Kesucian sebuah agama terbukti dari penampakan kehidupan sosialnya yang damai, penuh cinta, dan mengejar kebaikan bersama berdasarkan pada deskripsi empirik hic et nunc.
Oleh
DONY KLEDEN
·5 menit baca
Mahatma Gandhi pada akhir sebuah ceramah politiknya mengatakan, ”Bagi saya Tuhan dan kebenaran cinta merupakan istilah yang dapat digantikan satu dengan yang lain. Jika ada yang mengatakan bahwa Tuhan adalah Tuhan yang tidak cinta atau tidak benar atau yang menyiksa, saya tidak akan sudi mengabdi kepada-Nya. Oleh sebab itu, dalam politik, kita juga harus membangun kerajaan surgawi.” Ini adalah kata-kata Mahatma Gandhi yang pada pokoknya mau memenangkan cinta dalam hidup manusia beragama.
Dalam nada yang sama, Berger (1976), dalam refleksi religiusnya mengatakan, ”agama hendaknya membentuk kognisi masyarakat dan menjadi pedoman yang memberi arah bagi pola tingka laku dan corak sosial. Berger sebenarnya mau membidik bagaimana agama itu memijakkan dirinya pada realitas sosial, pada realitas untuk menggapai kehidupan yang akan datang. Dengan demikian, agama tak mungkin melepaskan diri dari tanggung jawab sosial.
Agama yang menafikan ataupun menihilkan tanggung jawab sosial dalam praktik keagamaanya adalah agama yang kehilangan pijakan. Agama dalam praktiknya selalu meniscayakan adanya tanggung jawab sosial sebab kalau tidak, ia akan jatuh pada praktik pemujaan (cult) semata.
Kalau agama tanpa tanggung jawab sosial, lalu apa arti dan sumbangan agama bagi peradaban sosial? Kalau agama menafikan tanggung jawab sosial, lalu untuk apa manusia beragama? Agama tidak cukup kalau hanya menyibukkan diri dengan kekhusyukannya dengan orientasi pada keselamatan yang akan datang (eskaton). Hakikat agama pada dirinya sendiri berdimensi humanis.
Agama dan tanggung jawab sosial
Agama di zaman globalisasi, kata Frans Magnis-Suseno (1998), adalah agama dalam tantangan. Agama di satu pihak berada di bawah tekanan untuk membuktikan diri sebagai kekuatan yang maju dan bukan mundur, progresif dan bukan reaksioner, humanis dan bukan primordial, positif dan bukan tandon sentimen dan kebencian, terbuka dan bukan eksklusif, rendah hati dan bukan penuh klaim, positif dan bukan penuh klaim.
Di pihak lain, agama membuktikan relevansinya untuk membantu manusia memecahkan masalah-masalahnya. Ia tidak tertutup, skriptural, atau reaksioner, melainkan secara terbuka bersedia belajar, inklusif, dan positif.
Pemikiran ini sebenarnya mau menegaskan bahwa agama punya peran yang sangat berarti dan sentral dalam membangun sebuah peradaban manusia yang humanis. Walaupun fokus orientasi agama itu pada hal yang akan datang (eskaton), pijakannya tetap pada realitas humanis.
Dengan demikian, ukuran kesucian dan kesantunan dalam sebuah penghayatan sebenarnya terletak pada sejauh mana ia berpijak pada realitas, karena dari pijakannya itulah agama bertanggung jawab pada hidup sosial manusia.
Ketika agama mengaktualisasi dalam kehidupan para pemeluknya pada level masyarakat, meminjam tipe keagamaan menurut JP Williams (1962), maka nilai-nilai agama terintegrasi ke dalam sistem nilai sosial budaya, sistem sosial dan wujud kebudayaan fisik. Dalam proses sosial ini, agama di-counter dengan elemen-elemen sosial lain yang ikut menentukan peri hidup masyarakat.
Dengan demikian, agama adalah salah satu elemen masyarakat. Dan karena sebagai suatu elemen masyarakat, maka agama sulit dipisahkan dengan stuktur sosial kultural dan kepentingan-kepentingan aktual yang tumbuh dan berkembang di sekitar komunitas pemeluk agama. Masuknya agama dalam peri hidup sosial masyarakat sebenarnya memberi arti dan sumbangan besar bagi masyarakat manusia agar tidak kehilangan orientasi hidup.
Namun, apakah memang demikian yang terjadi dalam hidup keberagamaan kita di Indonesia? Sensivitas agama dalam sejarah bangsa kita, bangsa Indonesia telah banyak melahirkan fanatisme dan militanisme yang mengarah kepada kekerasan sosial. Agama pada akhirnya menjadi suatu unsur destruktif dalam hidup sosial. Ini terjadi karena setiap agama saling curiga dan ada perbenturan kepentingan yang diatasnamakan agama.
Hal ini diperparah dengan klaim kebenaran (truth claim) dari setiap agama. Sangatlah ironis kalau unsur humanisme diinjak dengan mengatasnamakan yang transenden. Sangatlah ironis kalau menghina, mencaci maki, dan mengutuk orang lain atau bahkan membunuh orang atas nama Allah. Kalau hal ini terjadi, agama menjadi momok dan orang malah menjadi takut mengakui dirinya memeluk agama tertentu.
Politik dan agama
Politik dan agama sering kali sulit akur atau disandingkan dalam sebuah pembicaraan. Seolah-olah agama dan politik itu lahir dari dunia yang berbeda. Oposisi biner sering kali dilekatkan pada keduanya dengan mengatakan bahwa politik itu jahat dan agama itu kudus suci.
Sebuah oposisi yang sungguh menyesatkan dan menjebak manusia. Sejatinya politik itu lahir dari rahim agama yang adalah cinta itu sendiri, rahim cinta yang mau membangun dan menata hidup manusia sehingga segala kejahatan yang membawa derita dijauhkan dari manusia. Buah cinta adalah kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan.
Pertanyaan bisa dilontarkan dalam konteks ini; sejauh mana politik menjangkarkan dirinya pada agama? Agama hadir untuk menjernihkan pemahaman, pengertian dan perilaku politik, serta pada saat yang sama untuk memastikan bahwa dia sedang mengusung kemanusiaan dan kesejahteran bersama, bukan hanya untuk segelintir orang atau kelompok. Dalam arti ini, agama menjadi inklusif demi kehidupan sosial yang tidak boleh lepas dari tanggung jawabnya.
Buah cinta adalah kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan.
Kedalaman dari sikap inklusif yang harus dihayati adalah bahwa Tuhan yang serba maha itu akan semakin kaya dipahami dan dihidupi dalam kehidupan sosial yang sangat humanis, di mana setiap kita selalu mengedepankan cinta dan kedamaian untuk membangun kebaikan bersama. Inilah tanggung jawab sosial dari agama yang tidak boleh kita lupakan.
Kesucian sebuah agama terbukti dari penampakan kehidupan sosialnya yang damai, penuh cinta, dan mengejar kebaikan bersama berdasarkan pada deskripsi empirik hic et nunc.
(Dony Kleden Penulis
adalah seorang rohaniwan Katolik dan Antropolog, tinggal di Sumba, NTT)