Perkembangan terbaru ini mencerminkan ketidakberdayaan atau bisa juga disebut ”kegagalan” komunitas internasional membantu penyelesaian tragedi kemanusiaan Rohingya.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Pemerintah Bangladesh jalan terus dengan relokasi warga Rohingya ke pulau terpencil. Perkembangan ini memperlihatkan ketidakjelasan nasib warga Rohingya ke depan.
Hampir semua mafhum jika Bangladesh merasa terbebani setelah kebanjiran lebih dari 700.000 pengungsi Rohingya yang menyelamatkan diri dari kekerasan di Myanmar. Dunia juga bisa memahami bahwa kondisi kamp pengungsian tempat menampung mereka di Cox’s Bazar sudah tak memadai.
Namun, keputusan Bangladesh tetap memindahkan mereka ke pulau terpencil, tak berpenghuni, dan rawan bencana juga sulit diterima. Banyak hal yang dipersoalkan oleh para pegiat hak asasi manusia hingga Perserikatan Bangsa-Bangsa terkait relokasi itu. Namun, Dhaka tutup mata. Mulai Kamis (3/12/2020), mereka melaksanakan relokasi itu.
Keputusan Bangladesh tetap memindahkan mereka ke pulau terpencil, tak berpenghuni, dan rawan bencana juga sulit diterima.
Seperti diberitakan Kompas, hingga Jumat lalu sebanyak 1.642 pengungsi Rohingya telah dipindahkan dari Cox’s Bazar ke Pulau Bhashan Char. Pulau ini berjarak sekitar 34 kilometer dari daratan terdekat dan tidak berpenghuni. Butuh waktu sekitar tiga jam berlayar untuk mencapai pulau itu. Baru muncul dalam 20 tahun ini, pulau itu juga rawan topan dan banjir. Posisi pulau itu ”menjadi pelindung” tiga pulau lain di Teluk Benggala. Fakta ini sudah menyentuh rasa kemanusiaan, apakah tempat itu layak menjadi tempat tinggal warga yang terusir dan dipersekusi di kampung asal mereka di Negara Bagian Rakhine, Myanmar.
Para pengungsi Rohingya itu seolah dipindahkan ke tempat pembuangan, bukan penampungan. Pemerintah Bangladesh bersikukuh, pulau itu sudah dibangun dengan dana 400 juta dollar AS serta dilengkapi berbagai sarana dan fasilitas, mulai dari tanggul pelindung banjir, rumah, rumah sakit, hingga masjid. Namun, tiadanya keterbukaan informasi, karena wartawan asing dilarang berkunjung ke pulau itu, membuat klaim berita manis itu tidak meyakinkan. Belum lagi masalah proses pemindahan yang, seperti diungkapkan beberapa pengungsi Rohingya, diwarnai pemaksaan. Pejabat Bangladesh membantah ada paksaan dalam relokasi itu. Ditargetkan sebanyak 100.000 warga Rohingya dipindahkan ke Bhashan Char.
Perkembangan terbaru ini mencerminkan ketidakberdayaan atau bisa juga disebut ”kegagalan” komunitas internasional membantu penyelesaian tragedi kemanusiaan Rohingya. Di berbagai forum, termasuk PBB dan ASEAN, penyelesaian yang ditawarkan adalah repatriasi atau pemulangan pengungsi Rohingya ke Myanmar. Pemerintah RI melalui Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi juga tegas menyatakan, Myanmar adalah rumah warga Rohingya.
Akar persoalan ini memang di Myanmar. Bukan saja tak mau memberikan jaminan keamanan bagi warga Rohingya dalam proses repatriasi itu, seperti diminta komunitas internasional, negara itu sampai hari ini tidak mengakui mereka sebagai warganya. Namun, langkah Bangladesh merelokasi pengungsi Rohingya ke pulau terpencil juga bukan jalan keluar dari kebuntuan tersebut.