Maradona Diganjal Gentile, Memperdaya Shilton
Pergerakan Diego Maradona diredam pemain bertahan Italia, Claudio Gentile, pada laga fase grup putaran kedua Piala Dunia Spanyol 1982. Maradona bangkit empat tahun kemudian, memimpin Argentina juara di Meksiko 1986.
Piala Dunia Spanyol 1982 menunggu kehadiran seorang bintang sepak bola muda asal Argentina: Diego Armando Maradona. Pecandu sepak bola dunia menanti seperti apa aksi Maradona karena ia dinanti-nanti bakal meneruskan kebintangan Mario Kempes, pendahulunya, yang mengantar Argentina menjuarai Piala Dunia 1978 di negeri sendiri.
Mengapa Maradona dinanti di Spanyol?
Sejak muda, ia disebut-sebut sebagai salah satu pemain genius di sepak bola. Maklum, ia mulai bermain untuk klub Argentinos Juniors di Liga Argentina, di usia yang sungguh belia, 10 hari sebelum 16 tahun. Debutnya di liga profesional itu pada 20 Oktober 1976, atau kurang dari dua tahun sebelum Piala Dunia Argentina 1978.
Dengan tahun pertama yang impresif dan produktivitas gol yang fenomenal, Maradona termasuk yang digadang-gadang masuk tim Argentina di Piala Dunia 1978. Namun, pelatih Argentina kala itu, Cesar Luiz Menotti, menilai Maradona yang baru 17 tahun masih terlalu muda untuk skuad piala dunia. Alhasil, tim ”Tango” kala itu merebut trofi Piala Dunia lewat sepak terjang bintang-bintang seperti Mario Kempes, Osvaldo Ardilles dan Daniel Passarella.
Redup sebelum bersinar
Praktis, nama Maradona yang kala itu berusia 21 tahun, sudah menjadi buah bibir sejak Piala Dunia Spanyol 1982 belum bergulir. Sebagai juara bertahan, nama pesepak bola muda tim ”Tango” itu disebut-sebut bakal menjadi tulang punggung Argentina mempertahankan gelar juara dunia.
Maradona ibarat menyuntikkan ”darah muda” ke tim ”Tango” di Piala Dunia 1982, yang waktu itu juga masih diperkuat sejumlah pemain Piala Dunia 1978 seperti kapten Passarella, Ardilles, Kempes, Daniel Bertoni dan kiper Ubaldo Fillol. Tanda-tanda kebintangan Maradona mulai muncul kala ia mencetak dua gol ke gawang Hongaria, ketika Argentina menang 4-1 di fase grup.
Namun, ujian masih panjang bagi Argentina untuk mempertahankan gelar juara dunia. Tampil sebagai peringkat kedua Grup 3 di bawah Belgia di putaran pertama, Argentina masuk grup ”neraka” bersama Brasil dan Italia di putaran kedua fase grup. Juara grup di putaran kedua ini otomatis lolos ke semifinal.
Stadion Sarria, Barcelona, pada 29 Juni 1982, menjadi medan laga sesungguhnya Argentina bersama Maradona. Sang bintang muda harus menghadapi kawalan pemain bertahan Italia, Claudio Gentile, yang karena agresivitasnya meredam pergerakan Maradona, dijuluki ”tukang jagal”.
Sebutan ”tukang jagal” layak dilekatkan pada Gentile karena tercatat 11 pelanggaran ia lakukan terhadap Maradona pada babak pertama, dari total 23 pelanggaran di sepanjang laga. Gentile yang termasuk salah satu bek tangguh Italia, melakukan berbagai cara untuk menghalangi Maradona. Ia menyikut, menarik kaus, menjegal, mengganjal, menabrakkan tubuh ke Maradona.
Uniknya, meski banyak pelanggaran olehnya, Gentile hanya diganjar satu kartu kuning. Sebaliknya, justru Argentina yang harus rela bermain dengan 10 pemain karena kartu merah terhadap Americo Gallego, plus kartu kuning untuk Maradona, Kempes, dan Ardilles. Argentina kalah, 1-2, salah satunya gara-gara Maradona yang ”dimatikan” dan pemain Argentina lainnya berubah emosional, dan gagal fokus pada permainan.
Aksi Gentile di lapangan, di antaranya tekel keras, dan memancing provokasi pemain lawan, merepresentasikan bagaimana tim Italia pada era 1980-an. Taktik catenaccio ala ”Azzurri” dimainkan begitu gamblang oleh tim asuhan Enzo Bearzot sehingga pemain-pemain Italia cenderung bertahan lebih dulu, untuk kemudian mencuri gol lewat serangan balik. Di situlah peran krusial Gentile meredam Maradona, yang sama artinya menghancurkan serangan Argentina.
Argentina lalu tumbang lagi 1-3 dari Brasil, dan Brasil juga tunduk 2-3 dari Italia. Sama seperti saat menghadapi Argentina, tim ”Azzurri” juga memasang Gentile untuk meredam bintang Brasil, Zico. Hasil itu membawa ”kuda hitam” Italia menjuarai grup, sekaligus menyingkirkan dua favorit juara dari Amerika selatan: Brasil dan juara bertahan Argentina.
Tersisihnya Argentina di fase grup putaran kedua, menandai kegagalan Maradona pada usianya yang baru 21 tahun, mengantar tim ”Tango” mempertahankan gelar juara. Apa daya, Argentina yang fenomenal empat tahun sebelumnya, dan Brasil yang tampil indah dengan bintang-bintangnya, seperti Zico, Socrates, dan Falcao, harus merelakan Italia tampil sebagai juara dunia 1982.
Menunggu empat tahun
Dunia menunggu empat tahun lagi untuk menunggu aksi-aksi menawan Maradona, terutama para pemuja tim nasional Argentina. Wajah tim ”Tango” sudah jauh berbeda dengan 1978 dan 1982 karena sudah diisi mayoritas muka-muka baru yang lebih muda. Di antara wajah-wajah baru itu ada penyerang Jorge Burruchaga, kiper Nery Pumpido, dan bek Jose Luis Brown.
Langkah Argentina mulus sejak fase grup, dengan menjuarai Grup A, berkat kemenangan 3-1 atas Korea Selatan, 2-0 atas Bulgaria, dan seri 1-1 dengan lawan yang menyingkirkan di Spanyol 1982: Italia. Lolos ke 16 besar, Argentina menundukkan Uruguay, 1-0, dan melaju ke perempat final meladeni tantangan Inggris.
Pada laga 22 Juni 1986 di Stadion Azteca, Mexico City, itu nasib Inggris ibarat ditentukan Maradona hanya dalam lima menit. Setelah paruh laga pertama berakhir imbang tanpa gol, Maradona menciptakan gol ”Tangan Tuhan” yang kontroversial sekaligus melegenda, menit ke-51. Bola liar di depan gawang Inggris yang dijaga Peter Shilton, ”ditinju” dengan tangan kirinya dan gol.
Maradona berlari kegirangan setelah wasit Ali Bennaceur (Tunisia) mengesahkan gol itu. Sebaliknya, kiper Inggris Peter Shilton berlari-lari ke arah wasit sembari memberi tanda bahwa Maradona mencetak gol dengan tangannya. Ketiadaan tanda dari hakim garis dan belum digunakannya teknologi video asisten wasit (VAR), membuat Bennaceur bergeming dengan keputusan itu.
Belum habis kegusaran pemain tim ”St George Cross”, empat menit berselang giliran Maradona mempertontonkan kepiawaiannya. Setidaknya enam pemain, termasuk Shilton, ia perdaya dengan dribel sejak garis tengah hingga dilesakkannya bola ke gawang Inggris. Dengan keunggulan Argentina, 2-0, Inggris hanya memperkecil ketertinggalan dengan satu gol lewat Gary Lineker, sembilan menit sebelum waktu normal usai. Argentina menang, 2-1, atas Inggris, pada laga yang dikenang hingga puluhan tahun kemudian.
Dua gol ke gawang Inggris, dua gol pula ia ciptakan ke gawang Belgia di semifinal. Belgia, ketika itu sedang menjalani era keemasan dengan sejumlah bintang, seperti Enzo Scifo, Eric Gerets, dan Jan Ceulemans. Namun, tim sarat bintang Belgia terbukti bukan tandingan Argentina pada era Maradona. Dua gol Maradona, satu lewat sontekan di tengah kawalan dua bek, satu lagi melalui aksi individu melewati beberapa pemain, sebelum menembakkan bola ke gawang Jean-Marie Pfaff, cukup untuk mengempaskan Belgia.
Bertemu Jerman di laga puncak, meski tak mencetak gol, Maradona tetap memimpin orkestrasi permainan tim ”Tango” sehingga menang 3-2. Argentina merebut trofi Piala Dunia untuk kali kedua setelah 1978, berkat bintang legendaris Maradona, yang belum lama ini meninggal di usia 60 tahun.
Puncak di usia 25 tahun
Penampilan Maradona di Meksiko 1986, saat ia di usia 25 tahun, tak diragukan lagi menjadi puncak prestasi sang bintang bersama tim nasionalnya. Ia tampil lagi dan menjadi kapten tim ”Tango” di Piala Dunia Italia 1990, dan masih mengantar Argentina ke final. Namun, Argentina kalah 0-1 dari Jerman, dari gol penalti Andreas Brehme.
Selain kekalahan di final, pada laga-laga sebelumnya Argentina juga tampil kurang meyakinkan. Di semifinal, mereka harus mengungguli Italia lewat adu penalti dengan skor 4-3, setelah skor bertahan 1-1 hingga perpanjangan waktu. Melawan Yugoslavia di perempat final, adu penalti pula yang membawa Argentina menang.
Empat tahun berikut, di Piala Dunia Amerika Serikat 1994, Maradona pada usia 33 tahun juga masih diandalkan Argentina. Malang tak kuasa ditolak, ia hanya bermain pada dua laga awal, dan kemudian harus rela dipulangkan karena terbukti positif doping.
Seorang bintang seperti Maradona harus menunggu dua perhelatan piala dunia, yakni Argentina 1978 dan Spanyol 1982, sebelum berkibar tinggi di Meksiko 1986. Bahkan, aksinya pada 1982 terasa pahit dan getir karena belum banyak berkontribusi bagi Argentina, tetapi harus segera angkat koper.
Namun, pembuktian bahwa Maradona terempas pada 1982, untuk kemudian bersinar di Meksiko 1986, sekaligus menunjukkan proses pematangan diri seorang bintang. Dari ”zero” di Spanyol 1982, ia menjadi ”hero” bagi Argentina di Meksiko 1986.