Petruk Si Pengusir Pagebluk
Mbah Petruk selalu menekankan tuturan bahwa semua yang terjadi dalam kehidupan bagian dari ilmu keseimbangan alam. Karena itu, setiap orang dianjurkan selalu tenang, jauh dari rasa panik, berjiwa adem, tentrem, bahagia.
Sejak tengah November 2020, Gunung Merapi kembali melontarkan lahar dan diprediksi bakal erupsi. Akan banyak yang menderita dengan kejadian alam ini. Apalagi penduduk yang tinggal di sekitar situ, yang sudah ramai-ramai mengungsi. Namun, di tengah kegelisahan dan kesusahan, ternyata tidak sedikit yang menangkap meletusnya Merapi sebagai pertanda baik.
”Marahnya Merapi itu isyarat bahwa wabah korona akan segera mati. Karena asap tebal wedhus gembel dari kawah yang njebluk adalah penjelmaan Mbah Petruk, manusia sakti yang sanggup memungkas dan mengusir pagebluk!” ujar seseorang yang telanjur percaya kepada mitos.
Sebagai warga yang pernah mampir hidup di bawah naungan Gunung Merapi, saya juga menikmati embusan angin mitos. Sementara sebagai manusia yang pernah remaja, saya justru lebih tertarik dengan figur Petruk itu. Siapakah dia? Dan mengapa ia mendadak menjelma jadi sang Mbah yang dipercaya mampu membekuk bencana?
Padahal, saya pertama kali mengenal Petruk sebagai figur yang jenaka dan konyol belaka lewat komik dagelan ”Petruk-Gareng” karya Indri Soedono. Pada tahun 1960-an komik terbitan CV Loka Cipta-Semarang ini begitu populer di kalangan remaja, sehingga jadi favorit di aneka taman bacaan di kampung dan sudut kota.
Dalam komik 4, 6, atau 8 panilnya Indri memasang Petruk sebagai pelakon utama, dan Gareng sebagai pendampingnya, di samping pelakon lain sebagai sumber cerita. Kisah per episodenya tak henti lucu. Dari soal gadis langsing idaman, celengen uang yang bolong, sabotase kala tidur, menonton film 3-D, akrobat mbanyol, sampai hilangnya kue ongol-ongol.
Memasuki akhir 1970-an keramaian komik ini menyepi. Tetapi, pada 1980-an kepopuleran Petruk (dan Gareng) melambung lagi lewat komik karya Tatang Suhenra. Dalam berjilid-jilid komiknya, Petruk dilakonkan dalam cerita panjang. Memasuki 1990-an Petruk menghilang lagi dan terus raib sampai jauh hari. Petruk baru muncul kembali ketika Gunung Merapi meletus, bersamaan dengan si wedhus gembel yang unjuk rupa untuk menakuti wabah korona.
Balik lagi, siapakah dan dari manakah gerangan si Petruk ini? Aha, Petruk ternyata adalah karakter rekaan Sunan Kalijaga (1450-1513), penyebar agama Islam yang berkesenian sejak usia sangat muda. Dalam reka cerita itu Petruk diposisikan sebagai anggota keluarga punakawan (Semar, Bagong, Gareng) yang bekerja sebagai ”pembantu” Pandawa. Sementara ditengarai bahwa Petruk, yang statusnya anak angkat Semar, berasal dari trah Witaradya, jalur keturunan yang melahirkan orang eksentrik dan pintar luar biasa.
Tujuan dari penciptaan figur punakawan itu diberangkatkan dari keinginan Kalijaga untuk mengapresiasikan budaya Islam di tengah masyarakat, yang kala itu sedang dalam kelindan budaya Hindu. Ia meyakini, lewat figur-figur yang serba lucu tersebut masyarakat Hindu dengan serta-merta memahami pesan-pesan budaya Islam.
Karena itu, dalam pelakonannya punakawan diselipkan di tengah berbagai episode wayang Mahabharata, adikarya pertunjukan yang berbasis Hindu. Dalam pewayangan Jawa, selipan kocak ini disebut sebagai goro-goro, atau gara-gara. Dan ulah Petruk jadi sentralnya.
Diriwayatkan bahwa di kala muda Petruk ini sangat suka berkelahi. Suatu hal yang menyebabkan tubuhnya sedikit melengkung dengan hidung yang terbetot panjang. Sementara rambutnya dikuncir ke belakang, yang menandai dirinya seorang jagoan.
Keganjilan tubuh, keunikan gestur, serta kekonyolan gaya ini oleh Kalijaga dikontraskan dengan realitas Petruk yang ternyata sakti, intelek, sangat terampil, dan pandai bicara. Juga selalu bersikap baik, rajin memberi nasihat, dan suka menolong orang lain tanpa pamrih. Rangkaian sikap yang selaras dengan nama Petruk, dari kata fatruk (bahasa Arab), yang artinya: selalu bersikap menjauhi atau menyingkirkan tindakan buruk.
Figur Petruk dengan cepat menjadi buah bibir di berbagai lapisan masyarakat. Petruk pun menjadi idola, bahkan kemudian dipuja dalam ingatan. Sampai akhirnya melayang-layang sebagai tokoh populer, dan dikenang terus dalam lingkaran mitos.
Lalu, mengapa ia mendadak jadi Mbah, dan apa hubungannya dengan wedhus gembel? Mitologi yang bernuansa sejarah fiktif di bawah ini menceritakan.
Syahdan bersamaan dengan kepopuleran Petruk, Raja Majapahit Prabu Brawijaya V (1413-1478) sedang frustrasi lantaran anaknya, Raden Patah, yang memimpin Kerajaan (Islam) Demak, dianggap akan mengusik Kerajaan (Hindu) Majapahit.
Seperti diceritakan dalam lelakon Naya Genggong Sabdo Palon, untuk menghapus rasa gundah, Brawijaya bersemadi di puncak Gunung Merapi. Ketika bersemadi itulah mendadak muncul seorang tua yang tinggi tubuhnya, panjang hidungnya, dengan kuncir di bagian belakang kepalanya. Brawijaya dengan spontan memanggil orang tua itu sebagai Mbah Petruk. Setelah terjadi dialog nan intens, sosok yang diyakini sebagai Mbah Petruk pun berkata, yang kemudian dianggap sebagai sabda.
”Aku akan menghadiahi keselamatan kepada para pemimpin yang memenuhi janjinya dan memberi kesejahteraan kepada penghuni seluruh negeri yang dipimpinnya. Di sini, di puncak Merapi, aku akan menjelma jadi asap wedhus gembel yang menggulung di langit, untuk menumpas semua azab yang menyebabkan kehidupan jadi pahit. Bahkan akan kumusnahkan semua penyakit, dari kolera, malaria, sampai korona!”
Sejak itu konon wedhus gembel Mbah Petruk akan muncul di puncak Merapi pada saat-saat yang kritis. Bahkan, syahdan, juga di banyak gunung lain, dari Gunung Semeru di Jawa Timur sampai Gunung Guntur di Jawa Barat.
Dalam penjelmaannya (yang kadang hanya berupa juraian rambut kuncirnya saja), Mbah Petruk selalu menekankan tuturan bahwa semua yang terjadi dalam kehidupan adalah bagian dari ilmu keseimbangan alam. Karena itu, setiap orang dianjurkan untuk selalu tenang, jauh dari rasa panik, berjiwa adem, tentrem, sehingga senantiasa bahagia. Lantaran: atas orang yang bahagia, dhemit ora wani ndolit, setan do wedi marani. Jin tidak berani mencolek, setan pun tidak berani mendatangi.
Selarik ungkapan yang mengingatkan kita kepada kata-kata sastrawan satire Romawi, Decimus Iunius Iuvenalis: orandum est, ut sit mens sana in corpore sano. Bermohonlah (kepada para dewa), agar diberi hati yang selalu bersuka-suka, jiwa yang sehat senantiasa, sehingga tubuh jadi wal’afiat kapan saja.
Dikononkan juga bahwa setelah Mbah Petruk melakukan penampakan di langit, malam harinya terdengar gemrengeng senandung dari celah-celah ribuan pohon dan perdu di kebun dan hutan. Lantunan ini kemudian diikuti dengan lamat dan khidmat oleh warga desa.
Senandung penolak bala dan penyakit tersebut berjudul ”Kidung Rumekso ing Wengi”, yang diciptakan Sunan Kalijaga pula. Sejumlah larik syair berlagu yang menjadi sarana peneguh hati dan penguat keyakinan diri. Begini syair kidung itu.
Ana kidung rumeksa ing wengi,
teguh haju luputa ing lara
Luputa bilahi kabeh,
jim setan datan purun.
Paneluhan tan ana wani,
niwah panggawe ala.
Gunaning wong luput,
geni atemahan tirta.
Maling adoh,
tan ana ngarah ing mami
guna duduk pan sirna.....
Bahasa Indonesia-nya kira-kira demikian:
Ada lantunan kidung penjaga malam,
jiwa raga pun kuat dan selamat
Lepas dari malapetaka itu,
jin dan setan tak berani mengganggu.
Segala teluh berhenti menyerang,
termasuk niat jahat seseorang.
Guna-guna kiriman si khilaf pikir,
padam bagai tersiram air.
Pencuri menjauh pergi,
tidak berani menyasar ke sini
energi jahat pun terhabisi.....
Penutup kalam, sebagaimana tertulis dalam Republika.co.id, 19 November 2010, Sultan Hamengku Buwono X ternyata juga tertarik untuk mengamati mitologi bersejarah fiktif ini. ”Sejarah fiktif Mbah Petruk itu sah saja. Orang boleh percaya, sekaligus boleh ra percoyo. Seperti halnya saya juga boleh menyebut bahwa asap di puncak Merapi itu representasi dari Pinokio, bukan Mbah Petruk.”
Ha-ha-ha-ha. Salam sayang dari Petruk.
(Agus Dermawan T, Penulis Buku-buku Kebudayaan dan Seni)