Pandemi Covid-19, selain memunculkan ketegangan antarnegara, juga menguatkan solidaritas antarbangsa. Bangsa-bangsa sepatutnya bahu-membahu mengatasi virus korona.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Hingga Kamis (10/12/2020), sesuai data worldometers.info, Covid-19 merambah di 220 negara/kawasan dan menginfeksi sekitar 69,39 juta orang. Tak kurang dari 1,57 juta warga dunia meninggal akibat virus SARS-CoV-2.
Dunia sejak awal tahun 2020 sibuk menangani pandemi, sehingga Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres, Maret lalu berharap pimpinan negara-negara yang sedang berkonflik melakukan genjatan senjata. Perang antarmanusia dihentikan dahulu, berganti perang bersama melawan virus dahulu.
Namun, harapan itu tinggallah harapan. Seperti diberitakan harian ini, Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR), Rabu (9/12/2020), menunjukkan tahun ini jumlah orang yang tercabut dari daerah asalnya menembus angka 80 juta jiwa, akibat konflik yang masih terjadi.
Pertikaian bersenjata nyata-nyata masih berlanjut. Akhir tahun 2019, tercatat ada 79,5 juta warga yang harus meninggalkan daerah asalnya. UNHCR mencatat, jumlah pengungsi tahun 2020, adalah yang terbanyak sepanjang sejarah (Kompas, 10/12/2020)
Menurut Filippo Grandi, Direktur UNHCR, jumlah pengungsi tahun ini masih bisa bertambah. Lebih dari 80 juta orang itu terpaksa meninggalkan negerinya gara-gara kekerasan dan persekusi sepanjang tahun ini. Jumlah itu hanya bisa terhenti, jika para pemimpin dunia bersepakat menghentikan perang. Apalagi, pandemi Covid-19 membuat banyak negara terpaksa menolak pengungsi, karena tengah berjibaku menyelamatkan warganya sendiri, dan mencegah penyebaran Covid-19.
Data UNHCR tahun 2020 menunjukkan, mayoritas pengungsi berasal dari wilayah yang tengah dilanda konflik bersenjata, bergejolak, dan diwarnai kekerasan, seperti Suriah, Republik Demokratik Kongo, Afghanistan, Mozambik, Yaman, Somalia, Venezuela, dan Myanmar.
Negara asal pengungsi itu tidak banyak berbeda dengan asal pengungsi tahun 2019, dan tahun sebelumnya. Kepedulian pemimpin di negara-negara yang dilanda konflik ternyata tidak berubah. Rakyat dan rasa kemanusiaan bukan menjadi perhatian yang utama, bahkan pada saat dunia tengah dilanda pandemi.
Lebih dari empat tahun lalu, saat merayakan Jumat Agung, pimpinan umat Katolik sedunia Paus Fransiskus menyerukan diakhirinya konflik di dunia, sehingga pengungsi bisa kembali ke rumahnya dan membangun kehidupan yang damai. Paus juga memberikan teladan, menerima pengungsi yang berbeda latar belakang, dengan memilih membasuh dan mencium kaki 11 pengungsi, yang tiga orang di antaranya Muslim, berasal dari Suriah, Mali, dan Pakistan (Kompas, 26/3/2016).
Manusia berasal dari kata manu (bahasa Sansekerta) dan mens (bahasa Latin), yang berarti makhluk berakal budi. Akal budi itulah yang seharusnya dipakai untuk membuat manusia hidup dalam damai bersama sesamanya. Apalagi, nenek moyang manusia sebenarnya sama. Manusia bersaudara. Maka, persaudaraan dan kemanusiaan itu harus dikedepankan.