Romantika Donald Trump dan Pendukungnya
Secara psikologis, Trump menunjukkan kemampuan dalam ”high attentional engagement” di mana pembawaannya selalu mampu menyita perhatian, ”keeps the brains engaged”.
Saya menulis ini karena penasaran, sosok yang membuat jengah di televisi justru mampu meraup hampir separuh suara pada pemilihan presiden Amerika Serikat 2020. Sebagai pelajar internasional di AS, rasa penasaran ini menguat karena pertanyaan teman-teman di Tanah Air tentang dinamika pemilu AS dan peluang kemenangan Donald Trump versus Joe Biden.
Banyak komentar yang isinya percaya akan kekalahan Trump. Meskipun prediksi kekalahan dalam pemilu benar, kemenangan tipis dan kuatnya fanatisme pendukung Trump yang terkadang terkesan membabi buta membuat rasa penasaran saya meluap.
Demonstrasi ”Stop the Steal” yang digaungkan oleh pendukung Trump semenjak penghitungan suara menunjukkan gejala kekalahan sang jagoan semakin berkumandang hebat. Sampai awal Desember, sebulan setelah pemilu berlangsung, Trump dan pendukungnya masih lantang menyuarakan tuduhan kecurangan dalam pemilu meskipun beberapa negara bagian telah mengesahkan hasilnya, recount telah dilakukan dan beberapa lawsuit gugur karena kurangnya bukti.
Namun, Trump dan pendukungnya tidak berubah pikiran, bahkan death threats telah diterima oleh beberapa pegawai pemerintah yang terlibat dalam pemilu, di antaranya di Negara Bagian Pennsylvania, Michigan, Arizona, Nevada, dan Georgia.
Demonstrasi dan Trump rally terjadi di beberapa kota, termasuk di Washington DC. Bagaimana dan mengapa Donald Trump mampu memiliki dukungan begitu besar dan fanatik? Terlepas dari berbagai cercaan ketidakmampuannya memimpin negara, mengatasi pandemi Covid-19, segala tuduhan skandal bisnis, pelecehan seksual, dan isu rasisme, Trump tetap menunjukkan kekuatan karisma yang luar biasa di mata pendukungnya. Partai Republik pun seolah tidak berdaya.
Tulisan ini berdasarkan informasi yang saya kumpulkan dari sejumlah media Amerika Serikat dan Kanada serta pengamatan pribadi sejak saya menapakkan kaki di AS tahun 2014 ketika Presiden Obama masih memimpin.
Ketertarikan saya kepada figur Donald Trump diawali saat kampanye pemilihan presiden 2016. Mayoritas masyarakat AS saat itu, terutama kalangan terpelajar, tidak mengganggap serius hadirnya kandidat Donald Trump dalam dunia politik.
Berbagai polling juga menunjukkan bahwa Hillary Clinton, politikus kawakan, istri mantan Presiden Bill Clinton, akan memenangi pertarungan. Saya sempat terjun langsung untuk menjadi sukarelawan dalam polling. Saya dipasangkan dengan sukarelawan yang sama-sama datang atas inisiatif pribadi dan datang sendiri. Pasangan saya perempuan tengah baya berkulit hitam.
Rupanya kebanyakan sukarelawan datang bersama teman atau kerabat. Polling center diadakan oleh Partai Demokrat yang tujuannya membuat perkiraan seberapa banyak perolehan suara setiap kandidat.
Yang harus kami lakukan ialah door to door, mengetuk pintu rumah penduduk dan menanyakan apakah mereka sudah memutuskan pilihannya. Apabila belum, kami akan memberikan sepintas informasi terkait kandidat Partai Demokrat sambil menyerahkan pamflet dan menawarkan untuk mengantar jemput ke lokasi pencoblosan suara.
Bagi saya ini adalah media belajar dinamika political behavior melalui percakapan santai tentang pilihan mereka dan alasannya. Sangat berkesan melihat teman polling berkulit hitam yang cenderung menghindar dan terlihat tidak nyaman apabila kami sampai pada permukiman warga kelas menengah atas, apalagi bila simbol dukungan terhadap Trump dan Partai Republik terlihat, yang notabene mayoritas dihuni oleh warga kulit putih.
Dalam situasi ini saya selalu turun. Pola permukiman ini mengingatkan saya akan sejarah ”red lining” pada masa segregasi di mana warga kulit berwarna sengaja dipisahkan oleh sistem dari permukiman warga kulit putih. Terlintas pernyataan ahli sosiologi ternama Amerika, Du Bois, ”The problem of the twentieth century is the problem of the color-line”. Apabila dilihat berdasarkan afiliasi partai politik, warga kulit berwarna cenderung memilih Partai Demokrat, terhitung lebih dari 80% warga kulit hitam (Morning Consult polls, 2020).
Warga kulit putih dan Kristen Protestan Evangelican adalah basis utama Partai Republik dan juga pendukung Trump (78% versus 17% ke Partai Demokrat, Pew Research Center 2020).
Pemilu 2020 AS menghadapi isu kompleks, tetapi mencatat tingkat partisipasi tertinggi sejak 1904 (sekitar 66%) (Washington Post, 2020). Dalam lautan cemoohan, Trump masih mampu meraup sekitar 74 juta suara, tidak berbeda jauh dibandingkan suara untuk Joe Biden yang berkisar 80 juta.
Dari sisi psikologis, Bobby Azarian, Ph.D (cognitive neuroscientist) menyatakan bahwa keberhasilan Trump meraup dukungan karena kemampuannya memainkan rasa takut di kalangan kaum konservatif, basis utama dukungannya.
Kaum konservatif cenderung mudah takut dan merasa terancam (hypersensitivity to threat), sosok Trump yang hadir menonjol seperti penyelamat seolah memberi rasa aman. Cara berbicara Trump mudah ditangkap, ”He talks like us”. Maka, mereka merasa dekat dan percaya kepada Trump paham realitas kehidupan mereka, jujur, dan berjuang demi kepentingan mereka.
Mereka juga sering mengaitkan status Trump sebagai pebisnis dan bukan tipikal politikus yang hanya mengumbar janji saat kampanye. Ideologi politik, agama, serta identitas nasional biasa digunakan dalam mengatasi ketakutan dan kecemasan dalam hidup (terror management theory).
Maka, tidak heran apabila slogan nasionalisme atau patriotisme sering digaungkan dalam kampanye pemilu, seperti arak-arakan pendukung Trump yang selalu membawa bendera AS dan kadang menyanyikan lagu kebangsaan. Identitas nasional dalam sejarah terbukti mempunyai daya pemersatu yang luar biasa. ”Make America Great Again” (MAGA) pun menjadi slogan sangat populer di AS.
Awalnya, saya mengira dukungan Trump akan menyusut drastis karena pemberitaan negatif. Namun, dukungannya tetap hebat. Pemberitaan media tentang ketidakmampuan Trump memimpin negara justru memperkuat pembelaan beberapa pendukungnya dan semakin percaya bahwa media selalu menyebarkan hoaks dan kebohongan. Mengapa?
Bobby Azarian juga menjelaskan bahwa pendukung Trump kemungkinan tidak menyadari bahwa mereka telah salah menangkap informasi sehingga memang tidak mau dibenarkan (the Dunning-Kruger Effect). Dalam keadaan ini, apa pun penjelasan untuk membenarkan, misalkan informasi tentang tuduhan kecurangan pemilu, pun akhirnya mental.
Masyarakat AS relatif terkotak-kotak berdasarkan media yang biasanya diakses, misalkan pendukung Partai Republik cenderung berkiblat kepada Fox News (setelah pemilu menunjukkan gejala beralih ke Newsmax dan Parler), sedangkan CNN cenderung menjadi favorit simpatisan Partai Demokrat. Dalam menangkap realitas dan menganalisisnya, media memegang peran kunci dan mungkin memperparah the Dunning-Kruger effect.
Pendukung Trump yang mengakui kekurangan Trump atau mempunyai ketidaksetujuan cenderung abai setelah menemukan satu atau dua hal yang mereka setujui. Misalnya isu tentang pelecehan seksual serta celotehan rasis akan mudah diabaikan karena mereka setuju dengan kebijakan ekonominya. Dalam pemilu 2020, isu ekonomi tetap menjadi isu utama mayoritas pemilih (Pew Research Center, 2020).
Fenomena dukungan untuk Trump di AS selalu mengundang tanya, ”What should Trump do to lose your loyalty?” Di AS, gegap gempita kampanye Trump juga menjadi daya tarik tersendiri bagi pendukungnya. Secara psikologis, Trump menunjukkan kemampuan dalam high attentional engagement di mana pembawaannya selalu mampu menyita perhatian, keeps the brains engaged.
Lalu bagaimana para politikus Indonesia dan pendukungnya?
(Tri Windari, kandidat PhD bidang studi Interdisciplinary Studies Doctorate konsentrasi Political Sociology di Western Michigan University, Michigan, Amerika Serikat)