Babak Baru Penambangan Asteroid
Kesuksesan wahana Hayabusa2 mengambil sampel material di asteroid Ryugu menjadi catatan pencapaian manusia untuk membuka eksplorasi tambang di luar angkasa. Meski saat ini, hal itu masih terlalu mahal.
Kembalinya wahana antariksa Hayabusa2 ke Bumi dengan membawa kapsul berisi material dari asteroid Ryugu, menunjukkan penambangan asteroid bukanlah hal yang mustahil. Meski demikian, upaya itu tidak murah dan tidak mudah meski potensi material yang akan ditambang melimpah ruah.
Setelah enam tahun mengarungi antariksa, mendekati dan mengambil sampel material asteroid Ryugu, wahana milik Badan Eksplorasi Antariksa Jepang (JAXA), Hayabusa2, kembali mendekati Bumi, Sabtu (5/12/2020). Saat Hayabusa2 berada pada ketinggian 220.000 kilometer dari Bumi, wahana itu melepaskan kapsul seberat 16 kilogram.
Dengan berbekal mesin pendorong dan parasut, kapsul berukuran 40 sentimeter itu memasuki atmosfer Bumi dan dirancang jatuh di wilayah tertentu di Australia dengan rentang ketepatan hingga 1 kilometer. Akhirnya, kapsul ditemukan jatuh di wilayah Woomera, sekitar 500 kilometer barat laut Adelaide, Australia Selatan, Minggu (6/12/2020).
Ini adalah kali kedua wahana Jepang, sekaligus teknologi manusia, berhasil membawa sampel tanah asteroid ke Bumi. Momentum pertama berlangsung saat wahana Hayabusa, pendahulu Hayabusa2, membawa sampel asteroid Itokawa kurang dari 1 miligram pada 2010. Kini, seperti dikutip
Scientific American, 7 Desember 2020, Hayabusa2 membawa sekitar 100 miligram tanah asteroid Ryugu.
Ryugu adalah asteroid dekat Bumi, berbentuk mirip ketupat, dan bertipe C (
chondrite) yang kaya akan senyawa organik karbon dan air. Saat didekati Hayabusa2 pada 2018, asteroid berdiameter 900 meter ini berada pada jarak 3,6 juta kilometer dari Bumi. Tipe asteroid ini diyakini sebagai pembawa materi pembentuk kehidupan di Bumi s6erta menyimpan informasi awal pembentukan Tata Surya 4,6 miliar tahun lalu.
Kesuksesan wahana Jepang membawa pulang sampel asteroid ke Bumi itu tak hanya disambut gembira JAXA maupun komunitas astronomi dunia, tetapi juga penggagas penambangan asteroid. Keberhasilan Hayabusa2 menunjukkan konsep pergi ke asteroid, menambang dan mengumpulkan material yang diperoleh, serta membawanya kembali ke Bumi benar-benar bisa diwujudkan.
Perusahaan penambangan asteroid asal Inggris yang didirikan Mitch Hunter-Scullion pada 2016, Asteroid Mining Corportaion Ltd (AMC) dalam situsnya menyebut penambangan asteroid bukan konsep semata. Hayabusa dan Hayabusa2 membuktikannya. Kedua misi itu memang tak membawa material asteroid dalam jumlah besar karena itu bukan misinya. Jika misi dilakukan oleh industri tambang asteroid, maka tentu tujuannya membawa material asteroid sebanyak-banyaknya.
Kaya logam
Meski demikian, tipe asteroid yang paling menguntungkan untuk ditambang adalah tipe M (metallic) yang kaya logam, khususnya besi dan nikel serta logam langka seperti emas, perak dan platinum. Saat ini, ada sekitar 18.000 asteroid dekat Bumi (NEO) yang diketahui dan diprediksi ada 150 juta asteroid berukuran lebih dari 100 meter di bagian dalam Tata Surya (dari sekitar Matahari sampai sebelum planet Jupiter). Dari jumlah itu, 8 persennya adalah asteroid tipe M, 75 persen tipe C dan sisanya tipe S yang kaya silikat.
Dikutip dari laporan proyek mahasiswa Institut Teknologi Massachusetts (MIT), Amerika Serikat yang baru lulus dalam Mission 2016: The Future of Strategic Natural Resoruces yang dibimbing Profesor Benjamin Weiss, kandungan platinum pada asteroid tertentu bisa mencapai 100 gram per 1 ton batuan asteroid. Jumlah itu 10-20 kali lebih banyak dari yang dihasilkan tambang platinum di Afrika Selatan. Satu asteroid kaya platinum dengan lebar 500 meter saja mampu menyediakan hingga 175 kali produksi tahunan platinum dunia atau 1,5 kali cadangan platinum global.
Di luar material logamnya, air es dan material yang mudah menguap di asteroid tipe C, seperti amonia dan metana, bisa dimanfaatkan sebagai sumber daya bagi penjelajahan antariksa manusia. Air bisa diekstraksi bukan hanya untuk kebutuhan manusia, tapi jadi bahan bakar roket yang akan membawa manusia menjelajah lebih jauh di Tata Surya atau kembali ke Bumi.
Baca juga: Misi China dan Jepang Bawa Pulang Materil Bulan dan Asteroid
Penambangan asteroid itu makin penting mengingat Bumi akan kehabisan sumber daya mineralnya. Dalam abad ini, jumlah penduduk Bumi akan mencapai 10 miliar dan tentu membutuhkan sumber daya yang sangat besar untuk menopang hidup mereka. Mau tidak mau, pencarian sumber daya alam di luar Bumi harus dilakukan.
Persoalannya, siapa yang harus memulai melakukannya? Sejumlah lembaga antariksa negara, seperti JAXA atau NASA (Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional AS) memang melakukan eksplorasi asteroid, tetapi mereka fokus untuk kepentingan ilmiah. Lembaga antariksa negara juga disarankan untuk tidak melakukan penambangan asteroid karena prosesnya sulit, teknologinya belum tersedia, dan dananya besar hingga tingkat spekulasinya menjadi tinggi.
Jika swasta yang harus menambang, sejumlah perusahaan rintisan penambangan asteroid yang bermarkas di AS, yaitu Planetary Resources dan Deep Space Institute (DSI) sudah menginisiasinya sejak 2012. Mereka berusaha menggalang investor untuk bisa memulai sejumlah riset dan rekayasa guna mewujudkan penambangan asteroid.
Nyatanya, tidak mudah membuat investor tertarik. Hingga 2016, Planetary Resources sudah mengumpulkan 50 juta dollar AS atau sekitar Rp 700 milliar dengan kurs Rp 14.000 per dollar AS dan DSI baru memperoleh 3,5 juta dollar AS atau Rp 49 miliar. Dana itu tentu tidak cukup hingga kinerja perusahaan tak sesuai harapan dan investor pun mundur. Kedua perusahaan itu akhirnya diakuisisi perusahaan lain hingga masa depan penambangan asteroid makin tidak jelas.
Penambangan asteroid adalah investasi jangka panjang hingga puluhan tahun. Rentang waktu itu tentu terlalu lama bagi banyak investor yang umumnya menginginkan modal mereka sudah kembali dalam 10 tahun.
Selain dana, kegagalan perusahaan penambangan asteroid saat ini adalah belum tersedianya teknologi untuk mewujudkan misi tersebut.
Dari Hayabusa dan Hayabusa2, seperti ditulis AMC, perusahaan tambang asteroid bisa mendapat data tentang struktur, komposisi, medan magnet, dan informasi lainnya yang bisa dipakai untuk merancang misi penambangan asteroid. Metode pengambilan material asteroidnya juga bisa ditiru, meski tentu perlu modifikasi jika ingin mendapatkan hasil yang besar.
Namun pengembangan teknologi pemurnian material asteroid juga harus dipikirkan. Membawa material penambangan asteroid ke Bumi, seperti dilakukan Hayabusa dan Hayabusa2, jelas akan sangat mahal. Karena itu, pembangunan fasilitas pemurnian di Bulan atau orbit rendah Bumi bisa dipertimbangkan meski semua butuh teknologi robot yang sangat maju.
Atossa A Abrahamian di MIT Technology Review, 26 Juni 2019 menyebut pemurnian material asteroid di Bulan memang menjadi solusi untuk menekan biaya. Namun, situasi itu akhirnya melahirkan dilema seperti telur dan ayam, manakah yang harus didahulukan antara membangun teknologi penambangan asteroid atau membangun teknologi pemurniannya di Bulan.
Studi Keck Institite for Space Studies di California, AS menunjukkan untuk mengidentifikasi, menambang dan mengembalikan 500 ton material asteroid ke orbit rendah Bumi saja butuh biaya 2,6 miliar dollar AS atau Rp 36,4 triliun. Biaya itu, belum termasuk biaya pengembangan infrastruktur untuk memproses material asteroid yang ditambang.
Namun Planetary Resources memperkriakan satu asteroid kaya platinum selebar 30 meter saja dapat menghasilkan platinum senilai 25-50 milliar dollar AS atau Rp 350-700 triliun. Artinya, jika infrastruktur yang ada tersedia dan ada investasi yang mendukungnya, maka potensi keuntungan yang sangat besar ada di depan mata.
Saat ini, industri penambangan asteroid mungkin mati suri. Namun idealisme para penggagasnya terus menggelora. Mereka percaya, penambangan asteroid adalah gerbang besar impian kesejahteraan manusia, sama seperti saat California, AS dan Australia dibangun pada abad ke-19 melalui pertambangan. Pertambangan memang tidak menciptakan banyak miliarder secara tiba-tiba, tetapi membangun kerangka ekonomi berbasis sumber daya alam.
Tak hanya itu, penambangan asteroid juga diyakini akan makin mendorong penjelajahan manusia di Tata Surya lebih jauh dan lebih masif. Saat daya dukung Bumi makin berkurang, tempat-tempat lain di Tata Surya bisa dijadikan penopang untuk terus menjaga kelestarian dan kesejahteraan umat manusia.
Baca juga: Wahana NASA, OSIRIS-Rex, Siap Kembali Ke Bumi Membawa Sampel Asteroid