Resolusi Konflik Papua
Dengan dasar demi kemanusiaan di Papua, semua pihak yang berkonflik perlu kembali merenungkan bersama untuk mencari jalan penyelesaian konflik di Papua secara damai.
Konflik dan kekerasan di Papua belum kunjung berhenti juga. Kematian Pdt Yeremia Zanambani di Hitadipa, Intan Jaya, Papua, menambah deretan angka korban jiwa masyarakat di Papua.
Meski Papua bukan lagi menjadi wilayah yang ditetapkan sebagai daerah operasi militer (DOM) seperti pada masa Orde Baru, rentetan kekerasan terus berulang pada masa reformasi ini. Konflik tidak hanya mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dari aparat keamanan dan kelompok bersenjata, tetapi juga masyarakat.
Baca juga: Sekam dari Tanah Papua
Hingga kini, rasa aman masyarakat di Papua masih terus terganggu. Beberapa pendekatan dalam penyelesaian konflik di Papua gagal meredam laju kekerasan yang terjadi. Pendekatan keamanan yang dilakukan pada era Orde Baru dengan menerapkan status DOM di Papua bukannya menyelesaikan masalah yang terjadi, tetapi justru memperkeruh konflik yang ada dan mengakibatkan terjadinya beragam kekerasan.
Pada masa reformasi, sebagian besar pendekatan penyelesaian konflik di Papua lebih mengedepankan pada aspek ekonomi, mulai dari pemberian otonomi khusus (otsus) pada masa Megawati, pembentukan unit percepatan pembangunan di Papua pada masa SBY, hingga pembangunan infrastruktur pada masa era Jokowi. Pendekatan keamanan yang terus dilakukan pada masa reformasi ini yang juga memiliki dampak pada terjadinya kekerasan.
Ada luka dan trauma akibat dari konflik kekerasan yang perlu dijawab oleh negara dengan lebih bijak.
Dalam sebuah spektrum konflik internal yang terjadi dalam sebuah negara, pendekatan ekonomi tidak cukup untuk mengatasi konflik yang telah terjadi sekian lama. Penggunaan pendekatan keamanan juga tidak bisa menjadi sandaran utama untuk menyelesaikan konflik. Ada luka dan trauma akibat dari konflik kekerasan yang perlu dijawab oleh negara dengan lebih bijak.
Cara pandang
Cara pandang pemerintah dalam membaca persoalan Papua menjadi faktor yang akan memengaruhi pilihan pendekatan yang digunakan. Pemerintah cenderung melihat sumber masalahnya adalah ”separatisme”. Berbagai sikap dan tindakan sebagian kelompok masyarakat di Papua yang menuntut pemisahan diri dari Indonesia, baik yang dilakukan dengan cara damai maupun dengan metode gerakan bersenjata, jangan dilihat dari satu sisi masalah ”separatisme” saja.
Baca juga: Merawat NKRI
Negara perlu melihat bahwa reaksi kelompok-kelompok tersebut adalah akibat dari sejarah panjang Papua yang bertahun-tahun mengalami ketidakadilan dan tindakan represi khususnya yang terjadi pada masa status DOM ataupun mengalami tindakan kekerasan pada masa reformasi.
Paradigma ”separatisme” cenderung menempatkan sikap selalu mencurigai masyarakat Papua. Esensi paradigma separatisme cenderung mengabaikan kompleksitas akar konflik Papua. Padahal, mengacu studi yang dilakukan LIPI, ada empat sumber konflik Papua. Pertama, masalah sejarah integrasi, status, dan identitas politik. Kedua, kekerasan politik dan pelanggaran HAM di Papua. Ketiga, kegagalan pembangunan. Keempat, marjinalisasi orang Papua dan inkonsistensi otsus.
Komnas HAM juga menyebutkan bahwa masalah mendasar di Papua adalah ketidakpuasan masyarakat Papua terhadap penyelesaian masalah pelanggaran HAM yang dilakukan aparat keamanan serta kian menonjolnya masalah ketidakadilan dan diskriminasi dalam politik, ekonomi, dan sosial yang dialami rakyat Papua.
Baca juga: Melihat Papua dengan Mata Data
Dalam konteks itu, pendekatan pemerintah selama ini belum sepenuhnya menjawab berbagai sumber konflik yang ada dan belum utuh untuk melihat realitas sejarah kekerasan yang terjadi. Pendekatan pemerintah dalam menyelesaikan konflik akhirnya hanya parsial dan kebijakannya top down. Bahkan, dalam batas-batas tertentu negara mengambil jalan pintas dengan kembali menerapkan pendekatan keamanan yang berujung terjadinya kekerasan.
Bukan satu kali atau dua kali, melainkan sudah beberapa kali warga sipil menjadi korban dari konflik yang terjadi di Papua.
Bukan satu kali atau dua kali, melainkan sudah beberapa kali warga sipil menjadi korban dari konflik yang terjadi di Papua. Pembunuhan terhadap Pdt Yeremia Zanambani yang diduga kuat dilakukan oknum aktor pertahanan sebagaimana temuan dari Komnas HAM menambah panjang daftar warga sipil yang meninggal akibat konflik yang berlarut-larut.
Konflik yang terjadi juga diwarnai dengan pengungsian warga di Papua, seperti di Intan Jaya dan Nduga. Bahkan, fasilitas sipil juga digunakan sebagai tempat untuk menunjang operasi keamanan, seperti sekolah-sekolah sebagaimana terjadi di Intan Jaya. Padahal, penggunaan fasilitas sipil untuk menunjang operasi keamanan dalam sebuah konflik bersenjata adalah sesuatu yang dilarang dalam norma hukum HAM internasional.
Impunitas
Sejak masa lalu hingga masa kini jatuhnya korban jiwa warga sipil di Papua sering berujung pada ketiadaan penghukuman bagi para pelaku kekerasan. Impunitas (kekebalan) pada para pelaku kekerasan menjadi masalah serius di Papua. Sementara itu, korban terus meratapi keadilan yang tidak kunjung terwujud.
Baca juga: Urgensi Hak-Hak Asasi Manusia di Papua
Bukan soal bukti yang tak ada, melainkan kemauan politik dan komitmen kemanusiaan yang minim sehingga penyelesaian kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua tak kunjung tuntas.
Impunitas seolah telah menjadi sesuatu yang biasa saja di Papua. Padahal, impunitas merupakan bagian dari kejahatan itu sendiri. Janji politik pemerintah untuk menyelesaikan kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua tidak kunjung terealisasikan hingga kini. Pilihan penyelesaian melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) tak terjadi, begitu pula penghukuman melalui jalan pengadilan tak terealisasi.
Kalkulasi politik kekuasaan jauh lebih penting ketimbang mengambil langkah berani untuk memajukan kemanusiaan dengan membawa pelaku kekerasan dan pelanggaran HAM ke meja peradilan. Dilanggengkannya impunitas memberi dampak pada terus berulangnya kekerasan dan pembatasan HAM di Papua. George Santayana mengatakan bangsa yang tak belajar dari masa lalu akan dihukum dengan mengulangi kesalahan yang sama.
Baca juga: Kendala Berlipat di Papua
Keadilan bagi korban kekerasan menjadi barang mahal di Papua. Absennya keadilan di Papua menjadi salah satu masalah pokok yang menyebabkan konflik terus terjadi. Sekian lama mengalami represi dan sekian panjang deret ketidakadilan terjadi membuat rasa tidak percaya sebagian masyarakat Papua terhadap pemerintah terus berlanjut.
Keadilan bagi korban kekerasan menjadi barang mahal di Papua.
Sejatinya, politik didiskusikan untuk memuliakan dan membahagiakan manusia. Politik diciptakan bukan untuk meminggirkan kemanusiaan dan HAM. Penegasan HAM dalam konstitusi bukan sebatas norma hukum yang indah dibaca, melainkan harus diwujudkan dalam sikap dan tindakan politik nyata. Oleh karena itu, tanggung jawab penyelesaian kasus kekerasan di Papua merupakan kewajiban konstitusional negara yang perlu direalisasikan.
Resolusi konflik
Pemerintah perlu mencari jalan baru guna menyelesaikan masalah Papua. Salah satunya melalui pendekatan dialog.
Upaya resolusi konflik yang menyeluruh akan lebih mudah terbentuk jika semua pihak dapat membingkai ulang (reframe) pemahaman mereka tentang tujuan pihak masing-masing serta tentang konflik yang dihadapi itu sendiri, dan mencoba melihat tujuan masing-masing sebagai saling bergantung satu sama lain (positively interdependent) dan melihat konflik tersebut sebagai masalah bersama.
Resolusi konflik itu perlu berpijak pada prinsip atau nilai-nilai timbal balik (reciprocity), persamaan (equality), falibilitas manusia, kebersamaan, serta prinsip non-kekerasan (Morton Deutsch and Peter T Coleman, eds, The Handbook of Conflict Resolution: Theory and Practice, 2000).
Indonesia sesungguhnya memiliki modal politik yang penting dan pengalaman sejarah untuk membuka jalan penyelesaian Papua melalui dialog. Modal politik yang pertama tentunya adalah demokrasi yang semakin berkembang di Indonesia. Sebagai negara demokratis, pendekatan dialog memiliki basis dan alasan politik yang kuat.
Kedua, Indonesia memiliki pengalaman menyelesaikan konflik Aceh, Ambon, dan Poso secara damai melalui jalan dialog. Sebuah pertanyaan pentingnya, jika pendekatan dialog bisa digunakan di tempat lain, mengapa pendekatan yang sama tidak bisa dilakukan terhadap Papua. Kompleksitas polarisasi kelompok di internal Papua tidak bisa dijadikan alasan untuk menghindari, apalagi menutup, jalan dialog.
Dengan dasar demi kemanusiaan di Papua, semua pihak yang berkonflik perlu kembali merenungkan bersama untuk mencari jalan penyelesaian konflik di Papua secara damai. Kemauan politik pemerintah untuk membuka meja bersama dengan para pihak yang berkonflik di Papua perlu dicoba untuk mewujudkan keadilan dan kedamaian di Papua.
Al Araf, Direktur Imparsial dan Pegiat di CENTRA Initiative.