Pilkada, Korupsi, dan Kesejahteraan
Kejelian masyarakat untuk memilih kepala daerah yang cakap dan berpengalaman akan memengaruhi kualitas pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang bersih dan transparan serta meningkatkan kesejahteraan publik di daerah.
Di tengah era pandemi Covid-19, masyarakat akan memilih kepala daerah dalam pilkada serentak pada 9 Desember 2020. Pilkada akan dilaksanakan di 270 wilayah di Indonesia.
Kejelian masyarakat untuk memilih kepala daerah yang cakap dan berpengalaman akan memengaruhi kualitas pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang bersih dan transparan serta meningkatkan kesejahteraan publik di daerah. Bagaimana dampak pilkada terhadap terbentuknya pemerintahan daerah yang berkomitmen terhadap pemberantasan korupsi serta kesejahteraan publik?
Baca juga: Menteri Sosial Juliari dan Adi Wahyono Serahkan Diri ke KPK
Kepemimpinan yang teknokratis dan berpengalaman perlu menjadi salah satu pertimbangan dalam memilih. Dalam situasi pandemi, tantangan pemerintahan daerah akan semakin kompleks dan sulit.
Adaptasi kebijakan secara cepat akan menentukan keberhasilan kepala daerah saat memimpin dalam masa krisis. Selain menghadapi kompleksitas akibat Covid-19, kepala daerah juga akan menghadapi tantangan dari meningkatnya masalah perkotaan karena meningkatnya warga yang akan tinggal di urban.
Dalam situasi pandemi, tantangan pemerintahan daerah akan semakin kompleks dan sulit.
Berdasarkan catatan Bank Dunia (2019), terjadi peningkatan tren populasi masyarakat yang tinggal di daerah urban setiap tahun di Indonesia. Dalam 19 tahun terakhir, persentase penduduk di daerah urban meningkat dari 42 persen tahun 2000 menjadi 55,99 persen pada 2019. Padahal, 20 tahun sebelumnya (1980) hanya 22,10 persen.
Sementara di tingkat global, diperkirakan tujuh dari sepuluh populasi dunia akan tinggal di daerah urban pada 2045. Peralihan dari perdesaan (rural) menjadi urban dan meningkatnya populasi di daerah urban tentu akan menyebabkan terjadinya masalah-masalah urban, seperti kemacetan, kemiskinan, permukiman kumuh, banjir, dan akses terhadap air bersih. Untuk itu, dalam pilkada, pemilih perlu memilih pemimpin teknokratis yang punya konsep dan visi dalam menyelesaikan masalah-masalah urban.
Baca juga: Pilkada 2020 di Tengah Bencana
Korupsi politik
Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah komitmen kepala daerah untuk melaksanakan tata kelola pemerintahan yang bersih dan transparan. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sampai Juni 2020 sudah 122 bupati/wali kota (atau wakil) dan 21 gubernur/wakil serta 274 anggota DPR/DPRD ditindak KPK. Sebanyak 65,8 persen karena kasus penyuapan dan 20,8 persen terkait pengadaan barang/jasa.
Menurut Rochman dan Achwan (2016), tak efektifnya program e-tender karena sudah adanya kongkalikong antara birokrat dan para cukong dalam pengadaan barang dan jasa serta penguasaan cukong dalam proyek infrastruktur di daerah.
Baca juga: Pilkada dalam Bayang-bayang Cukong
Mahalnya biaya politik dalam pencalonan dan kampanye pilkada serta rendahnya pengawasan di tingkat lokal mendorong tingginya angka korupsi di tingkat pemerintahan daerah sehingga akan memengaruhi tingkat produktivitas dan efektivitas pemerintahan.
Studi Kuncoro (2002) menunjukkan korupsi memberikan efek negatif pada pertumbuhan produktivitas. Pertumbuhan produktivitas di daerah-daerah dengan angka korupsi tinggi cenderung lebih lemah dibanding daerah-daerah dengan yang korupsi rendah.
Selain korupsi, faktor lain yang memengaruhi efektivitas kebijakan adalah kinerja dan perilaku birokrasi. Peran birokrasi penting dalam memengaruhi keberhasilan program dan kebijakan kepala daerah karena menjadi ujung tombak dalam implementasi kebijakan.
Selain korupsi, faktor lain yang memengaruhi efektivitas kebijakan adalah kinerja dan perilaku birokrasi.
Untuk itu, dalam proses pengisian posisi-posisi strategis di pemerintah, pertimbangan meritokrasi perlu diperhatikan dengan saksama dalam seleksi terbuka jabatan. Menurut Alesina (2004), kinerja birokrasi mengalami peningkatan apabila ada insentif berupa promosi dan kenaikan jabatan bagi birokrat yang berprestasi.
Faktor institusional seperti kultur birokrasi juga memengaruhi tinggi atau rendahnya tingkat korupsi di pemerintahan.
Kesejahteraan
Pelaksanaan otonomi daerah memberikan kewenangan yang besar dari daerah untuk mengelola sumber daya finansial dan mengelola urusan publik secara mandiri, seperti kesehatan, pendidikan, pertanian, manufaktur, dan sektor ekonomi lainnya (Nasution, 2016).
Namun, menjelang 25 tahun pelaksanaan otonomi daerah yang ditandai dengan adanya pilkada secara langsung sejak 2005, terdapat daerah yang berhasil meningkatkan kesejahteraan publik dan ada juga yang gagal, misalnya ditandai dengan tingginya ketimpangan ekonomi antarpenduduk.
Baca juga: Pendapatan dan Benalu Ketimpangan
Sebagian besar urusan publik di tingkat daerah ditentukan oleh bagaimana kepala daerah mengelola dana APBD untuk kepentingan dan kesejahteraan publik. Sebagian besar pendapatan daerah berasal dana transfer dari pusat dalam skema dana alokasi umum (DAU).
Untuk memengaruhi peningkatan kinerja dan performa daerah dalam mengelola DAU untuk kesejahteraan publik, perlu diberlakukan skema insentif dan disinsentif, di mana daerah yang berkinerja baik mendapat insentif berupa kenaikan DAU. Sementara daerah yang berkinerja buruk mendapat disinsentif dengan menerapkan pemberian DAU secara bersyarat (Suryahudaya dan Okthtariza, 2020).
Untuk itu, kita harus mendorong publik untuk memilih berdasarkan kalkulasi rasional, yaitu mencari pemimpin yang memberikan dampak bagi pembangunan dan kesejahteraan publik di tingkat lokal serta pemimpin yang punya komitmen antikorupsi.
Pemilih juga perlu menelisik calon kepala daerah yang punya visi ekonomi yang pro pembangunan dan kesejahteraan, serta mendukung agenda peningkatan investasi.
Baca juga: Memastikan Petani Sejahtera
Sayangnya, dalam beberapa tahun terakhir, visi ekonomi kepala daerah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di tingkat lokal cenderung lemah. Hal tersebut tampak dari besarnya dana daerah yang mengendap di perbankan.
Dalam masa krisis saat ini, tantangan kepala daerah ke depan juga tidak mudah. Selain menangani pandemi Covid-19 secara cepat dan inovatif, kepala daerah juga dituntut untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menekan angka defisit ekonomi di tingkat lokal.
Kepala daerah juga dihadapkan pada kondisi untuk memperkecil terjadinya kesenjangan ekonomi, terutama di daerah-daerah dengan tipe rural.
Dalam masa krisis saat ini, tantangan kepala daerah ke depan juga tidak mudah.
Pilkada secara langsung seharusnya semakin mendekatkan publik dengan kepala daerah terpilih. Hal tersebut akan membuat partisipasi publik dalam mengontrol kinerja pemerintah daerah akan meningkat.
Tingginya pengawasan, baik oleh publik maupun DPRD, akan membuat potensi korupsi di daerah bisa dikurangi. Pilkada langsung juga dapat meningkatkan kesadaran pemerintahan daerah untuk membuat kebijakan yang berpihak kepada masyarakat miskin melalui program Jaminan Kesehatan Masyarakat di tingkat lokal (Fossati, 2016).
Baca juga: Ketimpangan Akses dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional
Pelayanan dasar seperti kesehatan akan meningkat di daerah-daerah dengan level kompetisi politik yang tinggi.
Namun, saat ini dengan situasi fragmentasi politik yang tinggi di DPRD dan syarat pencalonan kepala daerah yang masih tinggi, membuat sulitnya pembentukan koalisi dan terbatasnya jumlah calon di pilkada.
Ke depan, gagasan penurunan syarat pencalonan dalam pilkada perlu dipikirkan untuk meningkatkan level kompetisi politik di tingkat lokal. Kompetisi yang tinggi akan membuat publik punya banyak alternatif dalam pilkada sehingga calon akan termotivasi untuk menawarkan program-program yang memikat publik.
Selain itu, secara umum faktor kepemimpinan personal akan memengaruhi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dalam pilkada langsung. Untuk mendapatkan calon yang berkualitas tinggi, faktor seleksi dan pencalonan di internal partai menjadi penting untuk diperhatikan dengan baik.
Kualitas pencalonan salah satunya ditentukan seberapa besar keterbukaan partai dalam membuka penjaringan calon serta mekanisme penentuan calon secara demokratis dan transparan. Pilkada langsung juga harus memberikan insentif politik bagi karier politik calon. Kepala daerah yang memiliki performa baik di tingkat lokal harus diberikan kesempatan oleh publik untuk bisa dipertimbangkan pada jabatan yang lebih tinggi di tingkat nasional.
Arya Fernandes, Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial, CSIS.