korupsi/IPK) menuju level yang lebih baik. Sejak 2015 (indeks korupsi 36) hingga 2019 (40), IPK Indonesia hanya bertambah empat poin dalam rentang skala yang besar (0-100).
Korupsi, konteks Indonesia
Terlalu naif untuk mengatakan bahwa sulit untuk menghubungkan problem demokrasi dengan tingkat korupsi, apalagi memperbandingkannya dengan negara lain tanpa basis argumentasi yang memadai.
Kekeliruan itu setidaknya tampak dari pendefinisian negara demokrasi tanpa mengelaborasi kondisi faktual. Di atas kertas, Indonesia memang negara demokrasi, tetapi ada problem-problem di dalam pelaksanaannya yang pada akhirnya menyuburkan praktik korupsi. Selain itu, perlu dipahami juga bahwa problem demokrasi dan korupsi di setiap negara sudah pasti berbeda.
Jika menelusuri laporan IPK selama dua dekade ini, muncul satu kecenderungan bahwa salah satu problem yang dihadapi Indonesia adalah problem di ranah politik. Dalam IPK 2019, misalnya, selalu ditekankan pentingnya integritas politik.
Bahwa sekalipun ada perbaikan dalam ranah administrasi bisnis atau kemudahan berusaha, selalu dibayang-bayangi oleh problem relasi koruptif antara pejabat negara/politisi, pelayan publik, penegak hukum, dan pebisnis.
Instrumen administrasi pada satu sisi memang menjadi salah satu fondasi yang memperkuat pencegahan korupsi. Namun, pada sisi yang lain, aspek politik dan penegakan hukum juga berpotensi menggerus integritas administrasi tersebut.
Sebut saja sistem perizinan daring (online) dan terintegrasi, tetapi faktanya kasus korupsi perizinan masih terjadi. Beberapa waktu lalu (28/11), Wali Kota Cimahi ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan suap terkait perizinan rumah sakit.
Situasi ini kemudian terkonfirmasi oleh laporan terbaru Transparency International dalam Global Corruption Barometer (GCB) tahun 2020 yang meneguhkan adanya problem dalam administrasi publik yang menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat suap dalam layanan publik tertinggi ketiga di Asia setelah India dan Kamboja.
Namun, pada sisi yang lain, aspek politik dan penegakan hukum juga berpotensi menggerus integritas administrasi tersebut.
Di sektor politik, tingkat politik uang (vote buying) dalam pemilu juga sangat tinggi, sebesar 26 persen, hampir dua kali lipat dari rata-rata negara di Asia (14 persen). Penilaian ini memang sedikit lebih rendah dibandingkan dengan studi Muhtadi (2020) yang mengukur indeks politik uang Indonesia pada kisaran 33 persen.
Kombinasi praktik suap dan politik uang ini kemudian menghasilkan persepsi yang menempatkan lembaga politik (parlemen) sebagai lembaga paling korup di Indonesia.
Sejalan dengan itu, publik juga menilai bahwa kinerja pemerintah dalam memberantas korupsi mengalami stagnasi. Publik pada dasarnya tidak secara signifikan merasakan dampak dari program antikorupsi yang digagas pemerintah.
Sebaliknya, hampir setengah responden (49 persen) menilai bahwa korupsi meningkat dalam satu tahun terakhir ini. Hal ini sejalan pula dengan tren penurunan persepsi publik terhadap KPK dalam pemberantasan korupsi. Hasil ini tentu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari politik legislasi pembentuk undang-undang (Presiden dan DPR) yang dinilai melemahkan pemberantasan korupsi.
Kemunduran
Tingginya tingkat korupsi ini pada akhirnya mengurangi intensi publik untuk terlibat dalam memberantas korupsi. Dalam laporan GCB 2020 ini, masyarakat meyakini dapat ikut terlibat dalam melakukan perubahan, tetapi optimisme ini mengalami penurunan. Tidak hanya disebabkan oleh situasi pandemi, tetapi jua ada ketakutan dari masyarakat terhadap adanya pembalasan (fight-back) jika melaporkan kasus korupsi (60 persen).
Ketakutan ini juga disumbang oleh adanya keyakinan dalam masyarakat bahwa laporan yang disampaikan tidak akan ditindaklanjuti (66 persen).
Intensitas dan praktik kriminalisasi yang sejak dulu sering terjadi kemudian diperparah oleh lemahnya integritas dalam penegakan hukum. Hal ini setidaknya dapat dilihat dalam kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan yang dilakukan oleh (oknum) penegak hukum yang seolah memberikan pesan yang begitu kuat kepada publik.
Ketakutan ini juga disumbang oleh adanya keyakinan dalam masyarakat bahwa laporan yang disampaikan tidak akan ditindaklanjuti (66 persen).
Serangan terhadap aktivis demokrasi dan antikorupsi mungkin sudah dinilai sebagai hal yang lumrah. Namun, bagaimana ketika serangan ini juga menyasar penegak hukum yang bertugas memberantas korupsi? Maka, tak berlebihan jika ada penilaian bahwa ada problem demokrasi dalam rezim pemerintahan Joko Widodo setidaknya terjadi dalam aspek kebebasan sipil dan pemberantasan korupsi (Democracy in Indonesia, from Stagnation to Regression?, Power dan Warburton, 2020).
Ketika kebebasan sipil diabaikan, termasuk pengabaian terhadap partisipasi publik, sudah dipastikan tingkat korupsi akan semakin tinggi.
(Reza Syawawi Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia)