Setelah pilkada usai, pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah lain yang ditinggalkan dua menteri yang terjerat kasus dugaan korupsi. Kekosongan tersebut perlu segera diisi agar tak mengganggu jalannya pemerintahan.
Oleh
Budiman Tanuredjo
·4 menit baca
Pemilihan kepala daerah pada 9 Desember 2020 telah berlalu. Bangsa ini bisa disebut lulus melaksanakan pilkada pada masa pandemi. Namun, berapa tingkat partisipasi politik pemilih masih perlu ditunggu. Apakah pilkada jadi kluster penularan Covid-19 belum juga dipastikan. Begitu pula menjawab pertanyaan apakah pilkada melahirkan pemimpin yang bisa menekan pandemi di daerah.
Berjalannya pilkada tidak bisa dilepaskan dari keteguhan sikap politik Presiden Joko Widodo yang ingin menggelar pilkada sesuai jadwal. Partai politik dan Komisi Pemilihan Umum ikut-ikut saja.
Berbasiskan hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei, putra dan menantu Presiden Jokowi unggul dalam Pilkada Solo dan Medan. Gibran Rakabuming Raka (33) bakal memimpin Solo, melanjutkan karier politik sang ayah, dan Bobby Nasution (29) memimpin Medan.
Lewat pilkada, Presiden Jokowi bakal tercatat dalam sejarah politik Indonesia.
Lewat pilkada, Presiden Jokowi bakal tercatat dalam sejarah politik Indonesia. Rasanya belum pernah ada presiden dalam posisi masih berkuasa menempatkan keluarganya untuk ikut dalam kontestasi politik demokrasi bernama pemilu. Dan, Presiden Jokowi berhasil.
Susilo Bambang Yudhoyono, saat tidak lagi menjabat Presiden, pernah menjajalkan putranya, Agus Harimurti Yudhoyono, ikut Pilkada DKI Jakarta 2017. Agus mundur dari militer dan terjun ke politik. Namun, ia kalah. Agus kini menjabat Ketua Umum Partai Demokrat.
Di akhir kekuasaan Orde Baru, Presiden Soeharto pernah menunjuk—bukan lewat pemilihan demokratis—putrinya, Siti Hardiyanti Hastuti Indra Rukmana (Mbak Tutut), sebagai Menteri Sosial. Namun, posisi itu tak lama karena gerakan reformasi menggulung kekuasaan Orde Baru, dan Soeharto pun jatuh.
Kini, pilkada telah usai. Kita tinggalkan pilkada dan berfokus pada masalah negara, masalah pemerintahan yang terganggu dengan ditahannya dua menteri.
Fakta politik kontemporer ini menempatkan Presiden Jokowi sebagai pemimpin politik yang punya intuisi politik yang patut diperhitungkan. Semua langkah politiknya dilakukan lewat jalan demokratis. Apakah nantinya Gibran dan Bobby akan mengikuti menjejaki langkah politik lebih jauh, masih terlalu dini melihatnya. Kepemimpinannya akan diuji.
Kini, pilkada telah usai. Kita tinggalkan pilkada dan berfokus pada masalah negara, masalah pemerintahan yang terganggu dengan ditahannya dua menteri, yakni Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan Menteri Sosial Juliari P Batubara. Kedua posisi itu kini dipegang pelaksana tugas, yakni Luhut Binsar Pandjaitan dan Muhadjir Effendi. Bahkan, saat Luhut berdinas di luar negeri, posisi Menteri Kelautan dijabat Syahrul Yasin Limpo.
Kekosongan pos menteri saatnya diisi. Membiarkan kekosongan terlalu lama bisa mengganggu pemerintahan, terlebih pada era pandemi dan masa pemulihan ekonomi.
Kekosongan pos menteri itu telah menimbulkan banyak spekulasi. Sementara tugas pemerintahan juga tak kalah banyaknya. Hasil penelitian Lemhannas menunjukkan, indeks ketahanan bangsa menurun di berbagai aspek.
Kamar-kamar gelap negosiasi bursa menteri —apakah akan mengisi kekosongan dua menteri atau reshuffle terbatas—perlu dijawab dengan langkah tepat. Yang pasti kedua pos menteri yang kosong karena berurusan dengan KPK harus segera diisi. Itu semua hak prerogatif Presiden. Dalam sistem pemerintahan presidensial, tanggung jawab pemerintahan berada di tangan presiden, bukan menteri.
Melihat beban sejarah Kementerian Sosial—yang pernah dibubarkan Presiden Abdurrahman Wahid dan sudah melengserkan tiga menteri dari partai berbeda karena korupsi—dibutuhkan orang-orang ”gila” yang terbukti mumpuni melakukan tugas pelayanan publik dan mengelola anggaran besar
Namun, melihat beban sejarah Kementerian Sosial—yang pernah dibubarkan Presiden Abdurrahman Wahid dan sudah melengserkan tiga menteri dari partai berbeda karena korupsi—dibutuhkan orang-orang ”gila” yang terbukti mumpuni melakukan tugas pelayanan publik dan mengelola anggaran besar. Orang yang integritasnya diyakini publik dan disegani birokrasi. Rekam jejak dan kinerja sosok adalah kata kunci untuk jabatan seorang Mensos. Bukanlah sekadar orang yang pandai beretorika, tetapi miskin dalam perilaku.
Tiga Mensos masuk penjara KPK, yakni Bachtiar Chamsyah dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tersandung pengadaan sarung dan Juliari Batubara dari PDI-P karena pengadaan sembako. Idrus Marham (Golkar) ditangkap saat menjabat Mensos meski dikaitkan dengan pembangunan PLTU 2-Riau.
Dalam konteks penataan kabinet itu pulalah perlu ada kepastian soal posisi Kepala Polri Jenderal (Pol) Idham Azis yang akan pensiun pada 31 Januari 2021. Terlebih di tengah situasi politik dan keamanan saat ini, seperti kasus Joko S Tjandra, pembunuhan di Sigi, dinamika politik di Papua, dan tewasnya anggota FPI.
Segala problem dan peristiwa keamanan dalam negeri selalu memunculkan analisis bahwa itu terkait persaingan menuju Bhayangkara 1. Bahkan, sudah muncul analisis terjadi pengelompokan di tubuh Polri.
Spekulasi belum tentu benar itu beredar dan menambah hangatnya persaingan. Dalam ruang percakapan dan diskusi, pergantian kepala Polri sudah seperti pilkada. Ada tim sukses. Muncul pula gerakan saling dukung, juga saling jegal yang bisa merusak soliditas. Padahal, sejatinya, siapa yang bakal ditunjuk sebagai kepala Polri adalah hak presiden. DPR akan memberi persetujuan calon dari presiden.
Intinya, seusai pilkada, satu per satu pekerjaan rumah mesti diselesaikan untuk menutup berbagai ruang spekulasi dan manuver.