Hubungan Pembukaan dan Batang Tubuh UUD NRI 1945
Tak heran, dengan perubahan pada UUD 45 setelah amandemen, ada yang sedih atau bahkan marah. Perubahan UUD 45 dinilai kebablasan, meninggalkan jiwanya yang terkandung dalam Pembukaan.
Ada anekdot ringan dalam penataran P-4 di era Orde Baru. Di akhir program, dengan sedikit nada humor, penatar biasanya bertanya kepada peserta, ”Bagaimanakah hubungan antara Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 45?”
Peserta akan tersenyum dan serentak menjawab, ”Baik-baik saja!” Memang, umum dianggap hubungan Pembukaan dengan Batang Tubuh UUD 45 itu baik-baik saja, serasi. Pembukaan itu menjiwai pasal dan ayat dalam UUD 45. Seharusnya memang begitu. Apakah benar demikian?
Baca juga : 75 Tahun Negara Hukum Indonesia
Bangsa Indonesia telah merebut dan mempertahankan kemerdekaan melalui perjuangan panjang. Karena itu, umumnya memiliki rasa kebangsaan yang kuat. Semangat diwariskan dari generasi ke generasi, melalui mata pelajaran serta penataran menanamkan cinta kepada Proklamasi 17 Agustus 1945, NKRI, Pancasila, UUD 45, Sang Saka Merah Putih, Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Tak heran, dengan perubahan pada UUD 45 setelah amandemen, ada yang sedih atau bahkan marah. Perubahan UUD 45 dinilai kebablasan, meninggalkan jiwanya yang terkandung dalam Pembukaan. Rahmawati Soekarnoputri, misalnya, dengan berurai air mata, berulang kali mengimbau agar Pembukaan disatukan kembali dengan batang tubuh yang asli, yang ditetapkan 18 Agustus 1945.
Tak heran, dengan perubahan pada UUD 45 setelah amandemen, ada yang sedih atau bahkan marah.
Atas perjuangan Ibu dan Bapak Bangsa yang berat dan panjang, bangsa Indonesia berhasil merebut dan memproklamasikan kemerdekaan. Pada era penjajahan Jepang, mereka tetap berjuang untuk kemerdekaan, baik melalui kesediaan menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan/BPUPK (Soekarno, Hatta, dkk) maupun yang menolak dan berjuang di bawah tanah melawan Jepang (Sutan Syahrir, Amir Syarifuddin, dkk).
BPUPK, badan yang dibentuk penguasa militer Jepang di Indonesia, bukan badan independen bentukan para pejuang. Mirip badan bentukan Jepang di Burma dan Filipina tahun 1943, yang dibentuk untuk merealisasikan rencana pembentukan wilayah hegemoni Jepang di Asia (Thakin Nu, 1954).
Baca juga: Menafsirkan UUD 1945
Dokumen Angkatan Laut Jepang (Kaigun), 14 Maret 1942, mengungkapkan kebijakan Jepang untuk ”membimbing” penduduk di Selatan sebagai bagian dari proyek membangun kawasan Asia Timur Raya di bawah kepemimpinan kekaisaran Jepang (Harry J Benda, dkk, 1965). Dokumen Nomor 73, 4 Januari 1945, Kementerian Angkatan Darat Kerajaan Jepang berisikan rencana pembentukan BPUPK di Jawa guna mempersiapkan kemerdekaan di Jawa dan Sumatera (Harry J Benda dkk, 1965).
Sulawesi dan Kalimantan yang berada di bawah kendali Kaigun akan dianeksasi menjadi eikyu senriu—bagian teritori Kerajaan Jepang untuk selamanya (Ooi Keat Bin, 2011).
Karya murni pejuang
Tahun 1940, Menlu Matsuoka Yosuke mengumumkan rencana pembentukan Asia Timur Raya, yang meliputi wilayah Jepang—termasuk Korea, Taiwan, dan Sakhalin, China, Manchuria, Indocina, dan Hindia Belanda. Ia menyatakan, Asia Timur Raya vital bagi keberlanjutan eksistensi Jepang (Peter Duus, 2008).
Kebijakan itu dikendalikan langsung dari Tokyo. Jepang membentuk Kementerian Asia Timur Raya yang dikendalikan militer Jepang (Pacific War online). Di kawasan yang didudukinya, Jepang memobilisasi penduduk, menggelorakan semangat menentang imperialisme dan kolonialisme Barat serta membangun simpati dan kerja sama dengan Jepang, baik di masa perang maupun masa damai sesudahnya. Ini adalah rencana besar dan penting, di mana masa depan kerajaan Jepang dikaitkan (Ian Nish, 1995).
Baca juga: Rekonsiliasi dan Amendemen UUD
Namun, BPUPK juga telah dimanfaatkan para pejuang bangsa untuk mencapai kemerdekaan yang sesungguhnya. Tak pelak lagi, BPUPK telah jadi ajang ”pertempuran” berbagai gagasan: Indonesia merdeka sesungguhnya versus Indonesia sebagai anggota keluarga Asia Timur Raya, Indonesia sebagai republik atau kerajaan, Indonesia negara kesatuan atau negara serikat, dan sebagainya.
Anggota BPUPK telah menggunakan forum itu untuk memperjuangkan berbagai gagasan. Di antaranya yang sangat menonjol, pidato Soekarno yang disampaikan pada 1 Juni 1945. Menjawab arahan ketua, beliau menyampaikan gagasan tentang Indonesia merdeka sebagai buah perjuangan bangsa.
Anggota BPUPK telah menggunakan forum itu untuk memperjuangkan berbagai gagasan.
Untuk merumuskan berbagai gagasan itu, BPUPK membentuk Panitia-8 yang diketuai Soekarno. Agar dapat menyerap aspirasi yang ada, tanpa melalui rapat BPUPK, mengikuti tata kerja BPUPK, dengan persetujuan 38 anggota yang sedang berada di Jakarta, Soekarno merombaknya menjadi 9 orang: Soekarno, Hatta, Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakir, Agus Salim, Achmad Subardjo, Wachid Hasjim, dan Muhammad Yamin (Panitia-9) (JHA Logemann, 1962).
Selanjutnya, mereka bekerja di luar pengawasan penguasa Jepang dan pada 22 Juni 1945 menyepakati Mukadimah atau Piagam Jakarta yang sangat terkenal itu. Jelas, Mukadimah karya murni para pejuang, bebas dari pengaruh Jepang. Tanggal 10 Juli 1945, Soekarno melaporkan rancangan Mukadimah di sidang BPUPK.
Baca juga: Avalansa Amendemen Kelima UUD 1945
Namun, meski diminta oleh beberapa anggota, pimpinan BPUPK tak membuka kesempatan untuk membahasnya. Mungkin karena isinya yang sangat nasionalistis atau karena perubahan Panitia-8 dilakukan tanpa persetujuannya.
Rapat langsung membicarakan pasal-pasal UUD. Besok paginya, rapat melanjutkan bahasan yang sama. Siang harinya, beberapa anggota mengusulkan Mukadimah yang dilaporkan Soekarno diganti. Mukadimah harus menyatakan bahwa Indonesia merdeka adalah anggota keluarga Asia Timur Raya dan menyatakan penghargaan serta terima kasih bangsa Indonesia terhadap bangsa Nippon (Jepang). Sangat beda semangatnya, mengubah Indonesia merdeka sejati jadi Indonesia ”merdeka” yang tunduk di bawah kekaisaran Jepang.
Selanjutnya, BPUPK membentuk Panitia Hukum Dasar (PHD) perancang UUD. PHD diketuai Soekarno, terdiri dari 19 orang ditambah 1 warga Jepang sebagai anggota istimewa. Untuk mengubah Mukadimah, PHD menugaskan 4 anggotanya, Subardjo, Supomo, Sukiman, dan Harahap (Tim-4). Tim-4 diberi waktu sampai 12 Juli 1945 pagi.
PHD juga membentuk tim perumus rancangan UUD yang terdiri atas 6 orang (Tim-6), Wongsonagoro, Subardjo, Maramis, Supomo, Sukiman, dan Salim, yang diketuai Supomo. Tim-6 diberi waktu 2 hari dan melaporkan hasil kerjanya pada 13 Juli 1945.
Tak dijiwai Mukadimah
Jelas terlihat, penggantian Mukadimah dan penyusunan rancangan UUD dikerjakan bersamaan oleh orang yang (hampir) sama dalam waktu sangat singkat. Hanya Harahap anggota Tim-4 yang bukan anggota Tim-6. Tim-4 mengganti naskah Mukadimah dengan naskah yang terdiri atas dua bagian: Pernyataan Kemerdekaan dan Pembukaan yang singkat. Semenjak itu, Mukadimah yang sangat terkenal itu dikesampingkan alias dibuang.
Rancangan UUD diselesaikan dengan cepat, mengikuti pandangan integralistik yang disampaikan Supomo, 31 Mei 1945. Pada 15 Juli 1945, atas nama PHD, Supomo melaporkan Naskah UUD kepada BPUPK. Dalam penjelasannya, beliau menegaskan bahwa yang akan dibentuk adalah negara berdasar kekeluargaan dan Indonesia adalah negara dalam lingkungan Asia Timur Raya. (Risalah Sidang BPUPK/PPKI, Sekretariat Negara, 1995).
Rancangan UUD diselesaikan dengan cepat, mengikuti pandangan integralistik yang disampaikan Supomo, 31 Mei 1945.
Jelas bahwa penyusunan UUD tidak dijiwai oleh Mukadimah 22 Juni 1945, tetapi oleh semangat bahwa Indonesia merdeka adalah anggota sejati keluarga Asia Timur Raya. Namun, Soekarno mengingatkan bahwa waktu sangat mendesak. Indonesia telah ketinggalan, uren die het lot van eeuwen beheersen telah tiba, bangsa-bangsa Asia lain sudah ada yang merdeka. Indonesia harus segera merdeka! UUD harus segera diselesaikan! Nantilah kita buat UUD yang sempurna!
Keesokan harinya, naskah UUD disetujui BPUPK dan selanjutnya dikirim ke penguasa Jepang untuk memperoleh persetujuan. Namun, sampai Jepang menyerah, tak ada jawaban. Sejalan dengan perkembangan Perang Dunia II, Jepang membubarkan BPUPK dan pada 7 Agustus 1945 membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Selanjutnya, Jepang lepas tangan.
Tak lama, Jepang menyerah kepada Sekutu. Segera dan dengan dukungan kuat generasi muda pejuang, pada 17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta, atas nama bangsa Indonesia, memproklamasikan kemerdekaan: Indonesia merdeka. Pada 18 Agustus 1945, PPKI bersidang untuk pertama kali. Rapat pleno PPKI hari itu terdiri atas tiga tahapan yang sangat singkat, hanya sekitar 1 jam, pukul 10.00-11.04 WIB, 11.16-12.20 WIB, dan 13.45-14.42 WIB.
Sore hari sebelumnya, Hatta diberi tahu seorang perwira Kaigun bahwa perwakilan daerah yang beragama Kristen yang dikuasai Kaigun menolak keras kalimat pada rancangan Mukadimah yang berbunyi ”KeTuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Aturan itu dipahami sebagai diskriminasi atas kelompok minoritas. Jika ”diskriminasi” ini diteruskan, mereka menegaskan akan lebih memilih berada di luar Republik Indonesia (Mohammad Hatta, Untuk Negeriku. Sebuah Otobiografi, 2011).
Pagi harinya, jelang rapat PPKI, terjadi peristiwa sangat bersejarah yang memastikan terbentuknya NKRI dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Rote, yang berdasar Pancasila. Pagi itu, Soekarno dan Hatta bersepakat mengembalikan naskah asli Mukadimah untuk mengganti naskah pembukaan yang bersemangat kekeluargaan Asia Timur Raya.
Selain itu, untuk memastikan sifat bineka tunggal ika bangsa Indonesia dan kepastian bergabungnya Sulawesi, para pemuka dan ulama terkemuka dengan jiwa besar dan sangat arif bersepakat menyempurnakan naskah sila ”Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluk-pemeluknya” dalam Mukadimah menjadi ”Ke-Tuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama dari lima sila yang merupakan satu kesatuan organis.
Selanjutnya, rapat pleno PPKI tahap pertama, atas imbauan dan usul Hatta dan Soekarno, setuju membuang naskah Pernyataan Kemerdekaan dan Pembukaan buatan Tim-4 dan menggantinya dengan Mukadimah 22 Juni 1945 yang telah disempurnakan. Selanjutnya, pleno PPKI secara aklamasi menyetujui naskah Mukadimah yang telah disempurnakan menjadi Pembukaan UUD.
Selanjutnya, pleno PPKI secara aklamasi menyetujui naskah Mukadimah yang telah disempurnakan menjadi Pembukaan UUD.
Kemudian dibahas rancangan UUD karya Tim-6. Pada rapat pleno yang berlangsung hanya sekitar 1 jam itu, kembali terjadi perdebatan, seperti cara memilih anggota DPR dan MPR, karena naskah UUD tak mengakui pemilu. Pertentangan antara hak dasar individu dan hak kedaulatan negara, antara negara yang bertanggung jawab pada rakyat dan negara kekuasaan yang tak terbatas, juga tidak jelas penyelesaiannya.
Namun, Soekarno, demikian juga Hatta, menegaskan bahwa UUD harus segera selesai. Ini adalah UUD kilat, sebuah revolutie grondwet, nanti kita akan membuat UUD yang lebih sempurna dan lengkap, tegas Soekarno. Atas dasar itulah, Pasal 37 yang mengatur perubahan UUD ditambahkan pada UUD.
Demikianlah pada sidang tahap ketiga PPKI, 18 Agustus 1945, siang hari, Batang Tubuh UUD disahkan dengan catatan, enam bulan setelah dibentuk, MPR akan memperbaikinya dan menetapkan UUD.
Penjelasan UUD 45 disusun oleh Supomo berdasarkan catatan beliau dan ditambahkan kemudian sewaktu menjadi Menteri Kehakiman dan menjadi bagian resmi UUD 45 berdasar Dekrit 5 Juli 1959.
Dasar amandemen
Dari catatan di atas jelas bahwa hubungan antara Pembukaan dan Batang Tubuh UUD NRI yang semula tidak baik-baik saja. Penyusunan pasal dan ayat UUD 45 tak dijiwai Mukadimah/Pembukaan, tetapi di bawah pengaruh naskah pembukaan yang bersemangat integralistik kekeluargaan Asia Timur Raya.
Amandemen dilakukan dengan tetap mempertahankan Pembukaan dan bentuk negara kesatuan. Juga ditegaskan bahwa UUD 45 hanya terdiri dari Pembukaan dan Batang Tubuh, tanpa Penjelasan. Pasal 1 Ayat (2) UUD 45 menegaskan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat (demos kratos) dan dilaksanakan menurut UUD (nomos kratos). Ayat (3) menegaskan Indonesia adalah negara hukum. Jelas bahwa ukuran terakhir dari segala aturan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah UUD 45 yang terdiri dari Pembukaan dan Pasal-Pasal.
Jakob Tobing, Ketua PAH I BP-MPR, Amandemen UUD NRI 1945, 1999-2002.