Kembalikan KPK-ku
Kalau peduli pada negeri ini dan masa depannya plus mau merawat warisan reformasi, mestinya KPK tetap ada dan makin kuat. Ikhtiar mengembalikan KPK ke khitahnya yang profesional dan berintegritas tidak terlalu sulit.
Bagaimana keadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)-mu? Pertanyaan itu kerap ditanyakan sesama pegiat antikorupsi lintas negara di berbagai fora internasional, baik daring maupun luring.
Rasa ingin tahu kolega itu kemudian menukik pada pertanyaan ini: dalam sejarah perkembangannya, bagaimana sebenarnya dinamika relasi kuasa KPK dengan Presiden? Bagaimana peran dan perilaku DPR, parpol, publik (khususnya LSM) dalam dinamika relasi kuasa kedua institusi.
Embrio KPK
Ada empat sosok presiden—Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan Joko Widodo—yang memengaruhi dan menentukan sejarah perkembangan KPK. Kontribusi penting Gus Dur dalam membidani kelahiran KPK adalah menandatangani dan menyampaikan surat pengantar RUU KPK No R-13/PU/VI/2001, 5 Juni 2001, kepada DPR. Pemakzulannya sebagai presiden pada 23 Juli 2001 mengakhiri perannya dalam membidani KPK.
Sebelumnya pada 23 Februari 2001, 40 anggota DPR Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menandatangani dan menyampaikan RUU KPK kepada pimpinan DPR. RUU ini inisiatif DPR. Saat itu PPP progresif membidani KPK. Kalau kemudian ketua umumnya, M Romahurmuziy, terkena operasi tangkap tangan dan jadi terpidana korupsi, tampaknya itu kesialan sejarah bagi PPP.
Malah sebenarnya organisasi masyarakat sipil yang menggagas kelahiran KPK.
Tentu bukan hanya politisi yang ambil bagian penting dalam kelahiran KPK. Malah sebenarnya organisasi masyarakat sipil yang menggagas kelahiran KPK. Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) yang saat itu diketuai almarhum Mar’ie Muhammad sangat instrumental dalam membidani KPK. Ada juga Koesnadi Hardjasoemantri, Nurcholish Madjid, Palguna T Setyawan, Sabam Siagian, Sri Mulyani Indrawati, Kemal Azis Stamboel, Arief T Surowidjoyo, Erry Riyana Hardjapamekas, Sudirman Said, dan lain-lain.
Baca juga: Tantangan dan Harapan Penegakan Hukum Korupsi 2020
Dikisahkan dalam buku KPK Berdiri untuk Negeri, Mar’ie yang pernah menjabat menteri keuangan menjual dua mobil pribadinya untuk membiayai kegiatan MTI di awal pembentukannya. Padahal, kondisi keuangan ”Mr Clean” (sebutan untuk Mar’ie) sebagai pensiunan PNS tidak sedang bagus saat itu. Cerita Koesnadi Hardjasoemantri lain lagi. Ia mendepositokan dana pensiunnya. Bunga dari deposito itu disumbangkan untuk gerakan MTI.
Pada periode Megawati—yang menandatangani UU No 30/2002 tentang KPK—relatif tak ada momen kritis yang menguji kegentingan relasi kuasa KPK dengan Presiden. Sebab, KPK di bawah pimpinan Taufiequrachman Ruki saat itu lebih fokus membangun sistem internal di tubuh KPK dan membangun hubungan baik dengan institusi kepolisian dan kejaksaan.
Kasus korupsi yang mencuat dan menjadi perhatian publik pada periode ini adalah kasus korupsi pengadaan helikopter yang melibatkan Gubernur Aceh Abdullah Puteh. Puteh terbukti bersalah dan dihukum 10 tahun penjara. Ia menjadi kepala daerah pertama ”korban” KPK. Penanganan kasus korupsi ini menumbuhkan dan memperkuat kepercayaan publik kepada KPK.
Baca juga: Korupsi Masih Masif, Terus…
Tak ada pengungkapan kasus korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum—polisi, jaksa, atau hakim—dalam periode ini. Belakangan, dalam periode berikutnya, pengungkapan kasus korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum menjadi penanda dan batu ujian penting relasi kuasa KPK dengan Presiden.
Dalam buaian konflik
Semasa SBY menjabat, KPK mengalami dua kali krisis, yaitu konflik ”cicak versus buaya” jilid I dan II. Konflik jilid I berpusat pada Komjen Susno Duadji, Kabareskrim Polri saat itu. KPK menyadap telepon selulernya karena Susno diduga terlibat dalam pencairan dana nasabah pada Bank Century.
Kemudian komisioner KPK—Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah—diduga ”dikriminalisasi”. Setelah didesak publik, akhirnya SBY bereaksi dan memenuhi permintaan publik. Ia membentuk Tim Independen Pencari Fakta (Tim 8), yang diketuai advokat kawakan almarhum Adnan Buyung Nasution.
Tim menyimpulkan tak ada dasar dan bukti hukum yang cukup untuk memidanakan Bibit dan Chandra.
Tim menyimpulkan tak ada dasar dan bukti hukum yang cukup untuk memidanakan Bibit dan Chandra. Keduanya terbukti tak menerima suap seperti dituduhkan. Tim 8 meminta Presiden menghentikan ”kriminalisasi” terhadap keduanya. Akhirnya Kejaksaan Agung menghentikan proses hukum terhadap Bibit dan Chandra.
Konflik jilid II berpusat pada Irjen Djoko Susilo. Ia diduga korupsi dalam pengadaan simulator mengemudi. Penyidik KPK, Novel Baswedan, memimpin penyidikan kasus ini. Kemudian ia juga diduga ”dikriminalisasi” dengan tuduhan telah melakukan penganiayaan berat pada pencuri sarang burung walet di Bengkulu pada 2004. Konflik berlanjut dengan perebutan penanganan kasus korupsi simulator SIM. KPK dan kepolisian bersikukuh ingin menangani perkaranya.
Baca juga: Novel Baswedan dan Revolusi Mental
Lama SBY diam. Lagi, setelah didesak publik, akhirnya ia memerintahkan supaya Kapolri saat itu, Jenderal Timur Pradopo, mematuhi UU dengan menyerahkan penanganan kasus korupsi ini sepenuhnya kepada KPK.
Selain itu, Presiden juga menilai penanganan kasus Novel tidak tepat dari segi waktu dan metodenya. Kemudian Kejaksaan Agung memutuskan untuk menghentikan kasus Novel. Penyerangan terhadap Novel yang mengakibatkan mata kirinya rusak sebenarnya memiliki akar dan sejarah konflik yang panjang.
Dua keputusan SBY itu penting dan monumental sehingga KPK selamat dari krisis dan makin kuat. KPK mendapat dukungan penuh dari Presiden sehingga leluasa mengungkap praktik korupsi dalam pengadaan simulator mengemudi. Djoko diadili dan divonis bersalah.
Dalam kedua konflik itu jelas SBY bisa mereposisi dirinya bukan hanya sebagai presiden, melainkan juga sebagai kepala negara. Saat itu ia mampu melampaui dan melepaskan diri dari kepungan konflik kepentingan, termasuk konflik kepentingan dari partai politik yang dipimpinnya.
Baca juga: Alarm untuk KPK
Pada saat itu banyak juga politisi dari Partai Demokrat yang dicokok KPK. Ia sukses mengatasi kepentingan dan keinginan politisi Demokrat, yang diartikulasikan Benny K Harman, sebagai Ketua Komisi III, yang ingin merevisi UU KPK.
Medio Desember 2010, DPR dan pemerintah menetapkan revisi UU KPK masuk prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2011 sebagai usul inisiatif DPR. Tahun berikutnya DPR bersama pemerintah kembali sepakat memasukkan revisi UU KPK dalam daftar RUU prioritas Prolegnas 2012.
Posisi PDI-P sebagai oposisi selama satu dekade itu di kemudian hari mendatangkan dividen politik yang sangat besar dalam kontestasi politik.
Postur kebijakan SBY yang demikian itu memang tidak berdiri sendiri, tapi didukung dua faktor eksternal. Pertama, kuat dan efektifnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sebagai partai oposisi. PDI-P menolak revisi UU No 30/2002 tentang KPK. Politikus PDI-P, Ahmad Basarah, yang menjabat sebagai wakil sekjen saat itu, mengatakan UU KPK sudah sempurna karena itu Fraksi PDI-P konsisten menolak revisi UU No 30/2002.
Posisi PDI-P sebagai oposisi selama satu dekade itu di kemudian hari mendatangkan dividen politik yang sangat besar dalam kontestasi politik. Dalam dua kali pemilu legislatif (2014 dan 2019) dan pilpres, PDI-P menang telak.
Baca juga: Satu Tahun Pascarevisi UU, KPK Melemah
Kedua, kuat dan efektifnya kontrol publik. Berbagai elemen organisasi masyarakat sipil saat itu efektif melakukan perlawanan dan tekanan politik kepada Presiden agak tak hanya menyelamatkan dan menjaga eksistensi KPK, tetapi juga memperkuatnya.
Dukungan penuh Presiden SBY membuat KPK surplus percaya diri. Bisa dikatakan ini zaman keemasan KPK. Surplus kepercayaan diri itu makin meluber tatkala Presiden Jokowi memercayai dan mengajak KPK ikut menyaring calon menteri Kabinet Kerja I.
Jadi, sebenarnya, pada awal masa jabatannya, Presiden Jokowi sangat percaya pada profesionalisme dan integritas KPK. Lalu KPK pun—yang saat itu dimotori Abraham Samad, Bambang Widjojanto, Zulkarnain, Busyro Muqodas, dan Adnan Pandu Pradja—memberikan rekomendasi daftar nama calon menteri yang aman (bebas) dari kemungkinan terlibat dalam kejahatan korupsi.
Surplus percaya diri yang meluber itu mewujud dalam tindakan KPK memidanakan calon Kapolri yang diduga memiliki rekening gendut. Kasus ini yang kemudian mendorong KPK dan kepolisian memasuki konflik cicak versus buaya jilid III. Buntutnya, Abraham Samad dan Bambang diduga ”dikriminalisasi” yang berujung pada pemberhentiannya sebagai komisioner KPK. Presiden Jokowi menyetujui pemberhentian Abraham Samad dan Bambang sebagai komisioner KPK. Tampaknya dari sinilah KPK mulai menyurut.
Baca juga: KPK (Terancam) Lumpuh
Dari sinilah orkestrasi dekonstruksi dan rekonstruksi yang berujung pada pengendalian dan pelemahan KPK—via revisi UU KPK dan penggunaan kuasa digital yang eksesif—menemukan momentumnya. Dalam proses dekonstruksi itu, misalnya, KPK dicap sebagai sarang fundamentalisme Taliban, berbiaya tinggi tetapi asset recovery-nya rendah, KPK sebagai state auxiliary institution tak klop dengan paham trias politika, menghambat investasi, tak ada yang mengontrol sehingga padat penyalahgunaan wewenang, dan lain-lain.
Kembali ke khitah
Berbeda dengan Presiden SBY, pemerintah dan DPR kali ini tak menghadapi resistensi yang kuat dan efektif dari partai oposisi—karena memang tidak ada—dan publik, ketika mendekonstruksi dan merekonstruksi KPK. Semua fraksi di parlemen sepakat dan mengesahkan revisi UU KPK.
Publik juga menyerah pada maunya parlemen dan pemerintah meski sempat ada: 1) unjuk rasa warga, aktivis, dan mahasiswa di berbagai tempat dan, 2) penyampaian petisi dari ratusan ekonom yang meminta presiden mengeluarkan perppu supaya kembali ke UU No 30/2002.
Kalau peduli pada negeri ini dan masa depannya plus mau merawat warisan reformasi, mestinya KPK tetap ada dan makin kuat. Ikhtiar mengembalikan KPK ke khitahnya yang profesional, bebas, mandiri, dan berintegritas sebenarnya tidak terlalu sulit. Ini soal pilihan, nanti mau dikenang sebagai apa?
Dedi Haryadi, Pengurus Bumi Alumni, Universitas Padjadjaran