Saya selalu ingat apa yang ditekankan oleh pendiri koran ”Kompas”, Pak Jakob Oetama. Almarhum selalu menekankan, kebudayaan adalah roh. Semua orang besar yang memiliki perhatian terhadap kemanusiaan punya sikap serupa.
Oleh
BRE REDANA
·3 menit baca
”Saya berasal dari planet sebelah. Saya lahir di zaman Soeharto. Tionghoa. Kami orang-orang tanpa kebudayaan. Identitas saya apa? Jawa bukan Tionghoa bukan. Bahasa Hokian saya cuma bisa hitung satu sampai sepuluh. Selebihnya tidak nyantel. Saya harus melupakan tiga suku kata nama saya. Saking tidak nyantelnya, nama family, om, tante, yang tiga suku kata saya tidak hafal.”
Kata-kata di atas diucapkan peserta diskusi peluncuran novel saya pekan lalu, menanggapi pembicara-pembicara lain yang banyak mengucapkan kosakata ”kebudayaan”.
Dia menceritakan, tersadar bahwa dirinya tidak punya kebudayaan tatkala lulus SMA, ikut kursus bahasa Inggris. Guru meminta peserta kursus untuk menceritakan festival kebudayaan dan budaya yang paling disukai.
”Saya tidak tahu,” lanjutnya. ”Waktu itu belum reformasi. Imlek saya tidak tahu, 12 shio saya tidak tahu. Jauh kebih mending sekarang, kita bisa melihat perayaan Imlek di mal-mal. Saya tidak tahu bagaimana anak-anak saya nanti. Saya sendiri tidak punya akar kebudayaan.”
Seketika saya lupa apa yang dibicarakan pembicara-pembicara lain mengenai novel saya. Persoalan dia bagi saya sangat problematik. Kalau apa yang dikatakannya harus dihubungkan dengan urusan novel, di sini saya akan bicara mengenai novel secara umum, fungsi novel, dan buku di zaman supremasi informasi digital.
Banjir bandang informasi melalui teknologi digital telah menjadikan banyak orang kehilangan pegangan. Informasi menggenangi seluruh permukaan bumi. Dia menggenang di permukaan, tidak masuk meresap ke kedalaman. Akibatnya persis tanah gundul menerima hujan deras. Air tidak meresap ke tanah menumbuhkan daya pertumbuhan baru, sebaliknya mendatangkan bencana.
Kita tidak tahu lagi mana berita penting mana tidak penting, bohong tidak bohong, benar tidak benar, dan seterusnya. Industri berita bersukacita memanipulasi keinginan tahu kita dengan paradigma terbalik kalau dibandingkan dengan rumus sebelumnya. Semua hal tidak penting diuraikan panjang lebar terlebih dahulu agar kalian terus mengklik tautan berita. Istilahnya: clickbait. Apa yang kalian dapat setelah itu? Pepesan kosong.
Orang dijejali judul-judul bombastik, kontroversial, insinuatif, provokatif, setiap saat setiap detik. Alih-alih kita jadi tahu segala hal, sebaliknya kita jadi bingung tidak tahu apa-apa. Ditambah kabar buruk setiap hari dari kasus korupsi sampai ajakan untuk mengobarkan kebencian, yang terjadi banyak orang merasa tidak berdaya, kehilangan semangat, kehilangan daya hidup. Dalam bahasa psikologi, learned helplessness.
Dalam hal ini, saya selalu ingat apa yang ditekankan oleh pendiri koran Kompas, Pak Jakob Oetama. Almarhum selalu menekankan, kebudayaan adalah roh. Semua orang besar yang memiliki perhatian terhadap kemanusiaan punya sikap serupa.
Jadi ingat Gus Dur. Jauh sebelum yang bersangkutan jadi Presiden RI, saya mengenalnya sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta. Sangat sering saya mewawancarai Gus Dur untuk soal-soal yang berhubungan dengan kebudayaan dan kesenian. Ketika Gus Dur beberapa kali jadi juri Festival Film Indonesia tahun 1980-an, karena keakraban setiap kali saya mendapat bocoran daftar pemenang sehingga koran bisa menerbitkan pada edisi esok hari.
Melalui visi seorang Gus Dur, masyarakat Tionghoa di Indonesia bisa merayakan ekspresi kebudayaannya. Di beberapa kota Imlek dan Cap Go Meh berlangsung meriah. Saya sendiri oleh istri diberi nama Tionghoa, Shan Bi He. Bi artinya pena, He artinya bangau.
Oh ya, entah kebetulan atau tidak, nama peserta diskusi yang ucapannya saya kutip di atas adalah Irena, serupa nama tokoh dalam novel Milan Kundera yang berjudul Ignorance. Problemnya pun hampir sama. Pada novel itu Irena yang menjadi eksil di Paris setelah negerinya, Ceko diduduki Rusia, juga gamang akan identitasnya.
Semua rezim fasis memiliki kecenderungan sama, yakni menghancurkan masyarakat melalui memori dan kebudayaannya. Irena ada di mana-mana. Pihak yang berbeda mendapat sebutan ”non” diikuti kata lain sesuka kelompok yang bernafsu mengangkangi segala-galanya. Problem-problem mendasar masyarakat seperti ini tidak akan kalian pahami dari sensasi informasi yang menggenang di permukaan, tidak merasuk ke dalam kesadaran.
Jangan percaya berita. Banyak bohongnya. Baca buku, baca novel.