DPR, Kemenkes, dan Kemensos perlu mencari jalan keluar bagi rakyat kecil yang menghadapi dilema ”maju kena mundur kena”: maju (menerima vaksinasi) kena biaya yang berat, mundur (menolak vaksinasi) berisiko tertular.
Oleh
L Wilardjo
·4 menit baca
Rabu (9/12/2020), pembaca Kompas disuguhi artikel Dr Kusmaryanto SCJ yang berjudul ”Bolehkah Membuka Rahasia Penyakit Pasien?” Kusmaryanto ialah seorang romo pastor yang menjadi dosen Bioetika di Universitas Sanata Dharma dan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Saya kenal dengan Romo Kus. Beliau menjadi salah seorang penguji dalam sidang terbuka promosi doktor yang saya promotori dan promovendanya mengajukan disertasi di bidang Bioetika.
Ketika saya mengundurkan diri dari Komisi Bioetika Nasional (KBN), Romo Kus adalah salah satu dari tiga orang yang saya rekomendasikan untuk menggantikan saya, dan almarhum Prof Dr Umar A Jenie, Ketua LIPI yang juga mengetuai KBN, menerima Romo Kus, bersama dengan filsuf-cum-teolog yang termasuk dalam tiga orang dalam rekomendasi itu, menjadi anggota KBN.
Hipotetis dan kategoris
Seperti dijelaskan Romo Kus, menjaga kerahasiaan penyakit pasien itu tidak absolut. Itulah yang di dalam jargon etika disebut imperatif hipotetis yang diterapkan dengan asas prima facie. Kewajiban menjaga rahasia penyakit pasiennya itu gugur apabila dan jika ada pertimbangan lain yang secara moral arasnya lebih tinggi. Misalnya, dalam situasi pandemi, seperti wabah Covid-19 sekarang ini, perunutan (tracing) harus dilakukan bersama dengan 2 ”T” lainnya (testing dan treatment).
Kewajiban menjaga rahasia penyakit pasiennya itu gugur apabila dan jika ada pertimbangan lain yang secara moral arasnya lebih tinggi.
Termasuk dalam kewajiban moral dokter yang diucapkannya dalam Sumpah Hippokrates ketika ia dilantik, ialah menjaga privasi pasiennya.
Kewajiban untuk menjaga kerahasiaan penyakit pasien ini barangkali yang sempat menimbulkan sedikit pembicaraan antara RS Ummi di Bogor dan Walikota Bogor Bima Arya, selaku ketua Satgas Penanganan Covid-19 di kotanya itu. Sebab, untuk perunutan (tracing), diperlukan informasi tentang hasil tes PCR yang konon dilakukan pihak luar terhadap seorang pasien rawat inap di rumah sakit tersebut.
Ada seorang internis (dokter spesialis penyakit dalam) yang praktik pribadi di kliniknya sangat laris meskipun ia sudah bekerja sangat keras melayani pasien-pasiennya setiap hari kerja dari pagi sampai malam.
Barangkali, demi efisiensi dan dengan maksud menolong sebanyak-banyaknya pasien yang membutuhkan jasanya, internis itu mempersilakan lima pasien sekaligus masuk ke dalam kamar periksanya, seorang langsung ditanganinya, sedangkan empat lainnya menunggu gilirannya. Pasien-pasien yang menunggu giliran itu mendengar anamnesis antara internis itu dan pasien yang pertama.
Apakah internis itu kurang etis karena bisa dianggap melanggar sumpahnya? Pada hemat saya, ya!
Yang ke-6 dari ”Sepuluh Perintah” (the Ten Commandments) ialah ”Janganlah Engkau Membunuh”. Sepuluh Perintah itu ada dalam taurat Nabi Musa AS, tetapi kenyataannya orang-orang Yahudi tokh membunuh, yakni menyembelih ternak secara kosher untuk memperoleh protein hewani, membunuh orang (sesamanya, manusia) untuk melaksanakan hukuman mati, dan untuk mempertahankan bangsa dan tanah airnya dalam perang.
Jadi, walaupun tercantum dalam Alkitab, perintah untuk tidak membunuh itu bukan imperatif kategoris yang merupakan ”harga mati” dan tidak boleh ditawar-tawar lagi. Dalam keadaan terpaksa dan benar-benar ”kepepet” karena tidak dapat lari dari ancaman pembunuhan seorang penjahat, membunuh sebagai bela diri juga dapat dibenarkan secara moral, atau setidak-tidaknya dapat dimengerti. Terpaksa membunuh dalam mempertahankan diri berbeda dengan melakukan pembunuhan berencana karena cemburu, misalnya.
Mempertahankan hidup adalah hak asasi manusia dan merupakan satu di antara tiga hak asasi manusia yang disebutkan secara eksplisit dalam konstitusi Amerika. Ketiga hak itu, kehidupan, kebebasan, dan mengejar kebahagiaan, oleh Guru Besar Matematika ITB Prof Dr Iwan Pranoto (Berpikir Majemuk dalam Matematika, Penerbit Buku Kompas, 2020) dianggap bagaikan aksioma yang tidak usah diterangkan secara logis-rasional sebab sudah nyata dengan sendirinya (self-evident).
Terpaksa membunuh dalam mempertahankan diri berbeda dengan melakukan pembunuhan berencana karena cemburu, misalnya.
Dilema vaksinasi
Mengingat betapa gawatnya situasi di tengah-tengah pandemi Covid-19, kita (rakyat Indonesia) dapat menerima keputusan pemerintah yang mewajibkan kepatuhan terhadap prokes ”3M” dan ”3T”.
Kita juga dapat mengerti bahwa dalam vaksinasi itu nanti para petugas medis akan diprioritaskan dan akan divaksinasi secara gratis. Akan tetapi, kalau vaksinasi itu diwajibkan bagi setiap dan semua orang lainnya, dan berbayar, bagaimana dengan orang-orang miskin yang tidak mampu membayar untuk memperoleh layanan itu?
DPR, Kemenkes, dan Kemensos perlu mencari jalan keluar bagi rakyat kecil yang menghadapi dilema ”maju kena mundur kena” ini: maju (menerima vaksinasi) kena biaya yang berat, mundur (menolak vaksinasi) kena sanksi dan risiko tertular. Menyedihkan, melihat tokoh nomor satu Kemensos justru menjadi tersangka korupsi bansos in-natura yang diberikan pemerintah bagi orang-orang lemah di lapisan bawah.