Masyarakat yang amat heterogen seperti Indonesia membutuhkan lembaga-lembaga inklusif untuk mengatasi aneka kepentingan yang saling berkonflik.
Oleh
IDI SUBANDY IBRAHIM
·5 menit baca
Ketika hasrat politik belum mendominasi kehidupan masyarakat di Nusantara, interaksi antarbudaya berlangsung secara lancar dan kreatif. Melalui jalur perdagangan, perjumpaan budaya terjadi secara damai. Konflik-konflik besar tidak terjadi sebelum ada usaha penaklukan dan kolonialisme. Sebelum ada perebutan dalam menguasai kekayaan sumber daya dan perluasan wilayah.
Barangkali dari sinilah kita harus melihat sisi lain, benih budaya dari apa yang kini kita sebut sebagai persatuan dalam keragaman Indonesia. Persatuan alami tumbuh dari bawah, buah partisipasi. Bukan dipaksakan dari atas, atau hasil rekayasa dan mobilisasi.
Perjumpaan budaya sekecil apa pun telah ikut membangun keterlibatan dan menumbuhkan rasa kebersamaan. Komunikasi antarbudaya yang intens mengikis prasangka dan menumbuhkan saling pengertian dan empati sebagai prasyarat untuk benih komunitas kewargaan.
Barangkali pandangan seperti itu kini dianggap utopis. Politik makin dibutuhkan ketika masyarakat mengalami modernisasi dan semakin kompleks. Jika inti dari politik adalah seni berdemokrasi dalam negara-bangsa modern, demokrasi adalah sistem yang dianggap mampu mengatasi konflik dan perbedaan kepentingan secara produktif dan kreatif.
Para pemikir telah mengajukan berbagai teori demokrasi dan menekankan faktor-faktor prasyarat dan kendala proses demokratisasi. Faktor itu bisa struktural atau kultural, bergantung kondisi masyarakat, peran aktor dan sistem politiknya.
Di antara pemikir ada yang mengajukan pentingnya demokrasi inklusif. Iris Marion Young (2000: 51), dalam Inclusion and Democracy, mengajukan gagasan inklusi dalam demokrasi. Menurut dia, demokrasi sering kali melanggar norma inklusi. Eksklusi dan marginalisasi politik sering terjadi sehingga prinsip dan cita-cita inklusi politik adalah reaksi kritis terhadap eksklusi/marjinalisasi politik tersebut.
Prinsip inklusi juga telah diakui secara global. Ia masuk dalam agenda Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada 2015, 193 negara anggota PBB telah mengadopsi Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan. Setiap negara anggota berkomitmen untuk fokus pada hak-hak asasi, masyarakat, kesetaraan, inklusi, dan kelestarian lingkungan. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 16 dalam Agenda 2030 telah menjalin tata kelola yang demokratis dan target pembangunan perdamaian menjadi satu tujuan. Mereka mengakui hubungan tak terpisahkan antara ”masyarakat yang damai” dan ”lembaga yang efektif, akuntabel dan inklusif”.
Gagasan demokrasi inklusif amat dibutuhkan ketika masalah konflik, kekerasan, ketidakadilan, rasisme, intoleransi budaya, marjinalisasi, eksploitasi ekonomi dan ekologi, serta perilaku koruptif masih mewarnai kehidupan berbangsa.
Sering kali proses politik yang mengaku demokratis, kenyataannya didominasi oleh hanya segelintir pihak yang berkepentingan. Prinsip inklusi diingkari dalam demokrasi dengan berbagai cara. Misalnya, peminggiran terjadi ketika kalangan masyarakat yang akan terkena dampak langsung sebuah undang-undang tidak dilibatkan atau didengar suaranya. Kelompok marjinal, minoritas, dan disabilitas tidak diperhitungkan dalam pengambilan kebijakan publik.
Menurut Young, jika inklusi dalam pengambilan keputusan adalah inti dari cita-cita demokrasi, sejauh eksklusi politik masih ada, maka janji-janji masyarakat demokratis sulit terpenuhi. Di sinilah kita bisa memahami kontroversi politik yang menyertai wacana soal omnibus law yang awalnya hanya difokuskan di bidang ekonomi kemudian merambah ke bidang politik. Prinsip inklusi diabaikan karena pemerintah kurang mau mendengarkan!
Kemudian, pengabaian prinsip inklusi dalam berdemokrasi juga terlihat dalam cara yang semula justru dimaksudkan untuk melawan eksklusi. Para aktor politik di balik demonstrasi yang memprotes Undang-Undang Cipta Kerja sebagian menggunakan sentimen agama dengan maksud untuk menarik dukungan massa dan menekan pemerintah. Beberapa kalangan mengkhawatirkan, cara-cara seperti itu jika tidak terkendali bisa menggiring massa ke jurang berbahaya: kekerasan massa. Terutama di masa pandemi Covid-19 ini.
Kita sungguh menyadari, dalam sejarahnya, agama bisa jadi kekuatan pemersatu. Agama, dengan asas ketuhanan dan penghargaan terhadap manusia, bisa menjadi kekuatan perekat. Tetapi politisasi agama bisa membuatnya menjadi sumber utama perbedaan dan konflik.
Masyarakat yang amat heterogen seperti Indonesia membutuhkan lembaga-lembaga inklusif untuk mengatasi aneka kepentingan yang saling berkonflik. Lalu, siapa dan lembaga apa yang berwenang dalam memberdayakan warga negara dan memastikan inklusi dan kesetaraan dalam masyarakat bisa dijamin?
Sudah tentu, dalam konteks Indonesia, lembaga pemerintah, partai politik, dan organisasi keagamaan serta masyarakat sipil bisa menetapkan langkah-langkah efektif untuk mengatasi ketidaksetaraan struktural, yang membelenggu kita untuk mencapai masyarakat yang adil dan beradab.
Tetapi tak kalah penting, peran komunitas budaya: seniman, sastrawan, wartawan, agamawan, dan cendekiawan yang independen untuk turut membumikan demokrasi yang inklusif. Mereka adalah agen-agen budaya yang tumbuh dari bawah, berkomunikasi dengan simbol. Ketika jalan politik sering bertujuan jangka pendek, jalan budaya adalah kekuatan sejarah yang lebih langgeng. Budaya sering lebih meresap ke dalam kesadaran kolektif masyarakat. Pengaruh budaya melampaui ruang dan waktu. Apabila politik bermodal pada ikatan kepentingan, budaya berbasis pada ikatan ketulusan.
Sayangnya, sejak awal kemerdekaan hingga kini, gerak perubahan politik kita tidak selalu dalam bimbingan kesadaran budaya bangsa. Tampaknya baik elite maupun massa perlu terus disadarkan bahwa demokrasi inklusif yang berbasis Pancasila adalah jalan yang paling manusiawi dan adil. Jalan ketika perbedaan tidak hanya diberi ruang dan didengar, tetapi ketika konflik politik selalu membuka kemungkinan kompromi dan dialog dengan sikap yang penuh empati terhadap perbedaan.
Gerakan penyadaran budaya perlu ditumbuhkan sejak dini. Agar laku politik makin berbudaya dan agar faktor budaya yang menjadi kendala proses demokratisasi makin dieliminasi. Tetapi rekayasa budaya ini tidak bisa dipaksakan. Ia harus tampak alami.
Ketika laku politik masih menampilkan wajah yang muram, jalan budaya menjadi cahaya untuk menumbuhkan harapan dalam merawat keanekaragaman.